#4 Both of Them

...Enjoy you meal!...

...👓...

...〰️K i l l i a n〰️...

"Oh, jadi kamu disini sama bos kamu buat ngurus proyek?"

Ruby mengangguk dengan seulas senyum. Mereka berdua tengah berjalan di koridor Hotel dengan langkah santai sembari mengobrol. Entah kebetulan macam apa yang membuatnya bisa kembali bertemu dengan laki-laki ini setelah sekian lama.

"Iya. Sekretaris bosnya Ruby katanya kecelakaan, jadi Ruby diminta buat gantiin tugas sekretarisnya dulu buat proyek disini. Kak Zach sendiri ngapain?" Jawabnya jujur. Karena memang itulah yang jadi alasan terbesar Ruby-- si karyawan divisi markerting bisa berada disini, ikut serta menemani bosnya dalam peninjauan proyek baru.

Lelaki yang dipanggi Zach itu tampak sedikit terkejut setelah mendengar pertanyaan balik Ruby. Walaupun bagi Ruby itu hanyalah pertanyaan basa basi saja. Tapi bagi Zach, entah kenapa sesaat ia merasa sedikit kebingungan untuk menjawabnya. Tentu tak berlangsung lama dan Zach segera menjawab pertanyaan gadis itu seramah mungkin.

"Ah...Ellena lagi hamil, dan dia minta stay dulu di Bali buat refreshing aja sih. Mumet katanya." Tuturnya.

Ruby hanya mengangguk dengan berusaha terus menyunggingkan senyum normalnya.

Mendengar nama Ellena, hatinya kembali terasa berkecamuk dan campur aduk. Wanita itu sedang hamil katanya.

Bersamaan dengan itu juga, Zach seketika tanpa sadar merubah raut wajahnya seperti ia baru saja menyadari kalau dirinya sudah salah berbicara

"Oh ya? Waah, selamat ya, kak! "

Namum lagi-lagi Ruby berucap dengan semyum manis dan nada riang yang tak berlebihan. Sekali lagi, gadis itu masih harus menahan sesuatu dalam dirinya yang begitu menekan hati dan pikirannya sementara ia bicara sambil tersenyum senang.

"Makasih, Ruby." Sahutnya

Zach menatap binar dimata Ruby dengan seksama. Ada gejolak asing dalam dirinya yang tak bisa ia sembunyikan saat mendengar perkataan gadis di hadapannya.

Setelahnya, mereka tak banyak bercakap lagi dan hanya berjalan lurus berdampingan. Namun dalam hati, Ruby tak henti-hentinya mengeluh kenapa lorong menuju kamar VIP yang ditempati Killian terasa begitu panjang dan jauh. Dan kenapa juga Zach masi saja berjalan dengannya sampai sekarang?

"Ruby- "

"K- kak !"

Ucap mereka bersamaan.

Langkah kaki keduanya berhenti sejenak dan saling berhadapan. Mendadak atmosfer diantara mereka menjadi sangat canggung. Sempat terlihat bingung. Namun, Zach mengisyaratkan agar Ruby yang terebih dulu bicara.

"Emm, maaf ya Ruby udah ditungguin atasan Ruby, kak. Salam buat Ellena."

Tentu saja apa yang ingin dikatakan gadis itu adalah untuk segera pergi dari sana. Mengakhiri ketidaknyamanan dan suasana canggung yang berat baginya.

Sekilas, Ruby seperti melihat sorot mata Zach yang sendu dan seperti ada sesuatu yang ingin laki-laki itu katakan. Tapi Ruby sudah lebih dulu menunjukan ketidaknyaman saat bicara dengannya. Jadi Zach hanya mengangguk dengan berat dan tak berkata apapun lagi. Apalagi gadis itu terang-terangan menghindar dan memutus interaksi untuk segera pergi dari hadapannya.

"O-oh, Yaudah."

Senyum Zach terulas tipis. Tak banyak pikir lagi, Ruby segera berpamitan dan berjalan sedikit cepat menjauhi Zach yang masih berdiri melihat punggung Ruby sampai menghilang dibelokan koridor.

...〰️K i l l i a n〰️...

