Bab 4

Sepulang sekolah, Nadia kembali melihat buku diary Ana. Dia memberi tanda ceklis pada tulisan curhatan Ana. Menandakan dia sudah berhasil membalaskan dendam Ana pada Elsa.

Nadia melanjutkan membaca halaman berikutnya. Pikirannya melayang jauh, memikirkan sebab Ana menuliskan ceritanya di halaman kedua itu.

Ana berangkat sekolah seperti biasanya. Di pagi itu, dia hanya berharap bisa belajar dengan tenang, tanpa gangguan dari Elsa dan teman-temannya.

Ana berjalan dengan langkah pasti, dia tidak mau sampai terlambat sampai di sekolah. Biar bagaimanapun, dia membawa citra panti. Dia tidak boleh membuat nama baik panti menjadi buruk, karena dirinya.

Sesampainya di depan gerbang, Elsa dan gengnya sudah menunggu kedatangan Ana.

"Heh, anak panti! Lama banget sih datangnya? Kita udah nungguin kamu dari tadi tau!" Elsa berucap dengan tangan yang bersedekap.

"Memangnya ada apa, El? Aku salah apa lagi?" Ana protes. Baru juga berharap semua baik-baik saja, ternyata belum juga masuk ke sekolah, sudah dapat masalah.

"Enggak, kamu nggak salah apa-apa. Cuma mau lihat PR matematika kamu aja." Jawab Elsa santai.

"Sini! Mana tas kamu!" Linda menengadahkan tangan kanannya.

"Kan kata Bu Beti kemarin, aku nggak boleh kasih jawaban sama kamu. Biar kamu nggak manja, dan mau berusaha belajar sendiri." Ana menolak memberikan tasnya.

"Heh! Itu kan kalau pas lagi ulangan. Ini kan enggak. Jangan pelit gitu deh! Atau mau aku buat kamu malu di depan teman-teman lagi?" Elsa mengancam Ana. Selalu saja seperti itu.

"Tapi kan sama saja. Kamu jadi nggak berusaha, percuma dapat nilai bagus, tapi sebenarnya nggak paham bagaimana caranya memecahkan masalah. Gimana nanti kalau udah nggak sekolah? Udah kerja? Apa kamu juga akan tetap seperti itu? Bergantung sama orang lain?" Ana berusaha menasehati Elsa. Meskipun dia tau, Elsa tidak akan terima.

"Heh, anak udik! Jangan samakan kami sama kamu ya! Kami tanpa usahapun sudah bisa dapat kehidupan yang cukup, bisa dapat apapun yang kami inginkan. Jadi kamu nggak usah nasehati kami, pakai cara-cara orang miskin seperti itu!" Dewi ikut berkomentar. Dia tidak terima dikata-katai oleh Ana seperti itu.

Ana tidak bisa berkata-kata lagi. Dari sisi manapun, dia tidak akan pernah benar di mata Elsa dan teman-temannya.

"Cepetan! Mana tas kamu!" Linda kembali meminta tas Ana. Kali ini dengan sedikit paksaan. Dia mengambil paksa ransel Ana. Meskipun gagal mendapatkannya karena tiba-tiba saja bel sekolah berbunyi.

"Ayo! Ayo! Cepet masuk! Gerbang mau saya tutup!" Pak Satpam berteriak-teriak, memanggil anak-anak yang belum sampai di gerbang depan.

Anak-anak yang berjalan kaki segera berlari, yang memakai motor juga segera memacu kendaraannya memasuki gerbang.

"Awas ya, kamu!" Elsa menunjuk-nunjuk wajah Ana. Kemudian Elsa dan teman-temannya masuk, ke sekolah.

Ana memilih berjalan di belakangnya. Yang penting sudah bisa masuk gerbang. Kalau tidak, dia bisa dianggap bolos sekolah, karena tidak diijinkan masuk oleh Pak Satpam.

Ana berlari kecil, karea kelasnya ada di gedung belakang, di lantai 3. Tidak ada lift di sekolah itu, hanya ada tangga saja. Jadi semua anak maupun guru tetap harus berjalan melewati tangga.

Ana kurang beruntung, ternyata Pak Maher sudah terlebih dulu sampai di kelas. Meskipun belum memulai pelajaran.

"Maaf, Pak. Saya terlambat lagi." Ana menunduk, meminta ijin pada Pak Maher.

"Ya, silahkan masuk saja! Lain kali jangan terlambat lagi, ya! Setidaknya lima menit sebelum bel berbunyi, seharusnya sudah ada di kelas. Biar bisa lebih siap menerima pelajaran, tidak ngos-ngosan karena berlarian menaiki tangga. Buat semuanya saja! Paham, ya!" Pak Maher tidak segalak Bu Beti. Jadi Ana tidak terlalu mendapatkan masalah, meskipun datang lebih lambat daripada gurunya.

