Bab 5

"Kalian berlima, tetap berdiri di situ. Hukuman kalian adalah mengerjakan soal yang seharusnya jadi PR. Berhubung ini ada 10 soal, nanti bergantian, masing-masing mengerjakan 2 nomer. Paham?" Pak Maher memberitahukan hukuman yang akan diberikan pada Elsa dan kawan-kawan.

"Aduh!" Elsa mengaduh. Dia akan dipermalukan kali ini. Karena Elsa memang zonk di pelajaran matematika. Dan niatnya untuk menyalin pekerjaan Ana malah gagal. Benar-benar sial.

"Paham, Pak!"

"Baik, kita mulai membahas PR kemarin ya. Semuanya, buka soal yang ditulis di buku catatan masing-masing!" Pak Maher memberikan perintah secara umum. Memang, pada pelajaran matematika, para murid harus tekun dan rajin. Seperti saat ini, jika ada PR, maka mereka harus menulis di buku catatan, kemudian di rumah harus memindahkan catatan soal, kemudian menjawabnya di buku PR. Meskipun terkesan boros tenaga, tapi Pak Maher sudah menerapkan hal tersebut, di semua kelas yang diampunya.

"Baik, Pak!" Anak-anak menjawab dengan kompak. Mereka bergegas mengeluarkan buku catatan masing-masing.

"Baik, kita bahas soal nomer satu." Pak Maher menuliskan soal di papan tulis.

"Silahkan, siapa dulu yang mau mengerjakan soal nomer satu!" Pak Maher memberikan kesempatan pada murid-muridnya untuk menjawab soal. Dia sengaja tidak menunjuk, supaya anak-anak punya kesadaran sendiri-sendiri.

"Saya, Pak!" Rio, salah satu murid laki-laki yang tidak mengerjakan PR, mengangkat tangannya dengan mantap.

"Silahkan, Rio!" Pak Maher memberikan spidol pada Rio.

Rio segera menuliskan jawabannya di papan tulis, sesuai dengan apa yang diketahuinya. Pak Maher melihat semua proses pengerjaan yang dilakukan oleh Rio. Tak lama kemudian, Rio sudah selesai menjawab soal, lengkap dengan cara pengerjaannya.

"Sudah, Pak." Rio mengembalikan spidol pada Pak Maher.

"Baik. Siapa yang jawabannya sama seperti Rio?" Pak Maher bertanya pada anak-anak yang duduk di kursinya masing-masing.

"Saya, Pak!" Sebagian besar murid mengangkat tangannya.

"Baik, itu adalah jawaban yang benar, ya! Caranya juga sesuai dengan apa yang Bapak contohkan kemarin." Pak Maher memuji Rio.

"Trimakasih, Pak." Rio tersenyum. Dia kembali ke tempatnya berdiri semula.

"Nah itu, kamu bisa mengerjakan soalnya. Tapi kenapa kamu nggak mengerjakan PR-nya?" Pak Maher yang tadi tidak menerima alasan apapun, jadi memberi kesempatan Rio untuk memberikan alasannya.

"Sepulang sekolah saya bantuin orang tua saya jualan pecel lele, Pak. Pulang malam, jadi lupa nggak ngerjain PR. Saya juga nggak ingat kalau ternyata hari ini ada pelajaran matematika. Makanya saya nggak cepet-cepet ngerjain setelah pulang sekolah kemarin." Rio memberikan alasannya, dia menunduk. Biar bagaimanapun dia salah, karena lalai dari tugasnya sebagai seorang pelajar.

"Lain kali, kalau ada PR, lagsunh dikerjakan saja. Jadi kapanpun harus dikumpulkan, sudah siap. Tidak ada acara lupa tidak mengerjakan PR seperti ini lagi. Buat semuanya saja, ya!" Pak Maher memberi nasehat pada Rio khususnya dan semua murid kelas X IPS 2 pada umumnya.

"Baik, Pak!"

Satu per satu soal sudah dikerjakan di depan, oleh anak-anak yang tidak mengerjakan PR. Termasuk Dewi dan Linda yang sebenarnya hanya malas mengerjakan saja. Meskipun sebenarnya mereka bisa. Hanya Elsa saja yang belum mengangkat tangannya dari tadi.

"Dua soal terakhir buat Elsa, ya! Dari tadi kok kamu nggak tunjuk tangan sih?" Pak Maher heran.