Tok tok tok

"Pak Presdir, ini Ruby."

Gadis itu mengetuk pintu kamar hotel Killian dengan lesu. Kepalanya masi tertunduk memperhatikan flat shoes warna mint yang dipakainya.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan menampilkan Killian yang hanya melihat Ruby sekilas lalu kembali masuk tanpa berkata apapun. Ruby yang mengerti bahwa dia dipersilahkan masuk, tentu saja langsung melangkahkan kakinya yang terasa lemas dan ingin segera berselonjor.

"Lama sekali ngambil baju saja. Ke pantai dulu, kamu?!" Sindir Killian dengan nada sinisnya sembari kembali melanjutkan pekerjaannya pada layar tab digenggamannya.

Telinga Ruby sudah sangat terbiasa dengan sindirian-sindiran atau kata-kata pedas atasannya ini. Selama satu bulan menjadi budak intensif Killian, mental dan kesabarannya benar-benar ditempa dan digembleng seperti di acara master chef.

"Enggak, Pak. Mana berani saya main tanpa izin." Sahutnya sembari meletakan dua paper bag yang sedari tadi dibawanya.

Killian memperhatikan raut wajah Ruby yang sepertinya tidak dalam mood yang bagus.

Gerak-geriknyapun begitu malas dan gontai seperti orang yang habis ditagih hutang, pikir Killian. Ada yang berbeda dari gadis itu sekembalinya dari mengambil pakaian dan memebeli donat. Suasana hatinya berubah entah karena apa.

"Yauda, pak. Saya permisi... "

Baru saja Ruby membalikan badan setelah sedikit membungkuk berpamitan, Killian kembali buka suara.

"Mau kemana kamu?" Ucap Killian datar tanpa mengalihkan fokusnya dari layar tab.

Ruby menghela napas pelan. Menyiapkan kembali stok kesabarannya. Sepertinya bosnya ini akan kembali membuatnya repot.

"Mau balik ke kamar saya lah pak."

Barulah Killian mengalihkan fokus padanya.

"Yang nyuruh kamu balik ke kamar kamu siapa?" Ketus Killian.

Ya gak ada lah, Jamal.

Ruby mengernyit tak mengerti. Memangnya dia harus terus disini dengan bosnya? Tentu saja dia tak berani mengucapkan isi kepalanya ini. Bosnya juga terlihat sensitif akhir-akhir ini karena banyak sekali pekerjaan yang harus diurus. Jadi tentu saja Ruby hanya bisa diam sambil pura-pura tak merasa jengkel dihadapan Killian.

"Ambil dan duduk"

Killian menyodorkan paperbag berisi tiga kotak J.co yang tadi Ruby letakan diatas meja, kemudian menunjuk dengan wajahnya agar gadis itu duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerjanya.

Ruby semakin kebingungan. Tapi ia tak berani banyak bertingkah dan menuruti apa yang dikatakan bosnya.

Dengan langkah malas, dia membawa paperbag tersebut dan mendudukkan bokongnya di sofa. Ya. Hanya duduk memangku paper bag berisi donat itu diatas pahanya tanpa melakukan apa-apa.

Killian yang tadinya akan kembali fokus pada pekerjaannya, melihat gadis itu hanya duduk diam sambil memangku paper bag nya, dia hanya bisa menghela napas lelah.

"Buka kotaknya, dan makan donatnya." Tambah Killian lagi dengan penuh penekanan.

Ruby mendongak. Dia menunjuk pada dirinya sendiri dengan wajah kebingungan.

"Saya yang makan, Pak?"

Killian rasanya seperti sedang berbicara dengan mermaid yang baru saja naik ke daratan. Laki-laki itu memijat pelipisnya sejenak.

Astaga! Killian membatin kesal.

"Memang disini saya bisa ngajak ngomong siapa lagi?"

Ruby sedikit menunduk memperhatikan tiga kotak yang didominasi warna oranye dipangkuannya. Kemudian mengangkat pandangannya kembali ke arah bosnya yang masih menampilkan wajah datarnya.

"Kenapa harus saya yang makan? Ini kan pesanan bapak." Bingungnya lagi.

