Dara mondar-mandir di kamarnya, dari raut wajahnya tampak jelas bahwa ia tengah gelisah.
Ingatannya berputar, mengingat pengakuan Indi semalam.
"Apa? 10 juta? Kamu buat apa, In? Uang sebanyak itu?" cecar Dara terkejut saat mendengar nominal angka yang di sebutkan Indi.
"Ng ... nggak sebanyak itu Mbak, Indi waktu itu cuma pinjem 5 juta tapi nggak tahu kenapa pas nagih si Hans bilang jadi 10 juta sama bunganya. Ya itu baru Indi tahu kalau ternyata ibunya dia itu rentenir. Makanya Indi minta ibu cepet-cepet anterin Indi kesini supaya nggak di kejar-kejar lagi sama mereka, tapi tahunya malah di ikutin sampe kesini," terang Indi dengan raut menyesal.
"Terus kamu pake apa uang itu?"
"Buat ... hmmm buat beli hape ini, Mbak," desis Indi takut-takut sambil memperlihatkan ponselnya yang memang masih tampak baru dan mengkilap.
Dara menepuk keningnya pelan, kemudian mendengus kasar sebelum akhirnya beranjak menuju pintu keluar.
Indi panik, mengikuti Dara dengan tergesa-gesa dan meraih lengannya.
"Mbak, Mbak tolong jangan kasih tahu ibu, Mbak," pinta Indi memelas, bahkan kini posisinya menggantung di lengan Dara tanpa peduli kalau tubuhnya yang berisi itu lumayan berat.
Dara menepis tangan Indi sampai dia terjatuh dan memegangi bokong montoknya yang mencium lantai.
"Mbak nggak akan ngadu apa-apa sama ibu, tapi sebagai hukumannya kamu harus atasi masalah yang sudah kamu buat sendiri itu. Tanpa melibatkan siapapun! Belajarlah dewasa, Dek." Dara bergegas berlalu dari hadapan Indi dengan raut wajah masam.
****
"Kamu kenapa, Nduk?" tanya Bu Maryam yang rupanya sudah berada di dalam kamar Dara.
Dara terkesiap.
"Ibu, kok nggak ketok pintu dulu?" protes Dara menutupi kekagetannya.
Bu Maryam mencebik.
"Sampai panas ini lo tangan ibu ngetik pintu, tapi nyahut saja kamu nggak," jawab Bu Maryam.
Dara menghela nafas, menyadari kesalahannya. Terlalu larut dalam alam pikiran sendiri sampai menyalahkan orang lain tanpa bertanya.
"Nuwun Sewu, Bu. Dara nggak denger," ucap Dara lirih.
"Wes nggak apa-apa, kamu lagi apa di sini? Ibu mau pulang, kamu nggak mau nganterin?" tandas Bu Maryam.
Dara menepuk jidatnya berulang kali, karena lagi-lagi melupakan hal yang penting hari ini karena terlalu banyak pikiran. Padahal yang ada di pikirannya sekarang ya cuma Indi seorang.
"Sudah, ayo ke depan. Anak-anak sudah pada ribut itu nggak boleh Ibu pulang," ajak Bu Maryam mendahului Dara menuju keluar.
Dara membuntuti ibunya, sampai di ruang tamu yang berdekatan dengan teras tampak si kembar sedang menggelendot manja di pelukan Fatan.
Tapi bukan itu yang menjadi fokus Dara saat ini, melainkan Indi yang dengan santainya mengenakan jilbab pashmina yang hanya di sampirkan di bahunya. Ditambah dengan baju daster tipis yang menampakkan leher dan bahunya yang tidak tertutup sempurna dengan pashminanya itu.
Ingin menegur, tapi Dara sungkan. Karena keadaan sedang ramai, apalagi posisi duduk Indi yang tepat berada di hadapan Fatan membuat Dara tiba-tiba merasa takut.
"Nenek, jangan pulang," iba Farah sambil menghambur ke pelukan Bu Maryam.
"Anak cantik, anak baik. Kalau Nenek nggak pulang, nanti Kakek di sana sama siapa?" ujar Bu Maryam lembut, sambil mengelus rambut cucunya yang hari ini terurai lepas itu.
Farah mulai terisak, dengan cekatan Fatur turun dari pangkuan Fatan dan menghapus air mata adik kembarnya itu.
"Farah jangan nangis, kan nanti kalau lebaran kita bisa ke rumah Kakek sama Nenek," hibur Fatur mencoba menenangkan adiknya.
Dara tersenyum melihat kepolosan tingkah kedua buah hatinya, sejenak terlupa kalau saat ini ada hal yang tengah mengganggu pikirannya.
"Nah iya, itu Fatur pinter. Jadi Farah jangan nangis lagi ya. Nenek janji, nanti lebaran bikin kue nastar yang banyak buat Farah sama Fatur," ucap Bu Maryam dengan semangat.
