Bab 3

"Beneran deh, kamu emang bau banget, An!" Elsa ikut mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung, saat Ana sudah duduk di depannya.

"Mending tadi mandi sekalian di kamar mandi, jadi nggak bikin polusi di kelas ini!" Dewi yang duduk di bangku sebelah Ana ikut menimpali.

Ana hanya bisa diam, tidak menanggapi cemoohan teman-teman sekelasnya. Entah kenapa, dulu dia memilih untuk duduk di bangku itu, dikelilingi oleh geng centil tapi kejam di kelasnya. Ana juga tidak tau, apa yang menyebabkan mereka jadi sangat membencinya, sejak pertama kali dia memperkenalkan diri sebagai yatim piatu yang tinggal di panti, langsung saja dia mendapatkan perlakuan tidak baik dari teman-temannya.

"Sudah! Sudah! Kembali fokus! Kita lanjutkan pelajaran hari ini!" Pak Maher menghentikan kegaduhan di kelasnya.

Untuk sementara, Ana bisa sedikit tenang. Setidaknya dia tidak akan diganggu, atau dicemooh oleh teman-temannya lagi.

***

Sepulang sekolah, Ana pulang ke panti dengan berjalan kaki. Letak panti dengan sekolah Ana memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 500 meter saja. Tidak terlalu capek meskipun berjalan kaki. Sebenarnya bukan hanya dirinya saja, anak panti yang sekolah di SMA itu. Tapi entah kenapa, sepertinya hanya Ana saja yang bernasib kurang baik. Sedangkan teman-temannya, tidak ada yang mengeluh, mendapat perlakuan tidak baik dari teman-teman di kelasnya.

"Kami pulang!" Ana melepaskan sepatu dan menyimpan di rak sepatu yang ada di depan asrama. Kemudian masuk ke dalam asrama panti itu.

"Selamat sore! Gimana sekolah kalian? Lancar?" Bu Sinta dengan ramah menyambut kedatangan anak-anak asuhnya itu.

"Lancar, Bu!" Ana dan kedua temannya yang sama-sama sekolah di SMA segera menyalami Bu Sinta, sebagai tanda hormat mereka, kepada orang yang sudah mengasuh mereka sejak kecil.

"Syukurlah! Silahkan istirahat dulu! Makan siang. Makanannya ada di ruang makan. Nanti sore kita bersih-bersih, ya? Bantu adik-adik kalian juga." Bu Sinta berpesan pada Ana dan kedua temannya.

"Baik, Bu!"

Ana dan kedua temannya meninggalkan Bu Sinta. Mereka menuju ke kamar masing-masing. Di panti itu, ada beberapa kamar. Masing-masing kamar ditempati oleh anak usia SD sampai SMA. Mereka dibagi sama rata, supaya anak yang besar, bisa membantu anak yang masih kecil. Jadi mereka bisa sangat akrab dengan teman sekamarnya, meskipun berbeda usia.

Sedangkan kamar untuk bayi, dibedakan. Para balita ikut di kamar pengasuh, supaya tidak mengganggu belajar anak-anak yang sudah sekolah. Saat masih balita, tidak dibedakan antara kamar laki-laki dan perempuan. Baru setelah sekolah, anak laki-laki akan dipisahkan asramanya, bersama pengasuh khusus laki-laki juga. Jadi tidak akan terjadi hal-hal yanh dikhawatirkan, jika mereka sudah menginjak usia remaja.

"Halo, Kak Ana! Baru pulang?" Anak-anak yang sekamar dengan Ana menyambut gembira kedatangan Ana.

"Halo! Iya, baru pulang. Kalian udah pulang dari tadi?" Ana tersenyum ramah, di sini dia benar-benar dihargai dan disayangi. Berbeda dengan saat di sekolah.