Lagi-lagi terdengar helaan napas panjang dari bibir Killian dengan wajah yang tampaknya semakin lelah. Entah karena pekerjaannya yang tak pernah habis, atau karena pertanyaan gadis depannya yang juga sepertinya akan terus terlontar.

"Memangnya kalau saya yang pesan harus saya juga yang makan? Sudah! Kamu makan itu donat, kalau perlu habiskan semua yang ada di kotak, dan jangan banyak bertanya lagi!"

Ruby menelan ludahnya seraya melipat bibir bawahnya ke dalam membentuk garis lurus, seolah berusaha membuat bibirnya sendiri bungkam.

Dia masih belum membuka kotak donat dipangkuannya.

Entah kenapa, setiap kali Ruby dan bosnya berdebat hal sepele seperti ini, mulutnya seperti selalu memberontak dan ingin terus menerus mengoceh. Padahal, dia sendiri juga tahu, bosnya itu paling benci mendengarnya mengoceh dan banyak tanya. Apalagi, wajah dan tatapannya sekarang benar-benar menakutkan.

"H-harus disini ya makannya?" Cicitnya pelan.

Benar saja. Mulutnya kembali berulah dan malah bertanya lagi. Jelas-jelas sebelumnya Killian melarangnya bertanya lagi. Sekarang malah dia sendiri yang takut kembali kena semprot mulut kejam Killian.

"Hm. "

Tapi ternyata hal itu hanya dijawab dengan deheman datar saja oleh Killian. Mungkin pria itu juga sudah terlalu lelah dan malas menjawab. Killian sendiri tak mengerti, kenapa dirinya malah selalu ikut-ikutan banyak omong sampai emosi mendengar semua ocehan dan pertanyaan gadis itu. Seperti bukan dirinya saja, pikirnya.

Mendengar jawaban Killian, Ruby menghela napas lega dan tak banyak bertanya lagi.

Dengan gerakan sedikit canggung, dan mata yang sesekali mencuri pandang ke arah Killian, gadis itu mulai membuka kotak donat dan mengambil salah satunya untuk dia makan.

Donat pertama yang diambilnya adalah matcha greentea favoritnya.

Ruby mulai menyuapkan donat lembut tersebut dengan gigitan yang tak terlalu besar dan mengunyah dengan hati-hati agar tak mengotori sekitar bibirnya. Itu karena ia masih sadar ada di satu ruangan dengan bosnya.

Ruby tidak mau kalau nanti bosnya meng-cap dia yang kalau makan seperti babi. Walaupun kenyataannya memang begitu. Kalau tidak ada Killian dihadapannya sekarang, donat sebesar itu bisa dia habiskan hanya dengan dua kali gigitan atau bahkan sekali 'hap' meskipun mulutnya kecil.

Tapi ternyata pemikiran seperti itu hanya bertengger beberapa detik saja dikepalanya. Mengingat kembali pertemuannya dengan laki-laki bernama Zach beberapa saat lalu membuat hatinya terasa diacak-acak kembali. Hal itu serta merta membuat cara makan donatnya berubah seketika. Dari yang tadinya normal dan sedikit sok anggun, tiba-tiba menjadi bar-bar seperti babi yang kelaparan. Bahkan tanpa sadar dia sudah makan sambil menggerutu dengan pipi menggembung penuh donat dan bibir yang mengerucut maksimal.

"Dasar phyton raticulatus! Anaconda! Boa! Belut rawa! Hiks~"

Glek glek

Tak!

Ruby meletakkan botol air mineral ke atas meja dengan kasar setelah menenggak isinya sampai tinggal setengah.

Killian sontak kaget dan terperanjat. Melirik ke arah asistennya itu yang masih mengunyah sisa donat dimulutnya yang menggembung. Matanya tampak berkaca-kaca seperti ingin menangis, namun ekspresinya juga tampak begitu geram seakan ingin mengacak isi ruangannya.

Ruby tersadar tindakannya barusan sangat mencolok. Walaupun gerutuannya sangat pelan, tapi kamar hotel Killian sangat hening dan terlebih hanya ada mereka berdua disana. Ruby mendongak, untuk melihat barangkali bosnya sudah menatapnya dengan mata melotot tajam ke arahnya.