"Baik, Pak!" Ana berjalan cepat menuju mejanya.

"Anak-anak semua, apa yang dijadikan aturan sekolah itu jangan dianggap sebagai beban! Semua itu demi kebaikan semuanya. Paham ya?" Pak Maher kembali memberi nasehat, sebelum memulai pelajarannya.

"Paham, Pak!" Jawab semua murid kelas X IPS 2 kompak.

"Baik, kita mulai pelajaran pagi ini dengan berdoa. Bedo'a di tempat, mulai!" Pak Maher memimpin bardoa.

Semua menundukkan kepala, berdoa menurut agama dan keyakinannya sendiri-sendiri.

"Selesai!"

Semua kembali memandang ke arah depan. Meskipun suasana yang tadinya sunyi saat berdo'a, tiba-tiba menjadi gaduh.

"Silahkan di kumpulkan buku PR-nya! Kita akan membahasnya bersama-sama, tapi saya sendiri yang akan menilai pekerjaan rumah kalian. Ketua kelas, tolong dikumpulkan buku PR teman-temannya!" Pak Maher memberi perintah pada ketua kelas.

"Baik, Pak." Mario dengan sigap berdiri, siap menjalankan perintah guru matematikanya.

Ketua kelas berjalan berkeliling, mengambil buku PR Matematika milik teman-temannya.

"Mana buku PR-nya?" Mario, si ketua kelas menagih buku PR pada Elsa.

"Aku belum ngerjain! Nggak usah ngumpulin lah, percuma! Nggak bakal dapat nilai juga!" Elsa berkata dengan ketus.

"Pak, ada yang nggak mau ngumpulin buku PR ini, gimana?" Mario langsung saja mengadukan pada Pak Maher, tanpa rasa takut pada Elsa, karena dia laki-laki, jadi tidak takut sama sekali pada Elsa yang sok superior di kelasnya.

"Loh kenapa?" Pak Maher yang menyiapkan buku palajarannya menatap ke arah Mario.

"Katanya belum ngerjain PR, Pak. Jadi nggak mau ngumpulin buku PR. Katanya percuma, nggak bakal dapat nilai juga." Mario menirukan ucapan Elsa.

Elsa mendelik kesal pada Mario.

"Siapa yang nggak ngerjain PR?" Pak Maher kembali berdiri, melihat seisi ruangan itu. Ingin tau, siapa saja yang mau jujur mengakui kesalahan. Namun tidak ada yang mengangkat tangannya.

"Nggak ada? Apa nggak mau ngaku?" Pak Maher kembali melempar pertanyaan.

"Si Elsa, katanya nggak ngerjain PR, Pak. Dia bilang sendiri sama saya!" Mario angkat bicara.

Elsa semakin bertambah kesal. Dia menghentakkan kakinya, juga memanyunkan bibirnya.

"Elsa, benar apa kata Mario?" Pak Maher langsung kroscek, tidak mau salah menghakimi.

"I - iya, betul, Pak." Elsa menjawab dengan ragu.

"Siapa lagi yang nggak ngerjain PR? Tolong jawab ! Jujur saja! Atau nilai kejujuran di raport kalian akan jelek!" Pak Maher mengancam, kemudian kembali memandang berkeliling.

Beberapa murid mengacungkan tangannya. Ada 5 murid, termasuk Elsa, Linda dan Dewi. Mereka mengangkat tangan dengan berat.

"Baik, kalian semua, silahkan maju!" Pak Maher berkata dengan tegas.

Elsa dan teman-temannya yang tidak mengerjakan PR dengan terpaksa berjalan ke depan kelas.

"Ketua kelas, selesaikan tugasmu! Kumpulkan buku PR anak yang lainnya!" Pak Maher memberi perintah pada Mario, sambil menunggu anak-anak yang tidak mengerjakan PR sampai di hadapannya.

"Baik, Pak." Mario kembali berjalan, mengambili buku PR, termasuk punya Ana. Kemudian meletakkan di meja guru.

"Sudah, Pak." Ucap Mario.

"Baik, terimakasih. Silahkan duduk kembali!" Pak Maher tersenyum ramah.

Pak Maher menghadap kelima murid yang tidak mengerjakan PR yang diberikan kemarin siang.

"Saya tidak akan bertanya kenapa kalian tidak mengerjakan PR, karena pasti kalian akan memberikan berbagai macam alasan, yang saya tidak tau, itu betul atau tidak. Saya akan langsung memberikan hukuman pada kalian!" Pak Maher tidak memberikan ampun pada kelima anak itu.

Elsa, Linda dan Dewi menggerutu kesal. Sedangkan dua murid laki-laki yang tidak mengerjakan PR cenderung tak acuh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!