#3

Semua orang kembali berkumpul setelah beberapa lama mereka mencari Indira namun tetap tidak mereka temukan.

"Apa sebaiknya kita lapor polisi saja?" Usul DIkta.

Bang Anggara  terlihat setuju saja dengan usulan itu karena entah mengapa kali ini dia begitu takut kehilangan Indira.

"Jangan! Hm- maksud ku sebaik nya kita jangan lapor sekarang. Aku tidak mau hal ini membuat nama baik keluarga kita terseret- seret ke hal yang tidak baik ujung - ujung nya." Larang mbak Silvia.

"Lantas kalau tidak melapor ke polisi, bagaimana cara nya kita tahu dimana keberadaan indira." Ujar Dikta yang tentu saja masih mencemaskan mantan kekasih nya itu.

Mulut DIkta mungkin boleh memuntahkan semua penolakan terhadapa apa yang di rasakan. Tapi hati nya tidak akan pernah bisa berbohong. Jauh di dalam sana masih tersimpan nama Indira dengan rapi seperti dahulu.

CInta yang DIkta rasakan pada Indira tidak pernah berkurang sedikit pun hanya saja saat ini tertutup oleh rasa benci dan pilu.

Semua orang pun mengangguk setuju dengan apa yang Silvia katakan. Mereka memang harus hati hati dalam hal ini. Karena Anggara bukan lah orang biasa.

Mereka berempat pun kembali berpencar untuk mencari keberadaan Indira.

****

Hari kini sudah menjelang malam saat Indira duduk termenung di sebuah taman.

Kopernya dibiarkan begitu saja di tanah yang ditumbuhi rerumputan. Sementara kaki nya terus bergoyang - goyang bagaikan seorang bocah yang sedang duduk termenung menunggu kedatangan orang tua untuk menjemput nya.

Indira mende sah dalam rasa pilu nya. Menyesali semua perasaan yang sempat tercipta untuk bang Anggara.

"Kenapa Tuhan begitu membenci diri ku? Apa yang selama ini telah aku perbuat? Aku selalu menjadi anak baik bagi keluarga ku! Aku tidak pernah menyusahkan mereka bahkan aku sering membantu keluarga ku! Atau apa Tuhan bosan melihat ku menjadi orang baik? Tuhan ingin aku memperlihatkan sisi gelap ku?" seru nya yang semakin ngacok dalam keputus-asaan nya.

"Baik kalau memang begitu! Aku sudah tidak akan memikirkan siapa- siapa lagi. Aku hanya akan mendengar apa yang hati ku katakan. Dan aku hanya akan bersama orang yang aku ingin kan."

Dalam keraguan, Indira menekan sederetan nomor yang sangat di hapal. Meski ragu apakah nomor itu masih tetap aktif atau tidak, Indira tetap mencoba nya.

"Halo, Indira??"

****

Indira memandangi jam tangan dalam pergelangan tangan nya. Saat ini dia sedang menunggu kedatangan seseorang yang barusan dia telpon tadi.

"Sudah lama?" Sapa sebuah suara dari belakang tempat Indira duduk saat ini.

Jantung Indira berdebar saat mendengar suara yang sangat ia rindukan.

Indira tidak menjawabnya.

Pelan- pelan dia berpaling dan  memberi senyum yang begitu dirindukan Dikta.

Ya! Dikta lah orang yang akhir nya Indira hubungi dalam keputus-asaan nya itu.

Seketika rasa bahagia menyeruak di dalam hati Dikta saat melihat senyum merekah dari bibir Indira.

Tak bisa DIkta pungkiri bahwa jauh di dalam lubuk hati nya ia masih sangat mencintai perempuan yang memiliki senyuman yang memesona itu.

"Kenapa kau malah lari kepadaku? Bukannya Bang Ridwan atau suamimu itu?" tanya Dikta mengawali pembicaraan setelah sekian lama mereka tidak saling bicara.

Dikta berjalan mendekat dan duduk di samping Indira dalam sunyi nya taman malam itu.

