Dia, Amaya

Dia, Amaya

Selalu Saja Begitu

Seorang perempuan muda duduk dengan tenang sambil memperhatikan beberapa pria berpakaian formal sedang bicara serius. Pria yang duduk di sampingnya sesekali tersenyum tipis melihat wajah serius perempuan itu.

"Apa kamu sudah lapar, Amaya?" bisik pria tersebut yang membuat Amaya—nama perempuan itu—menjadi salah tingkah.

Amaya menatap pria tersebut sambil menggeleng. Namun, pria tersebut malah mengakhiri meeting mereka. Dia juga tidak segan untuk mengusir kliennya. Tentu saja hal itu membuat Amaya terkejut, tetapi dengan santainya pria tersebut berkata, "Aku tahu kamu pasti tidak akan nyaman kalau makan di depan mereka!"

"Pak Dave, tapi ...."

Amaya pasrah. Pria tersebut memang menyebalkan dan tidak pernah bisa dibantah. Dia akhirnya menurut dengan memakan makanan yang sudah dipesan sebelumnya.

Amaya dengan tenang menikmati makan siangnya setelah satu jam menemani Dave yang sedang meeting dengan klien. Dia sama sekali tidak terganggu dengan tatapan Dave yang tertuju kepadanya.

"Kamu lagi goda aku?" tanya Dave yang tidak pernah lepas menatapnya. Pria bertubuh tinggi itu duduk santai sambil menyandarkan punggungnya di sofa single dengan kaki kirinya memangku kaki kanan.

Amaya menatap Dave heran sambil meletakkan gelas jusnya. "Maksudnya, Pak?" tanya Amaya bingung. Bukannya mendapat jawaban, Amaya makin dibuat bingung dengan tingkah Dave yang menyebalkan.

Pria tersebut mengubah duduknya, dia mengambil gelas jus Amaya dan mempraktekkan apa yang dilakukannya tadi. "Begini. Cara kamu minum kayak perempuan penggoda!" ujar Dave setelah itu meletakkan gelas tersebut kembali.

Amaya mendengkus kesal, bukan karena ucapan Dave tentang perempuan penggoda, tetapi Dave yang minum dengan menggunakan sedotan milik Amaya. "Huh. Itu pikiran Bapak saja!" Dia kembali mendengkus kecil dan memilih mengabaikan Dave yang selalu saja mengatakan hal-hal menjengkelkan. Selama enam bulan dirinya bekerja sebagai sekretaris Dave, tidak sekali pun Amaya merasa hidupnya tenang. Ada saja hal yang Dave permasalahkan.

Dave mengangkat satu alisnya, dia tertawa pelan dan kembali duduk pada posisi semula. Seolah apa yang terjadi baru saja, tidak pernah ada.

"Kenyang!" Amaya sudah tidak selera untuk makan.

"Baru makan lima suap, kenyang?" tanya Dave remeh. Dia menatap Amaya payah yang menyulut emosi perempuan tersebut dan akhirnya memilih kembali menikmati makanannya dalam diam. "Kayaknya kamu takut gemuk makanya cepat banget kenyang atau itu cuma pura-pura. Atau pacar kamu yang larang untuk makan banyak? Padahal pipi chubby kamu itu dulu menggemaskan!" Dave bahkan mengerlingkan matanya.

Amaya tidak menggubris ucapan Dave dan makan dengan cepat agar bisa terbebas dari kelakukan Dave kepadanya.

Selama beberapa saat, Dave tidak mengatakan apa pun. Dia pergi sedikit menjauh meninggalkan Amaya untuk menerima panggilan dari seseorang.

"Dia bilang kalau pacarku yang larang? Pipi chubby menggemaskan?" gerutu Amaya kesal saat kembali mengingat ucapan Dave. "Padahal dulu dia bilang perempuan gemuk itu menjijikan."

"Sudah selesai?" Amaya tersedak saat tiba-tiba Dave kembali. Dia mendongak menatap Dave dan mengangguk gugup, takut Dave mendengar ucapannya tadi. Namun, sepertinya Dave tidak mendengar ketika melihat tatapan bingung pria tersebut.

"Kenapa?"

Amaya menggeleng. Dia mengusap sekitar bibirnya dengan tisu dan berdiri. "Ayo!"

***

Dave keluar dari ruangannya. Dia menghampiri Amaya yang sedang sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikannya.

Amaya sama sekali tidak menghiraukan Dave, dia mengabaikan pria tersebut saat mengetuk mejanya. "Tidak pulang?"

"Belum," jawab Amaya tanpa menatap Dave dan hanya fokus dengan layar komputernya.

Dave mengangguk. Dia menggulung lengan kemejanya sampai siku dan duduk di pinggiran meja kerja Amaya. "Tidak takut sendirian di kantor? Mau aku temani?"

Amaya menghela napas pelan lalu menatap Dave yang juga sedang menatapnya dengan senyum penuh arti. "Pak Dave pulang saja. Saya harus selesaikan laporan ini biar besok Bapak tinggal baca ulang. Lagian ada beberapa karyawan yang masih lembur, jadi enggak masalah." Setelah mengatakannya, Amaya kembali fokus pada laporan yang harus dia serahkan kepada Dave besok pagi.

