Pria yang telah merebut hatinya sejak dia masih remaja. Hanya saja, saat usia remaja, dia tidak punya keberanian untuk mendekati pria itu. Yang bisa ia lakukan hanya memperhatikan pria itu dari sebelah rumahnya.
Pernah Meta berpikir untuk mengubur perasaan itu. Karena pria yang dia kagumi sama sekali tidak bisa dia rengkuh. Pria itu terkesan sangat dingin padanya. Jangankan menyapa, menjawab sapaannya saja tidak.
Lalu, dia pun berusaha keras memaksakan diri untuk benar-benar belajar lepas dari rasa cinta yang dia punya. Hingga akhirnya, langkah pergi dengan alasan belajar keluar kota pun ia ambil.
Tapi pada akhirnya, ketika dia kembali, keluarga si pria malah sudah hancur. Sementara si pria tidak tahu di mana keberadaannya.
Saat itulah, Meta merasa sangat terluka akan hal buruk yang keluarga pria yang ia kagumi ini alami. Lalu, hati nuraninya sebagai manusia pun merasa terpanggil.
Entah itu karena cintanya pada si pria, atau memang hati Meta yang terlalu baik. Tapi yang jelas, dia memberikan semua pertolongan yang dia bisa untuk menolong keluarga si pria dengan sepenuh hati.
Takdir hidup terkadang memang sangat rumit. Serumit memilih antara garam dengan gula yang bercampur dengan pasir. Begitulah sangking rumitnya.
Hal itu terbukti ketika beberapa waktu Meta sudah berhasil melupakan si pria, eh malah si pria yang datang sendiri ke dalam kehidupannya. Sudah susah payah pergi agar bisa melupakan cinta. Eh, giliran sudah berhasil, cinta itu malah datang kembali dengan sendirinya. Bukankah itu adalah hal yang sia-sia saja?
Tapi, mau bagaimana lagi. Untuk yang kedua kalinya, Meta kembali jatuh cinta dengan pria yang sama seperti saat dia remaja.
Memang benar, cinta pertama itu sangat sulit untuk di lupakan. Karena Meta sudah mengalaminya. Ia jatuh cinta berulang kali dengan pria yang sama. Karena pria itu adalah cinta pertamanya.
Meta terus tersenyum. Terus hanyut dalam lamunan akan masa bahagia ketika bersama Jaka. Ya, pria itu tentunya adalah Jaka. Tetangga sebelah rumah yang sangat ia kagum sejak usianya remaja.
Sangking senangnya dia membayangkan saat bersama Jaka, dia terkadang lupa kalau dia terlihat seperti orang gila yang senyum-senyum sendiri tanpa sebab. Bahkan, dia juga sering tidak sadar akan keadaan orang yang ada di sekelilingnya hanya karena keasikan menikmati lamunannya yang entah kapan baru bisa jadi nyata.
Sebuah tangan langsung menyentuh lembut bahu Meta, ketika Meta asik dengan lamunannya yang masih tidak pasti. Sontak saja, sentuhan itu langung membuat Meta sadar akan keadaan yang sebenarnya.
Dengan wajah kaget, sekaligus lesu karena kecewa, Meta melirik sekilas orang yang sudah menyentuh pundaknya beberapa saat yang lalu. "Mama." Meta berucap lirih dengan nada lemas.
"Iya, Mama. Kenapa? Kamu berharap siapa yang menyentuh bahu mu, Met? Jaka?"
Mama Meta berucap dengan nada penuh godaan.
Godaan kecil itu langsung membuat Meta merasa tersipu malu. Dia senyum kecil sambil berusaha menyembunyikan apa yang hatinya rasakan saat ini.
"Mama ngomong apa sih? Kenapa malah bawa-bawa kak Jaka. Gak ada kerjaan banget membicarakan dia." Meta berucap sambil menahan rasa.
Sang mama malah tersenyum karena ucapan itu. "Ya Tuhan, Met. Siapa yang gak tahu seperti apa perasaan kamu buat Jaka. Jangankan mama yang sudah melahirkan kamu, tetangga sebelah rumah kita aja tahu kok."
"Udah deh, Ma ah. Jangan bahas soal itu lagi. Aku gak suka kalo setiap bicara, itu yang kita bahas hanya kak Jaka melulu. Kayak gak ada pembahasan lain aja."
"Ada. Tapi mama gak yakin kalau kamu akan tertarik bicara dengan mama, jika pembahasan kita tidak seputar Jaka."
"Mama ini yah."
Kedua ibu dan anak inipun langsung tersenyum lebar bersama. Beberapa saat terdiam, mereka saling memikirkan apa yang ada dalam benak masing-masing. Hingga akhirnya, mama Meta yang bernama. Sari itupun membuka obrolan kembali.
"Met, sebenarnya ada yang mau mama bicarakan sama kamu. Tapi ... mama harap kamu gak akan terluka, apalagi sakit hati yah."
Ucapan itu langsung membuat Meta memasang wajah serius. Sungguh, dia sepertinya sudah tahu apa yang ingin mamanya bicarakan. Karena seperti sebelumnya, pokok pembahasan mereka gak akan jauh-jauh dari Jaka dan Jaka lagi.
"Mau ... bicara apa, Ma? Katakan saja sekarang! Meta akan dengar apa yang mama bicarakan."
Sang mama langsung menatap wajah anaknya dengan tatapan lekat. Dia tahu, apa yang akan dia bicarakan memang akan sedikit menyakitkan buat anaknya yang juga tidak tahu apa-apa. Tapi, setidaknya, anaknya bisa sedikit membuka mata. Tidak terus berada di jalan yang sama hingga tidak beranjak sedikitpun. Karena waktu terus berjalan, hidup pun harus tetap berjalan dengan baik. Perubahan harus ada.
"Mama ingin katakan, apakah tidak sebaiknya, kamu menikah secepatnya, Meta?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments