Kunjungan Dadakan

Meeting berjalan dengan lancar, bahkan Dave menjadi begitu semangat. Padahal pagi tadi pria tersebut begitu lesu dan sempat mimpi buruk.

Amaya tidak mau memedulikan apa pun yang bersangkutan dengan Dave. Cukup memalukan mengingat apa yang terjadi tadi saat dia membangunkan Dave satu jam sebelum meeting. Dia berharap tenggelam saja di lautan yang dalam dan tidak lagi bertemu Dave. Namun, harapannya tentu saja tidak akan menjadi kenyataan.

Ada Leo yang selalu memberinya dukungan, Fhea dengan segala ceritanya, dan nenek yang selalu menunggu Amaya menghubungi setiap hari.

Dave melepas satu kancing kemejanya paling atas. Dia melipat rapi lengan kemejanya sampai siku dan setelah itu bangkit berdiri.

"Apa yang mau dia lakukan?"

Amaya melirik Dave yang berjalan mendekat.

Dave bukannya membiarkan Amaya yang sedang merapikan berkas-berkas setelah meeting, malah menghampiri Amaya. Dia duduk di kursi sampingnya.

"Mau aku bantu?"

Amaya hanya menggeleng, tanpa menatap Dave sama sekali. Berada di dekat Dave rasanya begitu sesak. Kejadian itu masih belum hilang dalam benaknya.

"Ada yang sulit? Kenapa dahi kamu sampai berkeringat?" Dave mengambil remote AC dan melihat angka suhu ruangan yang dipakai pada benda tersebut. "Apa panas? Padahal seperti biasa angkanya!"

Amaya melirik Dave dengan helaan napas yang amat pelan. Dia kesal Dave tidak peka, jika dirinyalah yang membuat Amaya sesak dan merasa panas.

"Mau aku turunkan lagi?"

Amaya menggeleng. Dia akhirnya selesai dengan pekerjaannya dan akan langsung keluar dari ruangan. Namun, Dave menahan tangannya dan menatapnya begitu dalam.

"Pak ada apa?" tanya Amaya panik. Dave meletakkan remote tersebut tanpa mengalihkan tatapannya. "Pak!"

Dave tersenyum manis kepadanya, lalu mengusap keringat di dahi Amaya dengan dasi yang sejak selesai meeting dia lepas dan dimasukkan ke saku kemejanya.

"Makasih!" Amaya terpaku dengan bibir tipis Dave yang sedang bicara. "Karena kamu, aku hari ini bisa tidur lama!" Dave menyudahi kegiatannya itu lalu memasukkan kembali dasinya ke saku.

"Pak!" Dave mengangkat sebelah alisnya, menunggu Amaya kembali bicara. "Dasinya biar saya cuci!" Dave mengangguk lalu menyerahkan dari berwarna abu-abu gelap miliknya kepada Amaya.

"Makasih loh. Ah, kamu ternyata memang sekretaris yang terbaik, May, dari semua sekretaris yang pernah kerja sama aku!" Amaya mendengkus kesal. Sifat menyebalkannya Dave kembali muncul.

"Saya akan langsung pulang, permisi!" Amaya tidak peduli dengan apa yang Dave lakukan, dia langsung saja meninggalkan Dave di ruang meeting dan keluar dari sana bersama berkas-berkas yang harus dia letakkan dulu di ruangan Dave.

"Sumpah, dia nyebelin banget!"

Amaya merutuki dirinya sendiri yang terpesona dengan kebaikan Dave, apalagi membayangkan bibir tipis itu terbuka dan menutup seperti dengan sempurna saat bicara.

"Pacarmu sudah jemput, May?"

Amaya terkejut, dia berbalik dan mendapati Dave sudah duduk di sofa ruang kerjanya. Pria tersebut sedang menenggak minuman bersoda yang memang tersedia di ruangan tersebut.

"Pak Dave tinggal memeriksa berkasnya lagi. Saya permisi!" Dave hanya mengangguk. Namun, saat Amaya hendak membuka pintu, Dave mengatakan sesuatu yang membuat Amaya sedikit terkejut.

"May, kalau besok aku tidak bisa tidur lagi kamu mau, kan, lakukan yang seperti tadi?" Amaya tidak berbalik, dia memegang gagang pintu dengan kuat. Malu, kesal, dan bingung bercampur jadi satu.

"Jujur, apa yang tadi kamu lakukan itu buat tidurku jadi nyenyak. Selama beberapa tahun ini, aku jarang tidur, May!" Terdengar helaan napas panjang. "May!"

Amaya menoleh dan memperhatikan Dave yang kembali menenggak minuman pada kaleng keduanya. "Pak Dave jangan terlalu banyak minum minuman berkarbonasi. Tidak baik untuk lambung!"

Dave menoleh dan tersenyum begitu manis kepadanya. Dia mengangguk sambil mengangkat kaleng tersebut. "Oh, gitu, ya?" Amaya mengangguk. "Yang barusan gimana, May?" tanya Dave kembali, tatapannya penuh tuntutan.

"Maaf, Pak, saya tidak bisa. Tadi saya hanya refleks saja karena Pak Dave mengigau!" tolak Amaya tegas.

Dave mendesah kecewa. Sorot mata itu cahayanya mulai memudar membuat Amaya merasa sedih dan kehilangan.

"Padahal tadi nyaman loh, May. Apa aku perlu mengigau begitu terus biar kamu peluk?" Amaya mengigit bibirnya kuat. Dave terlalu frontal mengatakannya. Dia lalu menggeleng. "Ya sudah. Makasih untuk pelukan yang menenangkan tadi dan ... untuk kecupan di pipinya!"

Ucapan terakhir Dave dengan kerlingan matanya membuat Amaya ingin menghilang saja dari bumi ini. Tanpa mengatakan apa pun, Amaya keluar dari ruang kerja Dave.

"Sialan Dave. Dia pasti sengaja buat aku malu!"

***

Amaya tidak mengerti mengapa dirinya mau saja diantar Dave pulang. Padahal dia ingin menghindari pria tersebut sampai besok kembali siap untuk bertemu kembali dengannya.

"Tidak apa-apa, kan, kalau mampir ke rumahku dulu?" Amaya menoleh dan mengangguk. "Sebentar saja kok. Yuk turun!"

"Eh, kenapa saya ikut turun, Pak?" tanya Amaya bingung. Dia memperhatikan Dave yang melepas sabuk pengamannya lalu menatapnya gemas.

"Memangnya kamu mau aku tinggal di sini?"

"Boleh, Pak?" tanya Amaya polos. Dia sama sekali tidak mau bertemu dengan keluarga Dave. Bukan karena ikut membencinya, tetapi karena tidak mau ada pemikiran lain dari mereka.

Katakanlah Amaya berlebihan, tetapi bukankah begitu? Seorang pria mengajak perempuan datang ke rumahnya. Pasti mereka akan berpikiran macam-macam.

Dave menggeleng. "Aku yang tidak mau kamu di sini sendiri. Kamu lihat di sana ...." Amaya menoleh ke samping kirinya mengikut telunjuk Dave mengarah. Melihat seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat begitu cantik tengah menunggu mereka. "mamaku pasti akan marah kalau kamu kubiarkan di sini! Ayo!" lanjut Dave. Dia keluar duluan dan berlari kecil melewati bagian depan mobil lalu membukakan pintu untuk Amaya.

"Pak, harusnya tidak perlu!" Amaya langsung melepaskan sabuk pengamannya dan turun. Dave berjalan duluan menghampiri perempuan yang ternyata mama pria tersebut.

"Malam Tante," sapa Amaya ramah.

Perempuan paruh baya itu mengangguk dan langsung menghampiri Amaya. "Kamu cantik sekali! Pantas saja Dave tergila-gila sama kamu!" ucapnya sambil menggenggam tangan Amaya. "Kok dingin begini? Ya sudah, kita bicara di dalam saja," ajak perempuan itu.

Amaya diam saja, dia tidak tahu harus berkata apa. Apalagi saat menatap Dave meminta bantuan, pria tersebut seakan tidak melihatnya dan berlalu pergi ke kamar tanpa mengatakan apa-apa.

"Kamu kerja sama Dave?"

"Iya, Tante!" jawab Amaya pelan.

"Kenapa gugup begitu? Oh, ya, nama kamu Amaya?"

Amaya mengangguk walau dirinya sendiri tidak mengerti bagaimana perempuan di depannya itu bisa mengetahui namanya. Dia akan bertanya kepada Dave atas apa yang sebenarnya Dave lakukan di belakangnya.

"Nama yang cantik. Kamu bisa panggil saya Tante Rose."

"Iya, Tante Rose!"

Perempuan itu terkekeh pelan karena sikap Amaya yang terlihat sekali begitu canggung. "Kamu harus tahu deh kalau Dave itu sering banget cerita tentang kamu. Apalagi kalau dia tidak bisa tidur. Dia itu ...."

"Ayo, aku antar kamu pulang!" Dave mendatangi mereka, dia memotong ucapan mamanya begitu saja.

Amaya mengangguk lega. "Kebiasaan. Mama baru juga ngajak ngobrol Maya! Lagian kenapa buru-buru, sih?"

"Maaf, Tante. tapi saya harus segera pulang. Saya ada urusan yang penting," bohong Amaya.

"Huh. Padahal Tante masih mau bicara banyak sama kamu!" Dia menepuk punggung tangan Amaya pelan lalu kembali berkata, "Tapi, lain kali main lagi ke sini, ya." Amaya diam saja. Rose lalu menatap Dave yang berdiri tidak jauh darinya. "Kamu awas saja kalau larang Maya ke rumah!" ancam Rose kepada putranya itu.

"Terserah Amaya saja, Ma!"

Amaya langsung menatap Dave kesal. Harusnya pria tersebut bisa menegaskan kalau dirinya tidak akan lagi datang ke rumahnya.

"Tuh, Dave bolehin. Jadi jangan sungkan untuk ke sini!" ucap Rose yang begitu penuh kasih sayang dan Amaya hanya bisa mengangguk saja.

"Ayo!" Dave mengulurkan tangannya dan Amaya menerimanya. Dia pamit pulang sambil Dave yang terus menggenggam tangannya itu.

"Kesempatan!"

Amaya mengumpat dalam hati apa yang Dave lakukan saat ini.

"Kamu pasti tidak nyaman tadi dengan sikap mamaku!" ujar Dave setelah mereka sama-sama diam membisu.

Amaya berdeham rendah. Dia malas menimpali ucapan Dave dan masih kesal dengan pria tersebut. "Jangan dipikirkan. Mamaku hanya senang berbasa-basi. Dia tidak punya anak perempuan hanya punya aku dan abangku."

Amaya menatap Dave yang tetap fokus menyetir. "Tapi, bagaimana mamanya Pak Dave tahu nama saya?"

Dave tersenyum tipis lalu berkata, "Karena beberapa kali aku mengigau, menyebut namamu dan juga ... David!"

Amaya mengerutkan dahinya. "David? Kenapa, Pak? Pak Dave sering mengigau?"

"Semenjak kejadian itu. Semenjak kamu pindah sekolah!" Dave menatap lekat mata Amaya yang terlihat kilatan terkejut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!