"Yang aku bilang di lantai ini. Kamu enggak takut? Padahal yang aku dengar katanya di lorong sana kalau malam suka ada penampakan!" Dave menunjuk lorong ke arah toilet yang terlihat remang dengan dagunya lalu dia berdiri merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Saya tidak takut, Pak. Pak Dave silakan pulang saja." Amaya menatap Dave amat kesal. Seharian ini dia selalu berada di sisi Dave sampai lupa masih ada pekerjaan yang belum diselesaikannya.

Dave mengangguk lalu memilih pergi meninggalkan Amaya yang tidak peduli dengan kepergiannya.

Setelah memastikan Dave masuk ke lift, Amaya merasa lega. Dia sudah selesai dengan laporannya dan langsung mengeprint laporan tersebut sebelum pulang.

Saat itu ponselnya berdering. Senyumnya mengembang, rasa kesal dan lelah karena seharian bekerja terbayar saat mendengar suara pria yang beberapa bulan ini menjadi kekasihnya. Seorang pria yang begitu perhatian dan selalu menjadi tempat untuk Amaya berkeluh kesah. "Hai, sudah sampai?" tanya Amaya sambil membereskan barang-barangnya.

"Oke, aku butuh waktu sekitar lima belas menit. Kamu tunggu sebentar di lobi atau mau naik ke sini saja," tawar Amaya. Dia menghela pelan, pandangannya saat ini tertuju pada lorong ke arah toilet.

Tadi tanpa sengaja sorot matanya menangkap siluet yang bergerak cepat sekali. Seketika ucapan Dave terngiang di pikirannya dan dia tidak dapat mendengar jelas apa yang kekasihnya itu katakan.

"Oh, iya. Aku sudah selesai, kamu tunggu sebentar di sana, ya ...." Amaya menatap layar ponselnya heran. Padahal sinyalnya penuh, tetapi tiba-tiba saja panggilannya terputus. "Huh!"

Sebelum beranjak pergi menuju lift, Amaya menyempatkan diri melihat ke arah lorong di sebelah kirinya itu, merasa takut jika yang dikatakan Dave benar dia gegas pergi dan masuk ke dalam lift.

Amaya mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Dia menyandarkan tubuhnya pada dinding dan memejamkan matanya sejenak. Karena merasa takut dia sampai berlari. Hal yang tidak pernah dia lakukan selama kerja di kantor tersebut.

Berlari-lari karena takut hantu.

"Amaya!" Mendengar suara kekasihnya memanggil, Amaya membuka mata. Dia tersenyum dan bernapas lega karena sudah sampai di lobi dan saat pintu lift terbuka, kekasihnya menjadi orang pertama yang dia lihat. Dia lalu keluar dari lift. "Ada apa?"

Amaya menggeleng. Dia memeluk tubuh kekasihnya itu. Memiliki perbandingan tinggi yang jauh membuat Amaya harus berjinjit untuk memeluknya. "Huh. Tadi aku takut banget. Tapi, ya sudahlah. Kita pulang sekarang," ucap Amaya setelah melepaskan pelukannya. Dia menarik tangan kekasihnya keluar dari gedung kantor.

"Ada tempat yang mau dikunjungi sebelum pulang?"

Amaya memasang sabuk pengamannya. Dia terdiam sejenak untuk menentukan tempat mana yang akan mereka datangi walau sebentar. Hal yang selalu mereka lakukan untuk sejenak melepas lelah setelah seharian bekerja.

"Gimana kalau ke bioskop?" tanya Amaya antusias.

"Kamu yakin?"

Amaya tampak berpikir dan mengangguk. "Tadi kata Fhea ada film bagus yang baru tayang dari kemarin."

"Film apa?"

"Horor!" jawab Amaya tenang lalu setelah itu dia menelan ludahnya kasar. Baru saja dia mengalami hal yang kurang mengenakan karena ucapan Dave dan kini dia mengajak menonton film horor. "Kayaknya enggak jadi deh!"

Tanpa bertanya apa alasan Amaya membatalkan rencana dadakan mereka, pria yang sedang mengemudi dengan kecepatan sedang itu hanya mengangguk. Dia terlihat sama sekali tidak mempermasalahkannya. "Makan di angkringan, gimana? Sudah dua minggu, kan, kita tidak makan di angkringan!"

"Boleh juga. Kamu yang tentukan tempatnya." Amaya pasrahkan keputusan tempat mana yang akan mereka datangi. Dia sedang membalas pesan dari seseorang yang terus saja mengganggunya dan itu menyebalkan.

"Seperti biasa!"

Amaya berdecak sebal sampai membuat kekasihnya itu menatap heran. "Kenapa?"

"Hah?" Amaya menoleh dan dia makin kesal saat ada panggilan masuk. "Ya, Pak, ada apa?"

Mata Amaya membulat sempurna. Dia begitu kesal dengan apa yang didengarnya. "Tapi, Pak, saya sudah pulang!" Dia mencoba menolak, tetapi dia akhirnya mengangguk dan menghela napas pelan.

"Ada apa?"

"Rencananya batal. Kita ke kantor dulu, yuk. Ada yang ketinggalan di ruangan Pak Dave!" Amaya menatap tidak tenang kekasihnya itu yang menurut tanpa membantah dan terlihat kesal. "Selalu saja begitu!"

Terpopuler

Comments

Pata

Pata

Terima kasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak🌹

2023-03-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!