"Tapi, Pak?" Elsa mau mengatakan kalau dia tidak bisa, tapi dia gengsi.

"Tapi kenapa, Elsa? Teman-temanmu sudah mengerjakan semua lho. Meskipun mengalami kesulitan, tetap saja harus mencoba. Biar tau dimana kesulitannya." Pak Maher menasehati Elsa.

"Baik, Pak."

Dengan terpaksa, Elsa mengerjakan soal di depan kelas. Sontak saja, murid-murid yang lain berkasak-kusuk. Elsa mencari cara sendiri, tidak sesuai dengan apa yang sudah diajarkan oleh Pak Maher. Meskipun itu diperbolehkan, asalkan tetap masuk akal.

"Kok gitu sih jawabannya?" Salah seorang murid yang duduk di belakang memprotes jawaban Elsa.

"Iya. Bukan itu jawabannya!" Sahut yang lainnya.

"Bisa diem nggak sih?" Elsa tidak terima.

"Itu kamu dapat cara dari mana, El?" Pak Maher ikut angkat bicara.

"Kan tadi katanya suruh mencoba, Pak. Ya ini, hasil saya mencoba. Gimana sih, Pak?" Elsa menghentikan menulis jawaban.

"Iya, memang harus mencoba. Tapi ini benar-benar berbeda dari contoh yang sudah saya berikan kemarin, lho. Apa jangan-jangan kemarin kamu tidak memperhatikan pelajaran saya? Coba, semuanya. Ada yang mengerjakan seperti caranya Elsa ini?" Pak Maher mengedarkan pandangan.

"Tidak, Pak. Itu cara dan hasil akhirnya salah. Kalau cara berbeda, hasilnya benar sih nggak masalah. Kalau itu sih namanya ngawur, Pak!" Salah satu murid memberikan pendapatnya.

"Betul. Kamu bisa kepikiran cara dan jawaban itu dari mana, El? Padahal itu soal sebelumnya kan juga mirip-mirip soal yang kamu kerjakan itu. Cuma beda angkanya aja. Kok bisa kamu jadi melenceng jauh gitu. Operasi hitung kamu juga kacau banget." Pak Maher mengomentari pekerjaan Elsa.

"Kan tadi saya udah bilang, Pak. Saya nggak bisa." Elsa masih saja ngotot, tidak mau kalau disalahkan.

"Kalau nggak bisa, jangan diam saja, El. Harus berusaha! Jangan males! Belajar dari teman-temannya. Minta tolong diajarin sama temannya yang udah paham, kan bisa? Beda lho, antara orang yang nggak bisa, tapi mau berusaha, dengan orang yang udah tau nggak bisa, tapi males buat belajar, buat latihan. Kalau seperti itu terus, sampai kapanpun juga kamu nggak akan bisa!" Pak Maher tidak mau menerima alasan dari Elsa.

Elsa mengerucutkan bibirnya. Dia tidak terima dipermalukan di depan teman-temannya seperti ini. Tapi dia tidak bisa protes lebih lanjut pada Pak Maher.

"Ya sudah, siapa yang mau memperbaiki jawabannya Elsa?" Pak Maher melempar soal pada keempat teman Elsa yang ada di depan kelas.

"Saya aja, Pak!" Rio mengangkat tangan dengan mantap. Dia ingin menebus kesalahannya.

"Baik, silahkan!"

Akhirnya semua soal sudah selesai dibahas. Pak Maher mempersilahkan kelima anak yang berdiri di depan untuk duduk kembali.

Elsa berjalan dengan kesal ke mejanya. Saat melewati Ana, dia memberikan tatapan yang sangat mematikan.

"Awas aja ya! Ini semua gara-gara kamu!" Elsa berkata pada Ana dengan wajah mengancam, ia berkata lirih, dengan giginya tetap tertangkup rapat.

Ana menatap Elsa dengan tatapan tidak percaya. Kenapa apapun yang terjadi pada Elsa, selalu saja dia yang jadi sasaran kemarahannya? Apalagi yang akan dilakukan Elsa kepadanya nanti?

Ana meletakkan dahinya di atas meja. Dia benar-benar merasa frustasi. Sampai akhirnya Pak Maher menegur Ana yang dikira tertidur di kelas.

"Ana! Bangun!"

Seketika Ana mengangkat wajahnya kembali. Bersiap kalau akan mendapat kemarahan dari Pak Maher.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!