Aku Dihina

Suasana pun berubah canggung ketika saat ini Aira, laki-laki yang baru saja menjadi suaminya, dan laki-laki yang baru saja masuk tersebut saling berhadapan.

“Keluar!” bentak suami Putri Ailing tersebut.

Langsung saja laki-laki tersebut mundur kembali dan dengan cepat menutup pintu kamar tersebut.

“Sudah, aku tidak mau bermain lagi,” ucap Aira sembari melempar pedang di tangannya dengan santai.

Kembali suami Putri Ailing tersebut tersenyum sinis. “Tidak menyangka, ternyata gosip jika putri dari kediaman Jendral Lee adalah gadis bodoh adalah kebohongan belaka. Pantas saja Jendral Lee sangat percaya diri saat mengatakan kalau putrinya pantas menjadi tebusan.”

“Dia ini sedang memuji atau meledek?” batin Aira sembari terus memperhatikan perkataan laki-laki yang ada di depannya.

“Apakah kamu sudah selesai bicara? Jika sudah, silahkan kamu bisa pergi,” ucap Aira dengan tenang.

“Kamu mengusirku?” geram suami Putri Ailing.

“Tidak. Bukankah tadi kamu bilang kalau kamu ada urusan? Jadi silahkan pergi, aku tidak akan mengganggumu lagi,” ucap Aira dengan tenang sembari berbalik.

Tanpa berkata apa pun lagi, akhirnya laki-laki tampan tersebut keluar dari ruangan tersebut.

“Dasar kucing kecil,” gumamnya ketika menutup pintu kamar tersebut dengan kasar.

Sedangkan Aira saat ini berjalan dengan gemetar dan kemudian duduk di ranjang yang ada di sana. “Gila, ini gila. Kenapa bisa begini,” gumamnya sembari menatap tangannya yang masih gemetar karena tadi baru saja menggunakan pedang sungguhan untuk bertarung.

Ia kemudian merebahkan tubuhnya di ranjang tersebut. “Aira … Ailing. Baiklah, karena aku sudah di sini dan ini bukan mimpi, maka aku akan menjadi Ailing dan menjadi wanita sukses seperti saat aku masih hidup. Mulai saat ini namaku adalah Ailing. Ingat, Ailing si wanita sukses,” tekadnya lalu tertawa keras.

**

Keesokan paginya.

Pagi ini tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu di kamar tersebut. Ketukan yang awalnya pelan pun pada akhirnya berubah menjadi sebuah gedoran.

“Astaga, apa sih,” gumam Ailing sembari membuka matanya.

“Nyonyaku!” panggil wanita yang ada di luar pintu tersebut dengan suara yang berubah seperti histeris.

“Masuk! Masuk!” Aira tak tahan dengan suara mengganggu tersebut.

Sesaat kemudian pintu kamar tersebut terbuka lebar. Masuklah seorang gadis yang seumuran dengan Ailing sedang menangis tersedu-sedu. “Nona, Nona tidak apa-apa ‘kan?” tanyanya.

“Lah, yang nangis kamu. Kenapa kamu malah tanya ke aku, apa aku nggak apa-apa, gimana sih,” batin Ailing sembari menggaruk-garuk kepalanya.

“Kamu siapa?” tanya Ailing pada gadis yang saat ini duduk di lantai dekat ranjangnya.

“Nona, nona lupa pada Xin Ya? Apa Xin Ya melakukan kesalahan pada, Nona? Nona tolong ampuni Xin Ya,” ucap gadis tersebut sembari berlutut di lantai.

“Lah, kenapa jadi sujud begitu?” pikir Ailing yang terkejut.

Kemudian ia memperhatikan pakaian gadis bernama Xin Ya tersebut. Hanbok yang digunakan oleh Xin Ya, persis seperti kostum yang pernah ia sewa saat acara drama kerajaaan korea di sekolahan dulu.

“Jangan-jangan aku ini berada di jaman kerajaan korea lagi,” batin Ailing yang baru saja mendapat informasi baru tentang dirinya.

“Sudah, berhenti sujud seperti itu. Aku tadi terkena amnesia ringan,” ucap Ailing sembari bangun dari ranjang tersebut.

Xin Ya pun mendongakkan kepalanya. “Amnesia? Apa itu amnesia, Nona?”

“Ah iya, jika ini di masa lalu. Mungkin saja mereka belum mengerti istilah-istilah ini,” batin Ailing sembari mengusap-ngusap wajahnya.

“Hilang ingatan maksudku,” beber Ailing sembari mengulurkan tangannya dan membantu Xin Ya untuk berdiri.

“Nona, apakah ini semua karena Pangeran Song yang meninggalkan Anda semalam?” tanya Xin Ya yang terlihat penuh kekhawatiran.

“Sembarangan, bukan.” Ailing menjawab dengan cepat.