"Kau sendiri- kenapa kau malah datang saat aku menelpon mu??" Balas Indira dengan nada yang sama.

Dikta langsung menatap ke dalam manik mata Indira. "Apakah pertanyaan itu masih harus ku jawab Ay?" jawab Dikta sambil menyertakan panggilan sayang antara mereka dahulu.

"Ay?" Seru Indira yang sangat merindukan panggilan itu.

"Aku merindukan mu Ay.." Sebut Dikta sambil menyatukan jari jemari nya dengan Jari jemari Indira.

"Maafkan aku," ucap Indira tiba-tiba sambil tertunduk sedih.

"Aku menyesal karena dulu tak pernah mengucapkannya padamu," lanjut Indira. Ia memejamkan mata untuk merasakan angin malam menyusup ke tubuhnya.

"Kita tidak perlu menyalahkan takdir 'kan?" ucap Dikta mencoba bijak lalu mengelus pipi Indira dengan tatapan mata yang masih mengikat tatapan mata Indira pada nya.

"Kau masih belum berubah," balas Dikta dengan senyum tipis.

"Maksud mu?" tanya Indira salah tingkah.

"Indira, bagaimana kalau kita mulai kembali hubungan kita. Aku bisa menerima mu apa ada nya?" tawar Dikta.

Indira mengalihkan pandangan nya. Dia tidak berani menatap Dikta.

"Apa kau tak mencintaiku lagi?" TDesak Dikta ke Indira.

"Aku masih bersuami Dikta." Jawab Indira sambil tertunduk lesu.

"Itu bukan jawaban dari pertanyaan yang aku berikan pada mu." Desak Dikta lagi dan lagi.

Dikta memegang lembut dagu Indira dan mengarahkan wajah Indira lebih dekat ke wajah nya.

"Lihat aku Indira." Ucap Dikta membuat semua bulu roma Indira berdiri.

"Bisakah kau sedikit menghormatiku sebagai wanita yang sudah bersuami? Atau paling tidak, sebagai kakak ipar mu?" ucap Indira berat dengan hati yang terasa sesak karena harus mengatakan hal itu pada orang yang dia cinta.

Walau seperti apapun beratnya Indira harus tetap mengingat status nya sebagai seorang istri. Dia harus bisa menjaga batas dengan laki-laki yang bukan suaminya. Meskipun laki- laki itu  pernah mengisi relungnya yang terdalam.

"Apakah kau sudah benar- benar melupakan tentang kita?" tanya Dikta yang terdengar sangat pilu di telinga Indira. Lalu Dikta menguarai pegangan tangan nya di dagu Indira.

Tanpa menunggu jawaban dari Indira, Dikta pun berdiri.

Dikta menarik nafas panjang dan dalam  lalu berkata, "Ayo?" ajak Dikta.

"kemana?" Tanya Indira bingung karena sikap random Dikta. Jelas- jelas tadi  DIkta bertanya sesuatu dengan serius pada nya. Namun belum sempat Indira menjawab, Dikta malah mengajak nya untuk pergi.

"Ke tempat yang lebih hangat dari taman ini. Ini sudah malam Indira. Dan sunyi pula. Tidak baik jika kita berdua berlama- lama di tempat ini." Ujar Dikta.

Indira pun setuju dengan apa yang Dikta katakan. Memang sebaik nya mereka tidak terlalu lama berduaan di tempat sepi seperti itu.

"Ayoo.." Ajak Dikta sekali lagi.

Indira menyambut uluran tangan DIkta dan berjalan bersama Dikta sambil terus berpegangan tangan. Hingga....

"Terima kasih telah menemukan istriku, Dik." Ujar Anggara yang telah menunggu di tepi jalan raya.

Indira menatap lekat pada Dikta. Dia sungguh tidak percaya akan apa yang sedang terjadi pada nya. Bagaimana bisa ini terjadi?

"Ya bang." Jawab DIkta dengan sebuah lubang di hati nya saat melepaskan tangan Indira. Indira memandanginya penuh harap. Harap yang tinggi. Harap agar kiranya Dikta tak melepaskan genggaman tangannya.