Farah mengusap sisa air matanya.
"Sama putri salju? Pake gula yang banyak?"
Bu Maryam mengangguk tegas dengan senyuman lebar di wajahnya.
"Oke," desah Farah akhirnya, terpaksa harus melepas neneknya pulang ke kampung.
"Anak-anak Papa memang hebat, kalau begitu ayo kita antar Nenek ke loket travel," cetus Fatan sambil berdiri dan mengangkat tas yang akan di bawa mertuanya pulang ke kampung.
Mereka berjalan beriringan, namun sangat kentara sekali kalau Indi berusaha menghindari tatapan mata Dara.
Begitu pula saat dalam perjalanan menuju loket, dalam suasana canda pun Indi tampak lebih banyak diam dan sibuk dengan ponselnya.
"Loh, hape kamu baru In? Kok ibu baru lihat, kayaknya yang lama warnanya hitam bukan putih kayak gitu," celetuk Bu Maryam saat tanpa sengaja melihat ponsel Indi.
Indi tampak pias dan gugup saat hendak menjawab, yang keluar dari bibirnya malah hanya gumaman- gumaman tak jelas.
"Hah? Apa, In? Yang kenceng gitu lo ngomongnya, ibu nggak denger," seru Bu Maryam sambil menatap Indi intens.
Indi cepat-cepat memasukkan ponsel barunya ke dalam saku dasternya dan membuang muka ke arah jalanan.
Bu Maryam tampak bingung dengan tingkah polah anak bungsunya itu, menyadari hal itu akhirnya Dara angkat suara agar ibunya tak lagi merasa khawatir.
"Itu aku yang ngasih buat Indi, Bu. Hitung-hitung hadiah buat dia karena sudah berhasil lulus ujian masuk universitas," ujar Dara sambil melirik Indi.
Posisinya yang berada di kursi depan membuat Dara harus meliukkan badannya untuk bisa menatap ibunya dan Indi.
"Ooh begitu, kamu kok repot-repot sih, Dar? Indi itu kan sudah besar, biar saja nanti dia beli sendiri. Masa mau ngerepotin kamu sama Fatan? Sudah diizinkan tinggal sama kalian saja sudah syukur," sahut Bu Maryam sambil menelisik Indi yang tampak acuh di sebelahnya.
Dara berbalik menghadap ke depan dan menghela nafas panjang.
"Wes nggak usah di pikirkan, Bu. Semoga saja Indi bisa jadi seperti yang kita semua harapkan," tandas Dara akhirnya.
Bu Maryam mengamini ucapan Dara, walau tak ada respon sedikitpun dari Indi. Mereka melanjutkan perjalanan dalam hening, karena si kembar tertidur tanpa sadar.
Setelah mobil berhenti di pelataran sebuah loket, barulah si kembar bangun dan tentu saja langsung bergelayut di pelukan neneknya.
"Nenek jangan lupa janjinya, ya." Farah memberengutkan bibir mungilnya.
Bu Maryam terkekeh dan semakin mengeratkan pelukannya di tubuh kedua bocah kecil itu.
"Pasti dong, Sayang. Nenek akan tepati janji Nenek. Jadi kalian, jangan nakal di sini ya, jagain Tante Indi biar nggak nakal di rumah kalian. Oke?" ucap Bu Maryam dengan senyum sumringah di wajahnya.
"Siap, Nek." Si kembar mengangguk berbarengan, kemudian kembali membenamkan wajahnya di antara ceruk leher Bu Maryam yang tertutup jilbab instan.
Setelah selesai urusan dengan pemilik travel yang akan di tumpangi Bu Maryam, Fatan kembali ke dalam mobil mengabarkan kalau mobil yang akan membawa Bu Maryam ke kampungnya sudah siap berangkat.
Mereka semua keluar, dan sang sopir mulai mengangkat barang bawaan Bu Maryam untuk di masukkan ke bagasi mobil travelnya.
Indi memilih membantu sang sopir memasukkan beberapa kantong plastik berisi oleh-oleh untuk ayahnya di kampung ke dalam mobil.
Sedang Bu Maryam beralih memeluk Dara dengan erat.
"Ibu titip Indi ya, Nduk. Jaga dia baik-baik, Ibu percaya sama kamu dan suamimu. Kalian pasti bisa membimbing Indi menjadi lebih baik dan bijak, pesan ibu ... tolong awasi jangan sampai dia salah mengambil keputusan, terlebih dalam hal memilih jodohnya nanti," bisik Bu Maryam di telinga Dara sebelum melerai pelukannya.
Tubuh Dara menegang, bukan karena ucapan ibunya. Tapi karena apa yang terlihat oleh pandangan matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 252 Episodes
Comments