Asena membuka matanya dan merasakan nyeri yang teramat sangat di bagian punggungnya, ya Asena ingat rasa nyeri ini akibat ulah lelaki kasar dan juga tidak punya belas kasih itu. Asena tiba-tiba teringat dengan mamanya dan ia bergegas bangkit dari posisi tidur kemudian berjalan keluar kamar mencari keberadaan sosok perempuan yang telah melahirkannya itu, Asena bahkan mengabaikan rasa nyeri dibagian punggungnya sekarang.
Helaan nafas lega lolos dari bibir Asena ketika perempuan itu melihat Mamanya sedang membuatkan sarapan pagi untuknya. Asena memeluk mamanya dari arah belakang dan ingin rasanya melindungi perempuan yang ia sayangi ini, tapi Asena tidak cukup kuat untuk bisa melakukannya namun, Asena akan berusaha untuk melakukannya sebisanya.
“Sayang, kamu sudah bangun,” kata Sima seraya mengusap punggung tangan putrinya yang kini masih memeluk pinggangnya.
“Ma, maafkan Asena, karena Asena Mama sampai mendapatkan pukulan darinya,” cicit Asena penuh penyesalan. Asena merasa sangat hancur bahkan hatinya masih terasa begitu nyeri sekali ketika ia membayangkan perlakuan kasar lelaki tak berhati itu semalam.
Sima memutar tubuhnya dan kini ia menghadap kearah Asena. “Kamu tak perlu meminta maaf karena semua ini adalah salah Mama yang tidak bisa mencari lelaki baik untuk dijadikan suami sehingga kini kamu yang menanggung akibatnya,” ujar Sima dengan mengusap perlahan puncak rambut putrinya.
Sima begitu mencintai lelaki itu, lelaki yang telah berulang kali mendaratkan tangannya di setiap anggota tubuhnya, tapi semua yang Cem lakukan tak pernah membuat Sima membencinya bahkan Sima selalu bersikap baik pada lelaki itu.
Asena melepaskan pelukannya, manik biru itu mengamati wajah Sima dan nampak dengan sangat jelas bekas tamparan lelaki itu membuat salah satu pipi Mamanya lebam dan juga membiru, Asena menitihkan air matanya dan mulai terisak. Sima mengulas senyuman tipis seakan mencoba mengatakan jika semuanya baik-baik saja. Sima dengan lembut mengusap bening dari pipi putrinya perlahan.
“Asena, ini semua bukan kesalahan kamu dan Mama sudah terbiasa dengan semua hal ini, kamu tak perlu sedih,” bujuk Sima yang tak suka melihat putrinya menangis. “Sekarang lekas mandi dan Mama akan menyiapkan sarapan pagi untuk kita," pinta Sima seraya mendorong tubuh Asena menjauh darinya.
Asena menatap kearah Mamanya seraya melangkah menjauh. Sima menunjukkan senyuman manisnya pada Asena agar perempuan itu tak merasa cemas akan kondisinya. Setelah melihat punggung putrinya menghilang di balik pintu kamar, Sima jatuh terduduk ke lantai meratapi kesedihannya, andaikan saja waktu itu Sima tidak salah memilih pasangan hidup pasti Asena tak harus hidup dalam ketakutan dan juga kesedihan seperti ini. Sima lekas mengusir kesedihan itu dan menyiapkan sarapan pagi, Asena akan semakin sedih jika melihatnya menangis.
Asena keluar dari kamarnya kemudian melangkah menuju ruangan makan dan mereka berdua menghabiskan makanan di piring masing-masing.
“Ma, Asena akan berangkat kerja sekarang,” pamit Asena setelah ia selesai mencuci piring-piring kotor di dapur.
“Kita berangkat bersama,” jawab Sima.
“Mama mau kemana?” tanya Asena penuh selidik.
“Kemarin Mama sudah mendapatkan pekerjaan dan sekarang adalah hari pertama bekerja,” ujar Sima dengan senyuman ceria.
Asena menundukkan kepalanya dan bulir bening itu kembali menetes membasahi kedua pipinya. “Maafkan Asena, Ma. Asena masih belum bisa membahagiakan Mama,” cicit Asena penuh kesedihan dan juga tak berdaya menghadapi takdir yang seakan semakin mempersulit kehidupan mereka.
Sima mengangkat dagu putrinya kemudian membingkai wajah cantik Asena seraya berkata, “Sayang, jangan pernah menitihkan air mata lagi karena itu sungguh menghancurkan hati Mama. Kita adalah perempuan yang kuat dan juga tangguh dan kita bisa melewati semua ini bersama,” ujar Sima memberikan motifasi pada putrinya itu.
Melihat tekat kuat yang kini terpancar dari manik mata Sima membuat Asena senang sebab Mamanya memang perempuan yang tangguh dan tak pernah mengeluh akan takdir hidupnya, Asena harus bisa sepertinya. Asena menghirup nafas dalam kemudian menghembuskannya dari mulut seakan mencoba untuk membuang kesedihan didalam hatinya lewat nafas yang terbuang dan bercampur dengan udara pagi.
“Asena tak akan bersedih dan akan melanjutkan hidup ini, Asena akan menirukan tekat Mama dan ayo kita berangkat kerja bersama,” ujar Asena.
Mama dan juga anak itu berjalan sembari bergandengan tangan dan sesekali terdengar canda tawa dari bibir keduanya. Kesedihan dan juga beban akan terasa lebih ringan jika mereka hadapi bersama dan itulah yang sekarang coba Asena dan juga Mamanya hadapi. Sampai di persimpangan jalan keduanya berpisah dan pergi ke tujuan masing-masing.