"Udah, Kak! Kak Ana udah makan belum? Bu Dapur masak enak hari ini! Kak Ana mendingan makan dulu deh!" Lisa, anak yang sudah kelas 2 SMP memberitahukan berita gembira pada Ana. Memang, tidak setiap hari anak-anak panti bisa makan dengan enak. Karena semua tergantung dari donatur yang memberikan mereka biaya untuk menyambung hidup anak-anak panti ini. Bisa makan teratur saja sudah sangat beruntung, jadi mereka tidak pernah mengeluhkan soal makanan.

"Iya, nanti aku makan. Sekarang mau istirahat dulu, sebentar." Ana meletakkan tas sekolahnya di pojok ruangan.

Di kamar yang tidak terlalu luas itu, Ana tidur bersama ketiga adik pantinya, dengan menggunakan dua buah kasur lantai tipis yang mereka satukan jadi satu, supaya muat untuk berempat. Kasur biasa digulung saat pagi, dan di gelar lagi saat malam hari. Di siang hari seperti ini, mereka duduk atau berbaring di atas karpet.

Tidak ada meja belajar ataupun kursi. Mereka biasa belajar lesehan di lantai. Di dalam kamar itu ada sebuah lemari besar, yang sudah dibagi kepemilikannya, untuk menyimpan pakaian mereka. Buku-buku pelajaran, mereka simpan di rak berbahan plastik. Jadi mereka tetap mempunyai tempat sendiri-sendiri untuk menyimpan barang-barangnya. Hanya itu fasilitas di dalam setiap kamar.

Tidak ada alat elektronik di dalam kamar, kecuali lampu penerangan saja. Sedangkan fasilitas lain, ditempatkan di luar kamar, bisa digunakan oleh siapa saja. Seperti kipas angin, ataupun alat setrika yang ada di ruangan tanpa pintu, yang lebih luar daripada kamar tidur. Ruangan itu bahkan cukup untuk berkumpul anak-anak panti.

"Oke deh! Kak, kita mau ke ruang tengah ya! Mau ngadem." Lisa meminta ijin pada Ana.

"Oh, oke. Nanti aku nyusul deh." Ana juga merasa sangat gerah, tapi dia harus ganti baju dulu.

"Oke, Kak. Yuk!" Lisa mengajak kedua temannya untuk ke ruang tengah, satu-satunya ruangan yang ada kipas anginnya di asrama putri itu.

Ana sekarang di kamar sendirian. Dia memutuskan untuk segera berganti baju dan mencucinya langsung. Meskipun besok akan menggunakan seragam yang sama, tapi dia tidak mau kalau bajunya yang bau keringat menjadi bahan ejekan teman kelasnya lagi.

Setelah mencuci baju, Ana kembali ke kamar, dan ternyata adik-adiknya masih ada di ruang tengah. Ana memutuskan untuk mengambil buku diary-nya. Buku yang tidak ada bedanya dengan buku pelajaran lain, tidak akan ada yang menyadari kalau itu adalah buku diary. Meskipun Ana mengkhususkan buku itu untuk menuliskan semua yang dia rasakan dan dia keluhkan. Dia tidak cukup berani untuk bercerita dengan orang lain, karena tidak mau kalau sampai berakibat fatal nantinya.

Ana mengambil pulpen dari dalam tas sekolahnya. Kemudian di berbaring tertelungkup, dan menuliskan apa yang dia alami hari ini.

[Senin, 2 Maret

Hari ini aku kembali mendapatkan perlakuan tidak baik dari Elsa. Aku sudah berusaha menuruti apa kemauannya, aku memberikan jawaban ulanganku kepadanya, supaya dia tidak menyakitiku lagi. Tapi saat kami berdua sama-sama dihukum, dia mulai lagi dengan tingkahnya.

Dia menjambakku dengan kasar. Dia mengata-ngataiku dengan kata-kata yang menyakitkan. Saat ada seorang teman yang tidak ku kenal, ingin menolongku, dia justru kena amukan juga dari Elsa.