Namun harap Indira sia- sia. Pria yang pernah mengisi hatinya dengan sejuta cinta itu sama sekali tidak mencoba meraih kembali tangan nya.

Dikta sadar bahwa diri nya tidak memiliki hak apa pun untuk merebut milik orang lain. Apalagi milik abang nya sendiri.

Kendati hati nya terasa sangat sakit, namun hal itu tetap harus dia lakukan.

Meski malam saat itu tidak terlalu terang, Dikta tetap dapat melihat mata Indira yang memohon agar Dikta tidak membiarkan bang Anggara membawa nya.

Namun sekali lagi, DIkta kembali diam dalam sejuta rasa yang hancur di dalam hati nya.

****

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Indira terus saja merutuki dirinya sendiri. Menganggap dirinya bodoh karena telah menyiakan kesempatan di depan mata.

Ia menyesalinya, kenapa tadi tidak menerima apa yang DIkta tawarkan. Kalau perlu dia bercinta saja dengan DIkta di taman tadi sekalian!. Mengapa dia masih tetap mengingat batas norma di saat peluang besar menghampirinya. Indira menangis, ia begitu menyesal.

"Kenapa?" tanya Bang Anggara, "Apa kau menyesal?" lanjutnya sambil menyetir.

Indira terhenyak, ia memandang Bang Anggara sekilas. Kemudian menunduk lagi. Dipandanginya langit malam ini. Hingga mobil mereka masuk kembali ke pekarangan rumah mereka.

Sesampainya di dalam kamar...

"Kenapa hanya diam? Ayo sini peluk aku sayang.." Bang Anggara kembali ke temperamen kemarin. Temperamen yang sangat ditakutkan Indira. Lelaki itu tersenyum, tapi sinis. Matanya menyiratkan sebuah kemarahan yang teramat besar.

"Sini kubilang," aum Bang Anggarabak harimau kelaparan.

tubuh Indira gemetar karena rasa takut yang menyusup hingga ke tulang- tulang. Dengan langkah tertatih ia mendekati suaminya.

"Kenapa sih sayang? Kamu takut? Kenapa?" belai bang Anggara lembut tapi membuat darah di dalam tubuh Indira bagaikan air terjun yang benar- benar terjun bebas. Jangan tanya seperti apa Adrenalin nya saat ini.

"kemari mendekatlah!" Ucap bang Anggara yang terdengar sebagai titah di telinga Indira.

Indira beringust meringkuk di samping suaminya.  Mematuhi apa pun yang diperintahkan suaminya.

Indira memejam mata sekuat mungkin. Dia takut akan perlakuan kasar yang mungkin sebentar lagi akan bang Anggara lakukan.

Namun ternyata tidak ada perlakuan kasar yang Indira rasakan malam itu. Bang Anggara malah memeluk dengan sangat lembut sembari berkata, "tidurlah,"

Indira bertanya- tanya dalam hati nya, apa ini juga adalah bagian dari sandiwara  nya agar benih nya dapat tumbuh di dalam rahim Indira?

*********

Hampir satu bulan ini Indira dilarang keras bekerja. Entah itu memasak, mengepel, apalagi mencuci.

Hal ini mulai berlaku sejak diri nya di nyatakan hamil oleh dokter. Penjagaan super ketat pun di mulai.

Hidup nya yang tadi nya sudah terkekang kini semakin terkekang. Apalagi di rumah itu kini ada istri pertama suami nya yang kerjaan nya selalu mengawasi Indira.

Terpopuler

Comments

Syaraz

Syaraz

sedihnya dijadikan mesin pencetak anak

2023-07-11

1

✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT

✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT

kasian indira

2023-06-12

0

Diank

Diank

hidupmu Indira bagaikan burung dalam SANGKAR hidupmu tidak bebas tapi dikarenakan pernikahan ini adalah ibadah SEUMUR HIDUP sejatinya mencoba sabar iklas menerima ujianmu dan berdoalah Semoga Badai cepat berlalu

2023-03-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!