“Eh, Pangeran Song? Jangan-jangan yang menikah denganku itu adalah pangeran,” batin Ailing sembari menepuk-nepuk wajahnya sendiri.

Langsung saja Xin Ya kembali menangis. “Nona, apa Anda menjadi gila karena kejadian semalam?” raungnya.

“Haiss, apa mulutnya nggak bisa difilter,” pikir Ailing.

“Jangan sembarangan, tidak ada yang seperti itu,” sangga Ailing. “Oh iya Xin Ya, tolong ceritakan semua yang terjadi. Ini itu tanggal berapa dan siapa aku ini,” pintanya karena Ailing yakin hanya dari gadis ini bisa memberi tahu semuanya.

“Anda benar-benar tidak ingat?” Sekali lagi Xin Ya bertanya.

Ailing pun mengangguk.

“Ini adalah dinasti Jeoson. Anda adalah Putri Ailing berusia enam belas tahun dari kediaman Jenderal Lee,” ucap Xin Ya.

“Suamiku?”

“Dia adalah pangeran perang, Pangeran Song. Dia merupakan adik kandung dari raja Dong. Dia sangat berwibawa, berkuasa dan memegang kekuatan utama kerajaan ini,” beber Xin Ya.

“Jadi dia adik raja, pantas saja tingkahnya sok banget,” cibir Ailing di dalam hati.

“Apa aku punya saudara? Atau apa aku punya saingan cinta di sini?”

“Anda memiliki dua saudara yang lebih tua. Mereka adalah Panglima Seok yang menjaga perbatasan selatan dan pejabat Hyung yang bekerja di kota Longtse. Sedangkan untuk selir, Pangeran Song tidak memiliki sama sekali. Dia bersih dari segala skandal selama ini,” beber Xin Ya dengan sangat jelas.

“Wow, orang ganteng kaya begitu nggak punya skandal. Gila. Kalau di dunia modern dia pasti sudah jadi idol, udah jadi playboy cap naga,” pikir Xin Ya sembari menggeleng perlahan.

“Jadi Xin Ya, kamu ini adalah?”

“Saya adalah pelayan yang Anda pungut saat Anda masih kecil. Saya sudah berjanji untuk terus mengikuti Anda sampai kapan pun. Apa Anda ingin melihat kontrak saya?” tawar Xin Ya.

“Tidak perlu,” tolak Ailing dengan cepat.

“Ah, lebih baik aku nggak melihat tulisan mirip pager itu,” batinnya.

Tak lama kemudian, ketukan pun muncul kembali di pintu masuk ruangan itu. Ailing pun segera menyuruh masuk agar tak ada adegan seperti Xin Ya tadi.

“Nyonya, sarapan Anda sudah siap,” ucap pelayan tersebut dengan wajah dingin.

Tak lama kemudian pelayan tersebut menurunkan makanan yang ada di nampannya dengan kasar di atas meja.

Xin Ya yang tadi berdiri di dekat Ailing pun segera mendekati makanan tersebut. “Apa ini? Kenapa hanya roti dan sup?” tanyanya yang tentu saja tak senang.

“Tentu saja roti dan sup, apa lagi yang kamu mau!” sergah pelayan tersebut.

“Tapi Nyonya adalah istri dari Pangeran Song, apa kamu berniat menghinanya? Apa kamu tidak takut hukum?” cecar Xin Ya.

“Hukuman?” Pelayan tersebut tersenyum sinis.

“Apa maksudnya, kenapa pelayan bersikap sombong,” batin Ailing sembari mengernyit.

“Kamu pikir istri yang tidak dicintai seperti dia bisa melakukan apa?” Pelayan tersebut lalu melirik ke arah Ailing dengan tatapan mengejek.

Wajah Ailing berubah kaku. Ia langsung berdiri dan melangkah ke arah meja. “Jadi begini aturan di sini?”

“Nyonya.” Xin Ya bergumam ketika melihat Ailing yang acak-acakan mendekat ke arah mereka.

“Jadi kamu mau memberikanku menu lain atau tidak?” tanya Ailing yang kini sudah berada tepat di depan pelayan tersebut.

“Tidak ada makanan lain di dapur,” jawab pelayan tersebut sembari melengos.

“Bagus kalau begitu,” ucapnya sembari mengambil sup yang hanya berisi beberapa irisan kentang tersebut dan menyiramkannya tepat ke wajah pelayan.

“Akh!” teriakan pelayan tersebut bertambah ketika tiba-tiba saja Ailing menendangnya dengan keras.

“Pergi!” bentak Ailing.

Pelayan tersebut pun langsung kabur dari kamar itu.

“Nona, bagaimana ini? Mereka—“

“Diam dan ikut saja!” perintah Ailing sembari mengambil pedang yang ada di lantai.

“Nona!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!