***
“Tuan Altair, siang hari ini Anda ingin makan siang di dalam kantor atau di restoran?” tanya Lan. Lan berdiri dihadapan Tuan Altair sembari berdiri dengan tegap dan dengan pandangan tertunduk hormat.
“Restoran,” jawab Tuan Altair irit bicara seperti biasanya.
“Akan saya pesankan makanan Anda,” jawab Lan dengan begitu paham apa yang akan diinginkan oleh majikannya itu.
“Kita pindah restoran kali ini!” titah Tuan Altair ambigu.
Ingin sekali Lan menanyakan restoran yang mana namun, ia takut terkena marah oleh Tuan Altair, akhirnya Lan hanya mengikuti majikannya, nanti juga di tengah jalan ia akan tahu kemana sang majikan ingin pergi sebab Tuan Altair adalah tipe orang yang tidak suka makanan sembarangan dan dia paling pemilih mengenai setiap restoran yang akan ia datangi.
Di tempat lain.
Asena sedang sibuk melayani para tamu yang datang ke restoran tempatnya bekerja. Restoran ini tidak terlalu besar dan juga memiliki harga cukup terjangkau bagi kalangan menengah kebawa, namun memiliki rasa masakan yang bisa bersaing dengan hotel bintang lima.
Restoran ini terbilang sangat bersih sekali dan terdapat taman mini di depan restoran. Di jam istirahat kerja maka restoran ini akan selalu ramai di kunjungi oleh para pekerja yang hendak menghabiskan waktu makan siang mereka di restoran ini, selain makan mereka juga bisa menikmati pemandangan sekitar.
Asena begitu kaget sekali ketika melihat para lelaki yang mengunakan jas serba hitam tiba-tiba melangka menghampiri semua meja yang ada didalam ruangan ini dan disaat yang bersamaan semua orang yang ada di meja tersebut segera menyelesaikan makan siang mereka kemudian berjalan keluar dari restoran ini.
“Ada apa ini?” tanya Asena pada rekan kerjanya.
“Entahlah aku juga tidak tahu,” jawab rekan kerja Asena dengan mengangkat kedua pundaknya. “Asena, coba kamu tanyakan pada para lelaki yang menggunakan kemeja serba hitam itu tentang apa yang terjadi,” pinta rekan Asena. Rekan Asena tak ingin terkena masalah jadi ia meminta pada Asena yang bertanya. Sungguh licik sekali.
“Aku takut,” jawab Asena. Asena sudah bergidik melihat bentuk tubuh tegap dan juga wajah datar para lelaki yang mengunakan baju serba hitam itu. apalagi harus bertanya pada mereka. Asena tidak berniat sama sekali.
“Kalau sampai pemilik restoran ini datang dan tahu semua pengunjung restoran keluar tanpa membayar maka kita berdua akan mati,” jelas rekan kerja Asena.
“Apa? Para pengunjung yang keluar dari restoran ini belum membayar sama sekali?” tanya Asena mencoba untuk memastikan dan rekan kerjanya itu langsung menganggukkan kepalanya.
Asena membuang nafasnya lelah bercampur frustasi sepertinya ia tak memiliki pilihan lain.
“Aku akan bertanya kalau begitu,” ujar Asena.
Asena melangkah menghampiri salah satu lelaki yang menggunakan kemeja serba hitam dengan langkah yang ragu dan kedua tangannya juga bergetar penuh ketakutan namun, Asena harus tetap melangkah maju sebab pekerjaannya ini sedang dipertaruhkan. Akhirnya Asena berada dibelakang lelaki yang menggunakan kemeja hitam kemudian memberanikan diri mengarahkan satu jari telunjuknya untuk menyentuh lengan kekar dihadapannya.
“Tu-tuan bolehkan saya bertanya?” cicit Asena dengan suara yang bergetar di ujung lidahnya. Asena berperang dengan hatinya yang terus berguncang ketakutan, tapi ia harus memperjelas semuanya sebab ini menyangkut pekerjaannya.
“Ya, katakan,” jawab lelaki berjas hitam itu dengan suara penuh intimidasi.
“Kenapa setiap meja yang Anda dan juga rekan Anda hampiri semua orang-orang yang tadinya sedang menikmati hidangan didalam piring masing-masing langsung memutuskan untuk segera keluar dari restoran ini? Mereka bahkan belum membayar semua hidangan yang telah mereka nikmati?” tanya Asena dengan kepala yang tertunduk.
“Tuan kami akan membayar semua hidangan yang telah mereka makan,” jawab lelaki bertubuh kekar itu.
“Siapa nama Tuan Anda jika saya boleh tahu, sebab nanti saya akan memberikan nota pembayaran semua hidangan yang telah para pengunjung pesan padanya?” tanya Asena masih dengan tubuh yang gemetar ketakutan.
“Tuan Altair,” jawab lelaki itu.
“Sepertinya aku pernah mendengarkan namanya, tetapi dimana,” batin Asena didalam kebisuannya.
Asena melihat para pengawal mulai membungkukkan tubuhnya hormat dan Asena pun memutar tubuhnya menatap kearah pintu restoran ini. Kedua bola mata Asena seakan hendak keluar dari kodratnya ketika melihat lelaki semalam masuk kedalam restoran ini dengan jas serba hitam dan ada kaca mata berwarna senada yang bertengger di wajah tampannya, Shith! Kenapa Asena mengatakan lelaki mengerikan itu tampan, matanya mungkin sudah rabun sekarang.
"Di-dia adalah lelaki semalam."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Dde Rini
duh greget beg* banget ni mak2
2023-03-06
1