Indi tergesa-gesa masuk ke mobil, wajah piasnya membuat Farah serta merta ikut panik.
"Ada apa, In?" tanya Fatan.
"Mas cepetan jalanin mobilnya, Mas." Indi bergerak gelisah sembarangan terus menutupi wajahnya agar tak terlihat dari luar kaca mobil.
Padahal mobil itu berkaca gelap dan tidak bisa dilihat dari luar, tapi saat Farah mengedarkan pandangannya tampak olehnya seorang lelaki berpenampilan urakan menempelkan wajahnya ke kaca mobil.
"Itu siapa, Papa?" bisik Fatur di dekat telinga Fatan, tampak jelas kalau bocah lelaki tampan itu kini tengah merasa takut.
"Bukan siapa-siapa, kalian tenang ya. Kita pulang sekarang," ujar Fatan menenangkan anak-anaknya yang tampak panik.
Lelaki aneh itu terus menempelkan wajahnya ke kaca mobil, karena apa yang dicarinya tidak tampak di matanya.
"Mas buruan, Mas," seru Indi mulai panik, saat lelaki itu mulai memindai dikaca persis di sebelah Indi.
Fatan tak banyak bertanya, dan lebih memilih melakukan mobilnya agak kencang menjauhi lelaki aneh yang tampak mulai mengeluarkan sumpah serapahnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah mobil mereka.
"Kamu kenal lelaki itu, In?" cecar Fatan setelah mereka sudah berkendara cukup jauh.
Indi yang masih tampak syok hanya mengangguk sekilas, tampak raut gelisah dan takut terekam jelas di wajahnya.
"Kamu ada masalah sama dia?"
Indi melirik Fatan sekilas, tampak keraguan di matanya saat hendak menjawab pertanyaan Fatan.
Fatan menghela nafas panjang, karena tak ingin memaksa adik iparnya yang tampak masih syok itu untuk bercerita tentang masalahnya.
"Kalau kamu nggak nyaman cerita sama Mas, cobalah nanti cerita sama Mbakmu. Lelaki itu tampaknya berbahaya, dan kami semua nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa," gumam Fatan tenang.
Indi mengangguk dalam hening, tapi perhatian Fatan padanya seolah terus terngiang di telinganya. Dan menetap di hatinya.
Beberapa saat sebelum mencapai rumah, Fatan menyodorkan sesuatu pada Indi. Yang terang saja membuat Indi justru semakin melayang seperti layangan.
"Ambil ini, supaya kamu lebih tenang. Kata orang-orang coklat bisa bikin perasaan perempuan senang," ucap Fatan sambil menyerahkan sebuah coklat bar dengan bungkus bergambar kacang mede.
Mata Indi berbinar senang, dengan perlahan dia menerima coklat pemberian Fatan yang entah sejak kapan dibelinya itu.
Tapi semua itu hanya sesaat, kata-kata Fatan selanjutnya nyatanya membuat Indi justru terasa seperti di tenggelamkan kelautan dalam.
"Mas sudah sering buktikan quotes itu ke Mbak Dara, dan hasilnya dia selalu kembali tersenyum setiap Mas kasih coklat setelah beres mengomel atau marah-marah. Makanya Mas selalu stok coklat itu di mobil dan di rumah, buat antisipasi," kekeh Fatan dengan binar mata yang tampak memukau, memancarkan cinta yang besar saat bercerita tentang Dara, istrinya.
****
Malam menjelang.
Indi tidur di kamar tamu seorang diri, karena Bu Maryam memilih untuk tidur bersama si kembar di kamar mereka.
Setelah membersihkan tubuhnya, Indi duduk termenung di depan cermin rias yang memantulkan wajah cantiknya.
"Aku itu kenapa sih? Kok setiap deketan sama Mas Fatan malah jadi baperan. Sadar dong, Indi! Dia itu Mas iparmu! Suami Mbakmu yang selama ini selalu sayang sama kamu! Apa kamu tega mau hancurin rumah tangga mereka cuma gara-gara baper?" oceh Indi di depan cermin sembari menunjuk-nunjuk pantulan wajahnya sendiri.
"Si Hans juga, kenapa pake muncul di saat yang nggak tepat kaya tadi coba. Kalau sampai Mas Fatan tahu soal hutang aku ke ibunya dia gimana? Mau taruh dimana mukaku?" gerutu Indi sambil beranjak menuju pembaringan.
Indi berbaring telentang, menatap langit-langit kamarnya yang tampak di penuhi cicak.
"Andai aku bisa melawan hukum alam kayak kalian ya, cicak. Pasti aku seneng banget bisa jadi istri kedua Mas Fatan." Indi mulai berhalusinasi.
Sesaat kemudian dia tersadar dan langsung duduk sambil menepuk-nepuk kedua pipinya sampai memerah.
"Astaghfirullah, astaghfirullahaladzim. Ya Allah, ngomong apa aku barusan? Nggak ... nggak ... nggak! Ga boleh. Hush sana pikiran jelek, jangan racuni otak suciku," oceh Indi seperti orang gila.
Tok
Tok
Tok
Suara pintu kamar di ketuk dari luar, tidak begitu kuat tapi cukup mengejutkan Indi yang tengah berhalusinasi.
"In, kamu masih waras kan?" suara Dara terdengar sayup dari dalam kamar.
Indi mencebik sambil beringsut menuju pintu.
"Mbak pikir aku gila?" gerutu Indi setelah pintu terbuka sempurna, menampakkan wajah cantik Dara yang tanpa dipoles make up sama sekali.
"Kata Mas Fatan tadi kamu di kejar-kejar orang gila, makanya ini Mbak kesini mau mastiin aja. Takutnya ketularan," kekeh Dara sambil berjalan masuk ke kamar yang di peruntukkan bagi Indi selama tinggal di sana.
Bahu Indi melorot, seakan tak punya semangat Indi merebahkan tubuhnya dalam posisi telungkup ke atas kasur.
"Kamu mau bunuh diri kayak gitu? Nggak akan berhasil. Coba tiru yang lagi viral itu aja, buat konten. Nanti kalo cuan kan bisa buat Mbak," ledek Dara yang memang sangat suka menggoda adiknya itu.
Indi mengangkat wajahnya yang memerah karena kehabisan nafas.
"Ah Mbak, malah ngasih saran yang aneh-aneh sih,"
Dara tertawa lagi karena berhasil membuat adiknya kesal.
"Udah ah, Mbak. Ini Mbak malem-malem kesini mau apa? Nggak dinas?" balas Indi balik menggoda Dara.
Wajah Dara memerah tapi dengan cepat di tutupinya.
"Apaan sih, anak kecil. Nggak boleh ngomong begitu sebelum kamu sah jadi istri orang," nasihat Dara persis seperti Bu Maryam saat memberi wejangan pada Indi.
Namun sifat Indi sebagai anak bungsu yang terkadang manja, membuat lebih banyak nasihat yang hanya lalu ketimbang yang benar-benar tersangkut di pikirannya.
'tapi aku mimpinya jadi istri suamimu, Mbak. Gimana dong?' batin Indi kembali menghalu.
"Heh, malah ngelamun lagi dikasih tahu," seru Dara sambil menepuk pundak Indi, membuatnya menggeragap karena kaget.
"Astaghfirullah, Mbak. Kebiasaan deh, kalau jantung Indi pindah tempat gimana?" gerutu Indi sambil menekan dadanya yang terasa bergemuruh.
Dara tergelak.
"Ngelamun apa sih? Orang gila yang kata Mas Fatan ngintipin kamu di mobil siang tadi?" tanya Dara mulai mencoba mengorek informasi dari sang adik.
"M ... itu, itu ... gimana ya? Hmmmm, Indi bingung, Mbak," keluh Indi ragu-ragu.
Dara mengernyitkan keningnya, merasa ada sesuatu yang tak beres tengah di sembunyikan adik bungsunya itu.
"Sudah, cerita sama Mbak. Kamu itu adik Mbak, In. Jangan ragu kalau mau cerita apapun ke Mbak, insyaallah kalau Mbak bisa pasti Mbak bantu kamu," tegas Dara meyakinkan Indi yang tampak ragu-ragu.
Indi meneguk ludahnya susah payah, matanya liar menatap setiap sudut kamar. Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk bercerita tanpa memojokkan diri sendiri di hadapan Dara.
"Apa dia pacar kamu?" tebak Dara asal, karena melihat Indi tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Indi sontak menatap Dara dan menggeleng cepat.
"Bu ... bukan, Mbak. Indi nggak punya pacar." Indi menggoyangkan pula kedua tangannya kekiri dan kekanan, kompak dengan gelengan kepalanya yang tampak panik.
"Lalu?" sela Dara tak sabar.
Indi mendesah berat.
"Indi punya hutang sama ibunya lelaki itu, dan ternyata Indi baru tahu beberapa waktu lalu kalau ibunya dia ternyata rentenir," lirih Indi mulai terisak.
"Astaghfirullahaladzim!" seru Dara terkejut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 252 Episodes
Comments