Namun yang ia dapati, Killian masih diposisi yang sama sedari tadi. Duduk tenang dengan mata yang masih terfokus pada layar tabletnya.

Gadis itu menghela napas lega.

Ternyata bosnya sama sekali tak mendengar gerutuan tak jelasnya barusan, apalagi dia yang meletakan botol air minum dengan agak kasar dan berisik.

Kemudian Ruby melanjutkan kembali acara makan donatnya pelan-pelan. Walaupun ia tengah kesal dan tak nyaman berada di kamar hotel hanya berdua dengan bosnya, tapi Ruby tak bisa menolak donat favorit nya begitu saja.

Mumpung dia ditawari makanan enak gratis dan bosnya juga terlihat cuek saja, jadi Ruby tak punya pilihan lain selain menuruti perintah bosnya itu pikirnya.

Tanpa gadis itu tahu, Killian tengah mati-matian mengempit sesuatu yang mendesak-desak sudut bibirnya untuk terangkat.

Pemandangan Ruby yang memakan donat dengan bar-bar sambil menggerutukan nama-nama predator melata, membuat Killian merasa gemas dan menahan tawanya sedari tadi. Ternyata, Ruby bisa terlihat selucu itu pikirnya. Killian pikir, gadis itu hanya pintar mengumpat saja seperti adiknya, Bella.

Bener kata Bella, dia penggila donat ternyata. Sampe makannya kayak godzilla gitu. Gak salah saya beliin dia J.co. Batin Killian.

...〰️K i l l i a n〰️...

Suasana ballroom hotel yang luas dan dipenuhi dengan gemerlap cahaya chandelier tampak cukup ramai.

Para tamu undangan yang didominasi dari kalangan pebisnis dengan tenang duduk di meja masing-masing, sambil menikmati kudapan serta minuman dan beberapa sajian musik dari musisi terkenal sebelum acara inti dimulai.

Tak terkecuali Ruby dan Killian yang sekarang sudah duduk manis di meja VIP nya. Beberapa orang yang berdatangan sempat menghampiri mereka dan menyapa Killian dengan antusias. Sangat terbaca dengan jelas oleh Ruby, wajah-wajah berkelas yang bersikap ramah dengan senyum kapitalis saat menyapa bosnya, menunjukan seberapa besar usaha mereka untuk menarik perhatian Killian agar menjadi partner bisnis dan investornya untuk mereka.

"Pak presdir."

Ruby memanggil Killian pelan setelah orang-orang kembali menduduki mejanya masing-masing. Killian menoleh seraya mengernyit heran.

"Apa bener saya boleh duduk disini? Uhm.. Ini kayaknya agak.."

Ruby tampak ragu, matanya sibuk melirik ke arah kiri dan kanannya yang dipenuhi dengan orang-orang dari kalangan elit. Seketika gadis itu merasa tidak percaya diri. Ada perasaan mengganjal semenjak ia ditetapkan sebagai pengganti David-- sekretaris Killian yang katanya kecelakaan itu.

Ada banyak pertanyaan dikepala gadis itu. Tapi entah kenapa kali ini dia ragu untuk banyak bertanya seperti biasanya.

"Udah gak usah overthinking hal gak penting. Lakukan saja tugas kamu seperti biasanya. Dan ingat! Setelah acara inti selesai, kamu pikirkan alasan yang tepat biar saya bisa cepet keluar dari tempat ngebosenin ini. Pusing saya kalau harus terus ngadepin orang-orang yang ngedadak caper. Ngerti?!"

Killian berujar panjang lebar. Ruby tak punya banyak pilihan selain mengangguk paham.

Dari beberapa informasi yang sempat ia kumpulkan dari David sebelum menggatikannya pergi ke Bali, Killian ini adalah orang yang paling malas berlama-lama di acara formal atau banyak orang seperti ini. Apalagi kalau sudah berhadapan dengan orang-orang merepotkan yang terang-terangan meminta sokongan darinya.