Aku jadi takut untuk meminta bantuan pada siapapun. Aku tidak mau membuat orang lain kena imbas kebencian Elsa padaku. Elsa benar-benar menginginkanku menjadi budak yang bisa dia perlakukan seenaknya.

Mungkin memang tidak akan ada yang bisa melepaskanku dari jeratan Elsa. Sampai kapanpun. Aku benar-benar merasa sendiri.]

Ana menutup buku diary-nya, tanpa terasa, air matanya mulai menetes.

"Tenang saja, An. Aku, Nadia, akan membalaskan dendammu! Elsa akan mendapatkan apa yang pernah kamu alami dulu. Kamu bisa tenang!" Nadia kembali tersenyum. Dia fokus mengerjakan ulangan harian.

Sampai akhirnya jam pelajaran Bu Beti berakhir, Elsa belum juga kembali. Ada dua kemungkinan, Elsa kabur, atau Elsa benar-benar membersihkan kamar mandi dengan serius. Nadia tidak peduli, kalau memang dia kabur, pasti akan dapat hukuman yang lebih berat dari Bu Beti nanti.

Saat jam pelajaran selanjutnya sudah hampir berakhir, Elsa baru kembali. Dia meminta ijin pada guru pelajaran untuk diperbolehkan masuk kelas, setelah menjelaskan apa yang terjadi.

"Lain kali, jangan nyontek lagi! Harus percaya pada diri sendiri! Nilai dikertas tidak ada apa-apanya, dibandingkan dengan nilai kejujuran. Ini tidak hanya untuk Elsa, untuk semuanya saja. Paham ya?"

"Paham, Bu!"

"Silahkan kembali ke tempat dudukmu, Elsa!" Bu Guru Bahasa Indonesia mempersilahkan Elsa.

"Trimakasih, Bu." Elsa tertunduk, dia terlihat kecapean.

"Baik, pelajaran saya cukupkan sekian. Terimakasih atas perhatian kalian." Bu Guru Bahasa Indonesia meninggalkan kelas. Membuat suasana kelas menjadi gaduh.

Elsa kembali ke tempat duduknya, di depan Nadia.

"Astaga! Bau banget!" Nadia menutup hidungnya rapat-rapat. Meskipun sebenarnya hanya untuk membuat Elsa malu di depan teman-temannya saja.

"Apaan sih kamu?" Elsa tidak terima, dikatakan bau.

"Emang nyatanya kamu bau! Udah kaya kecoa aja! Bau kamar mandi. Hoek." Nadia menjulurkan lidahnya, pura-pura mual.

"Ini semua gara-gara kamu! Kalau kamu nggak ngaduin aku sama Bu Beti, aku nggak bakalan dihukum bersihin kamar mandi!" Elsa semakin brutal, dia menghampiri Nadia, mendorong pundaknya.

"Terus aja salahin orang lain! Kalau kamu nggak nyontek, aku juga nggak bakalan aduin kamu! Makanya, jadi orang itu sering-sering ngaca! Sendirinya yang salah, sukanya nyalahin orang lain. Itu kan, yang sering kamu lakukan sama Ana dulu?" Nadia tersenyum sinis. Dia ingin tau, apa reaksi Elsa, saat disebut nama Ana yang sudah meninggal karena bunuh diri dengan cara melompat ke sungai besar. Meskipun jasadnya tidak ditemukan sampai saat ini.

Wajah Elsa seketika pucat pasi.

"Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu tau masalahku dengan Ana? Padahal, kamu belum ada di sini saat itu?" Elsa nampak ketakutan.

"Kamu tidak perlu tau siapa aku! Yang jelas, aku bukan Ana yang bisa kamu injak-injak seenak jidat kamu!" Nadia melepas paksa tangan Elsa dari pundaknya. Ia tersenyum puas, ia berhasil membuat Elsa dihantui rasa bersalah, dan itu akan terus ia lakukan, sampai Elsa mendapatkan balasan yang setimpal.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!