Bab 4
Di bab ini, Author masih menceritakan perkembangan kasus terbunuhnya keluarga Alaska.
**********
Rendi dan Roni menelan saliva mereka, kekhawatiran tampak terlihat di wajah keduanya.
"Apa yang harus kita lakukan Ren? aku tidak mau terjadi apa-apa kepada keluargaku" ucap Roni, dengan wajah tampak gelisah.
Rendi menghela napas, dan kembali menghisap rokoknya.
"Ini namanya memakan buah simalakama, di satu sisi kita harus mengungkapkan kasus ini. Namun, di sisi lain nyawa keluarga kita terancam."
Roni mengusap kasar wajahnya, mendengar perkataan Rendi.
"Lantas, apa rencanamu,?" Roni bertanya, dengan menatap tajam Rendi.
Rendi mengangkat bahunya, dan Roni menarik napas kasar. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Suara ketukan pintu, membuyarkan lamunan mereka, membuat mereka saling melempar pandang.
"Masuk!" perintah Rendi.
Saat pintu terbuka, tampak seorang petugas kepolisian yang merupakan anak buah mereka mengangguk penuh hormat.
"Mohon maaf Pak, Bapak berdua di panggil Bapak Komandan ke ruangannya" ucap petugas itu.
Kembali Rendi dan Roni saling tatap.
"Kami akan segera ke sana" jawab Roni.
"Siap Pak, saya permisi dulu"
"Apa ini ada hubungannya dengan kasus pembunuh*n keluarga Tuan Andhika.?"Tanya Roni, menatap sahabatnya itu.
Rendi kembali mengangkat bahunya.
" Ayolah," ajak Rendi sambil bangkit dari duduknya, dan melangkah keluar ruangan, di ikuti oleh langkah Roni.
Setelah mendapatkan ijin, mereka pun masuk ke dalam ruangan sang Komandan. Betapa terkejutnya mereka, jika di ruangan itu sudah ada dua orang yang sangat terkenal, karena pengaruh dan kekuatan jabatan mereka.
"Silahkan kalian duduk!" perintah sang Komandan.
"Siap Pak," ucap mereka bersamaan.
Rendi dan Roni menelan Saliva mereka secara bersamaan. Berusaha menenangkan hati mereka, saat duduk di hadapan tiga orang itu.
"Kalian berdua yang bertugas menyelidiki kematian keluarga dari Tuan Andhika Vista?" tanya seseorang yang memiliki kedudukan paling tinggi di Kepolisian.
"Siap pak, kami yang di tugaskan untuk menyelidiki kasus ini" jawab Rendi tegas. Sedangkan Roni, wajahnya sudah memucat.
"Hmm, kalau begitu silahkan ambil ini!" perintah lelaki berkumis lebat, dengan alis hitam dan kulit gelap, yang memegang peranan penting di salah satu bidang keamanan di Pemerintahan. Menyerahkan dua amplop coklat yang cukup tebal.
"Ambillah!" perintahnya.
Rendi dan Roni saling melempar pandang. Perlahan, mereka mengambil amplop tersebut. Wajah mereka tampak terkejut saat membuka amplop. Tampak setumpuk uang yang berbentuk dollar terpampang jelas di depan mata mereka.
"Bagaimana?" tanya lelaki berkumis tebal itu.
"Maksud bapak ini?" tanya Rendi sedikit ragu.
Senyum miring, dan tawa menggema mengisi ruangan itu.
"Rendi Azhar, hanya ada dua pilihan untukmu, meneruskan kasus ini, karirmu hancur dan keluargamu habis, atau tetap bertahan di sini, dengan mematuhi semua perintah!" bentak sang Komandan menatap tajam Rendi.
Rendi terdiam, tatapan sang Komandan beralih ke arah Roni.
"Apa pilihanmu Roni?" sang Komandan, bertanya kepada Roni dengan tatapan tajam.
Kembali Roni menelan salivanya.
"S-saya akan menghentikan penyelidikan kasus ini, dan saya mengambil uang ini Pak," jawab Roni terpaksa.
Mereka kembali tertawa, sedangkan, Rendi menatap nyalang ke arah Roni, sudah sepuluh tahun ini mereka menjadi rekan kerja sekaligus sahabat yang bertugas di bidang kriminal. Dia sungguh tidak menyangka, jika Roni yang di kenalnya hanya seorang pecundang.
"Pilihan yang tepat dan bagus, dan kamu Rendi, apa pilihanmu?" tanya sang Komandan, dengan tatapan sangar.
"Maaf Pak, mulai detik ini juga saya mengundurkan diri?" Rendi berkata sambil berdiri, dan bergegas keluar dari ruangan sang Komandan.
Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori Roni, dia sangat ketakutan dan khawatir dengan keputusan yang di ambil oleh sahabatnya itu.
"Ini tugasmu untuk menyelesaikannya!" ucap sang kepala kepolisian dengan bintang empat di seragamnya menatap Roni, disertai seringai mengerikan.
"Atau kamu ingin mati mengenaskan juga?" tanya kepala polisi itu lagi, lebih tepatnya sebuah ancaman.
Lagi-lagi Roni menelan salivanya, sambil mengusap buliran keringat di dahinya.
"S-saya harus bagaimana Pak?" tanya Roni gugup.
"Dasar Polisi bod*h, pikirkanlah jika kamu dan keluargamu ingin selamat.!" Bentak lelaki berkumis tebal, di iringi tawa oleh kepala kepolisian dan sang komandan.
"Pergilah,! kamu punya waktu dua jam dari sekarang" perintah sang Komandan, sambil menyerahkan sesuatu yang membuat tangan Roni bergetar hebat.
"B-baik pak," Roni bangkit berdiri dan mengangguk hormat, memasukkan benda itu ke pinggangnya.
"Hai, bawa ini sekalian" ucap lelaki berkumis tebal.
Roni menghentikan langkahnya, dengan napas tercekat, dia membalikkan tubuhnya, dan mengambil salah satu amplop coklat itu.
"Ambillah dua-duanya, tapi ingat, jika kamu gagal, dua isi amplop ini akan menyumpal mulutmu!" lelaki berkumis tebal itu berkata lagi, dengan seringai liciknya.
Roni mengangguk, dengan cepat menyambar dua amplop itu,sambil kembali mengangguk hormat, dia segera keluar dari ruangan sang Komandan. Gelak tawa mereka terdengar nyaring sepeninggalnya Roni.
Roni bergegas keluar dari kantornya dan segera masuk ke dalam mobilnya. Di dalam mobil, dia menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Mengambil benda di pinggangnya dengan tatapan nanar. Kemudian meraih ponselnya, dan melakukan sebuah panggilan.
"Hallo, lagi di mana?"
"Ada yang ingin aku bicarakan"
"Oke, aku akan segera ke sana."
Roni menutup ponselnya, dan segera meluncurkan mobilnya menuju rumah Rendi. Tak lama dia pun tiba di rumah minimalis milik Rendi.
Tampak Rendi yang sedang bermain di halaman belakang bersama dua anaknya. Mereka tersenyum menyambut kedatangan Roni. Dengan dada berdegup kencang, dan keringat yang terus mengucur, Roni terus melangkah mendekati mereka.
Rendi mengerutkan keningnya, melihat sikap sahabatnya, dia sangat mengetahui jika Roni sedang berada di bawah tekanan. Saat Rendi ingin bertanya, secepat kilat Roni meraih benda di pinggangnya. Rendi yang tidak punya firasat buruk kepada sahabatnya tidak bisa menghindar, dan..
Dor..
Dor...
Dor...
Dor....
Empat tembakan dari silencer pistol ( pistol peredam suara) mematikan tepat bersarang di bahu kanan dan kiri, dada dan dahi Rendi. Seketika tubuh Rendi ambruk, terdengar suara tangisan dan jeritan dari kedua anak Rendi. Namun, dengan cepat tanpa perasaan Roni melepas beberapa tembakan ke arah dua anak tersebut.
Istri Rendi yang sedang berada di dapur, segera berlari keluar menuju halaman di mana tempat suami dan anaknya sedang bermain. Belum sempat dia berteriak, beberapa tembakan mematikan mengenai tubuhnya, tubuh wanita muda dan cantik itu pun langsung ambruk.
Dada yang semakin berdegup kencang, dan dengan napas memburu, Roni segera berlari menaiki mobilnya, dan langsung tancap gas meninggalkan rumah Rendi. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba mobilnya di berhentikan oleh beberapa petugas kepolisian.
Roni yang masih dalam keadaan panik, di paksa turun dengan kasar. Sambil membawa surat penangkapan, karena kasus penembakan yang di lakukannya terhadap keluarga Rendi.
Tungkai Roni melemas seketika, dia sadar jika sudah masuk dalam perangkap licik dari orang-orang yang haus dengan kekuasaan dan jabatan, sehingga menghalalkan segala cara. Dia meronta dan berteriak, apa lagi saat dia melihat wajah sang Komandan yang tersenyum licik ke arahnya.
*************
Bab selanjutnya kita akan fokus kepada perkembangan Alaska.
Kepoin terus ya.
Sambil menunggu up, tidak ada salahnya untuk mampir ke karya Author lainnya👇👇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Susana
Ya, Allah, tega bener. 🤧🤧
2023-12-14
3
Divina Puspita
Lanjut kak
2023-03-15
1