Keadaan kembali hening. Hanya terdengar suara merdu dari Isyana Sarasvati yang tengah membawakan salah satu lagu klasik seriosa. Tampaknya, Killian maupun Ruby cukup menikmati hiburan sebelum acara intinya dimulai.

Namun, ketika keduanya tengah khidmat mendengarkan suara merdu Isyana, tiba-tiba saja seseorang menyapa dan duduk di sebelah Ruby tanpa dipersilahkan.

"Lho? Ruby? Iya beneran Ruby!" Pekiknya sambil menepuk bahu Ruby. Sedangkan sebelah tangannya menangkup mulutnya seakan tak percaya kalau itu benar-benar Ruby.

Mendengar namanya disebut dengan cukup kencang dan bahunya yang tiba-tiba ditepuk pelan, Ruby tentu saja menoleh kaget. Bukan hanya terkejut karena caranya yang dipanggil dan ditepuk secara tiba-tiba. Tetapi, Ruby lebih terkejut ketika melihat siapa yang ada dihadapannya saat ini.

"Eh? Ehm.."

Bingung. Itulah yang terjadi padanya sekarang. Kepalanya seolah mengalami hang untuk beberapa saat. Namun Killian yang sudah memperhatikan interaksi keduanya, tak banyak memasang ekspresi berarti selain kernyitan samar di wajah datarnya.

"Kirain aku salah liat tadi, ternyata beneran lo- eh kamu ya, Ruby. Yaampun.." Ujarnya lagi sambil tersenyum. Namun bukan senyum yang menyenangkan untuk dilihat bagi Ruby.

Ruby balas tersenyum kecil mendengar penuturan wanita tersebut. Di telinga Ruby, deretan kalimat yang baru saja terlontar dari wanita dihadapannya terdengar seperti, 'Kok bisa sih, orang seperti kamu ada di acara khusus seperti ini'.

"Uhm.. Ya gitu lah. Kebetulan lagi kebagian kerjaan disini aja." Kata Ruby singkat.

Wanita itu mengangguk-ngangguk seraya memperhatikan penampilan Ruby dari atas hingga kebawah.

Ruby tahu. Tapi tentu dia berusaha tak terganggu dengan sikapnya itu meskipun merasa tidak nyaman.

"Ellena, kamu aku cariin dari tadi ternyata disi- Lho? Pak Killian?"

Ketiganya menoleh ke arah suara laki-laki yang mendekat ke meja VIP tempat Killian dan Ruby. Zach segera menghampiri Killian seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Killian memasang senyum seadanya untuk bersikap ramah dan menyambut uluran tangan Zach.

"Ah.. Zachary Gibran Ganendra Wijaya. Ternyata Wijaya Group juga hadir, ya." Sahut Killian.

Zach tersenyum ramah mendengarnya. Perlu diingat, Zach adalah laki-laki yang cukup murah senyum. Tak heran dia bisa cukup mencuri perhatian dengan senyuman di wajah tampannya. "Waah~ saya sangat terkesan bapak ingat nama saya. Saya cuma mewakili saja kok, sekalian ngajak istri staycation, kebetulan papa lagi dinas ke luar negeri." Jawab Zach.

Zach terlalu fokus pada Killian yang semua orang pasti tahu, laki-laki itu adalah satu-satunya penerus sekaligus pemimpin Dimitri Group yang menjadi incaran para pebisnis sepertinya. Sampai-sampai, Zach tak menyadari kehadiran Ruby di sebelah Killian.

"Oh- Ruby?"

Ruby tersenyum seraya mengangguk pelan.

"Jadi, bos yang kamu maksud kemarin, Pak Killian?" Tanya Zach.

"Iya."

Ruby kembali mengangguk menyertai jawaban singkatnya. Ellena mengernyit heran dan melihat keduanya bergantian.

"Oh? Jadi kalian udah ketemu?"

Sudut bibir Ellena terangkat miring sambil mengarahkan telunjuknya pada Ruby.

"Iya. Kemarin ketemu di lift gak sengaja pas mau balik ke kamar hotel. Aku lupa kasi tahu. " Timpal Zach diakhiri senyum manisnya.

"hmm.. Lupa ya." Gumam Ellena pelan diakhiri seringaian singkat.

Killian sedari tadi tampak hanya menyimak dengan raut yang masih datar. Ruby yang jadi lebih pendiam,    wanita aneh yang tiba-tiba duduk di tempatnya tanpa permisi, dan laki-laki ramah yang kebanyakan senyum yang ia kenal sebagai putra dari Wijaya Group. Salah satu rekan bisnis yang Killian kenal cukup lama walau tidak dekat dan menjalin kerja sama.

Ini terlihat menarik pikirnya. Tapi juga ia tak suka karena jelas merasa sangat terganggu oleh kehadiran mereaka.

"Astaga, saya sampai lupa. Sayang, kamu harusnya gak duduk disana sembarangan. Pak Killian ini CEO sekaligus Presdir Dimitri Group!"

Zach berujar antusias seraya mengisyaratkan Ellena untuk segera berdiri. Mendengar penuturan Zach, Ellena sedikit terkejut dan membulatkan matanya.  Namun ia segera berdiri sambil memasang senyum manisnya.

"Maaf, pak Killian. Semenjak hamil, tingkah istri saya jadi sedikit aneh dan kurang sopan." Kata Zach tak enak.

Killian menggeleng pelan sambil mengulas senyum tipis.

"Ini Ellena, istri saya. Dia ini putri dari CEO Roxane Hotel and Resort. Dan ya..Ruby ini teman kami juga. Kami saling kenal karena dulu kuliah di kampus yang sama." Jelas Zachary lagi.

Killian mengalihkan pandangan ke arah Ruby yang sedari tadi hanya diam. Menatap penuh selidik seolah mencari validasi dari gadis itu atas apa yang diucapkan Zach barusan.

"Iya, Ka- maksud saya Pak Zach ini dulu senior saya di kampus. Dan.." Ruby memandang Ellena sekilas seolah hanya ingin menunjukan dan enggan menyebutkan nama untuk wanita yang menyandang istri Zach itu.

"Ellena teman sekelas saya." Lanjut Ruby sedikit memelan.

Killian mengangguk-ngangguk paham. Meskipun hatinya sama sekali tak paham kenapa ekspresi Ruby seperti tidak senang.

Ditambah, Zach yang juga sesekali menunjukkan raut canggung ketika memandang ke arah Ruby. Seperti sikapnya yang biasa. Setelah berkenalan dan basa basi secukupnya, Killian akan kembali memasang wajah datar dan dinginnya. Namun kali ini bukan hanya sikap dingin dan pongah, melainkan terselip sesuatu semacam emosi yang membuatnya tak suka pada sosok Zach dan Ellena. Namun sepertinya laki-laki bernama Zach ini tidak peka dan malah mengajaknya terus mengobrol panjang lebar mengenai bisnis dan pekerjaan.

Hal itu dimanfaatkan oleh Ellena yang sedari tadi memnyimak obrolan laki-laki didepannya.

"Waaah, ternyata Ruby dari dulu gak banyak berubah ya." Celetuk Ellena tiba-tiba dengan suara lantang. Cukup untuk membuat Killian dan Zach teralih dari obrolannya.

Ruby mengerutkan kening tidak mengerti. "M- maksud kamu?" Tanyanya.

"Uhm.. Gimana ya bilangnya, kamu masi kelihatan sama pas masih jadi mahasiswa. Dari penampilan, kebiasaan, dan...ya hobi kamu." Ujarnya diakhiri kekehan pelan.

Dibawah meja, telapak tangan Ruby tertaut kuat. Sedangkan wajahnya, sekuat tenaga mempertahankan senyum dan ekspresi normalnya agar tidak merusak suasana. Sesaat, raut wajahnya tampak gelisah meskipun ia tidak melunturkan senyumnya sama sekali. Hal itu tertangkap mata Killian tanpa sepengetahuan Ruby tentunya.

"Kamu masi hobi deketin CEO sama konglomerat gitu kan? Buktinya, sekarang kamu lagi duduk sama CEO Dimitri Group." Lanjutnya sambil tertawa kecil dan melirik ke arah Killian.

"Ellena!" Bisik Zach.

Ruby meremat sisi dressnya kuat. Saat ini dia sangat malas untuk mencari ribut. Apalagi di tempat seperti ini dan ada bosnya juga.

"Hmm...aku gak kepikiran kalau hal kaya gitu bisa dijadiin hobi. Bukan ide yang buruk juga. Yang penting gak hobi ngerusak hubungan orang aja sih kalo aku. Iya gak, Ellena?"

Ruby bertutur santai diakhiri senyum manis penuh penekanan. Tapi sepertinya hal itu cukup membuat Ellena kesal dan menunjukan raut wajah tak suka secara terang-terangan. Baginya, itu adalah sindiran menyebalkan yang ditujukan Ruby untuknya.

Tapi Ellena tidak akan goyah semudah itu dalam hal menekan Ruby atau mempermalukannya. Ia mengembalikan ekspresi angkuhnya seraya membalas sindiran Ruby.

"Ah.. Gitu ya? Entahlah, ini bisa dibilang ngerusak? ngerebut? atau juga enggak. Soalnya yang paling jelas disini itu posisi, Ruby. Semua udah jelas dimana tempat yang emang seharusnya. Kalau udah tahu dunianya aja beda, ngapain maksa. Gak tau diri juga ada batasnya, kan? Hihi!" Tukas Ellena diakhiri kekehan mengejek.

Zach membulatkan matanya mendengar penuturan istrinya. Ini sudah tidak kondusif pikirnya. Istrinya bisa saja berulah dihadapan seorang Killian yang dikenal sebagai elit bisnis. Dan itu bisa sangat merugikannya. "Ellena! Kamu sudah gila, huh?! Diem ga?!" Geram Zach pelan sambil sesekali melihat ke arah Killian yang sudah memasang tampang menakutkan.

Sementara Killian menatap wajah Ellena dingin dengan terang-terangan. Sangat jelas sorotnya menunjukkan ketidaksukaannya dan hendak buka suara, jika saja Ruby tak cepat-cepat menimpali.

"Iya sih, kamu bener banget. Makanya sekarang semua udah ada diposisinya masing-masing kan?" Pungkas Ruby ambigu.

Ellena mengernyit tidak mengerti. Mulutnya hendak terbuka dan kembali menimpali kalimat Ruby namun urung ketika telinganya mendengar suara Killian yang kelewat dingin dan geram.

"Bisa kalian berdua pergi dari meja saya?"

Ujarnya datar. Namun terdengar menusuk dan menguarkan hawa dingin disekitarnya. Mendadak suasana berubah kaku. Seketika nyali Ellena menciut. Tak terkecuali bagi Ruby. Dialah penyebab keributan di meja VIP milik CEO Dimitri Group. Sekarang, Ruby baru merasa menyesal meladeni ocehan Ellena dari tadi.

Zach sontak berdiri dan menghadap Killian. "Saya mohon maaf Pak Killian atas perilaku istri saya yang membuat tidak nyaman. Kami akan kembali ke meja kami kalau begitu."

Ellena menatap Ruby sinis dengan tangan mengepal kuat. Pandangannya seolah enggan lepas dari wajah Ruby yang masih saja mengulas senyum santai. Namun sebelah lengannya segera ditarik sedikit kuat oleh suaminya. Dengan sedikit memaksa, Zach membuat Ellena berdiri dan menuntunnya untuk segera pergi setelah membungkuk singkat ke arah Killian.

Barulah setelah Zach dan Ellena menjauh, Ruby mengubah ekspresinya 180 derajat. Killian memperhatikan itu. Tapi tak banyak bertanya.

Setelahnya, tidak ada interaksi atau dialog singkat sama sekali antara Ruby dan Killian. Mereka saling bungkam dengan isi kepala masing-masing hingga acara inti selesai.

Seperti perkataan Killian di awal, Ruby mencari alasan agar mereka berdua bisa langsung meninggalkan ballroon setelah acara inti dan melewatkan acara sosialisasi antar pengusaha yang menurut Killian tidak penting.[]

Terpopuler

Comments

litaacchikocchi

litaacchikocchi

/Facepalm//Facepalm//Facepalm/

2023-12-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!