#1 Ruby

...Leviana Ruby Triendl...

...****...

...Enjoy your meal!...

...👓...

...〰️K i l l i a n〰️...

Tolong, siapapun ingatkan Ruby si lemot agar dia melepas helm doraemonnya sekarang!

Bukan apa-apa, tapi sekarang ini dia sedang berdesakan di dalam lift yang penuh sesak. Orang disekitarnya bahkan tak jarang tersundul helm yang masi menutup kepalanya dan melayangkan berbagai macam protes. Tapi anehnya, Ruby masih saja belum sadar kepalanya masih terbungkus helm kucelnya.

Bukan tanpa alasan, tangannya sekarang ini sibuk mengobrak-ngabrik isi tasnya yang didalamnya sudah seperti kantong ajaib Doraemon yang serba ada tapi juga sangat berantakan seperti keranjang cucian.

"D-duuuh mampus..Kalau flashdisknya beneran ilang, bisa dicincang jadi adonan dimsum sama Pak GM.."

*General Manager

Gumamnya gusar dengan fokus yang masih tertuju ke dalam tas yang dibawanya.

Gadis itu sama sekali tidak peduli orang disekitarnya yang menatap aneh atau bahkan berbisik mengomentarinya. Jangankan orang disekitarnya yang berdesakan dengannya, helm dikepalanya saja masih tak ia sadari keberadaannya.

Dia hanya berpikir, kepalanya terasa berat lantaran ia tengah pusing mencari-cari benda keramat yang menentukan hidup dan matinya di perusahaan ini. Bukan berpikir kepalanya berat karena belum melepas helmnya. Selemot dan sesembrono itulah Ruby jika sedang panik.

Ting!

Pintu lift terbuka di lantai sepuluh, dan orang-orang bergegas keluar.Tubuh kecil Ruby berkali-kali terdorong dan nyaris oleng karena tak seimbang. Sekali lagi itu karena helmnya yang masih setia menemel di kepalnya. Tapi ia masih belum menyerah dan membiarkan tubuhnya bertubrukan kesana kemari demi menemukan benda kecil seukuran jari kelingking bercorak kayu kecoklatan itu.

Sambil berjalan tergopoh-gopoh, Ruby membuka pintu kaca menuju ruangan divisinya dengan tangan yang masih sibuk merogoh-rogoh ke dalam tasnya.

"Eh, itu si Ubi kenapa belom dateng, gais- Eh buset kampret!!"

Darren, salah satu teman yang satu divisi dengan Ruby memekik heboh saat badannya berbalik dan mendapati Ruby yang sudah berdiri tepat didepannya dengan penampilan kacau. Gadis itu masih belum mencopot helmya. Bahunya tampak merosot dengan napas terhela pasrah.

"Ubi, lu gak papa? Buka dulu napa itu helmnya, yaampun.. Emang lu tadi pas di lobi gak ditegor sama Pak Edward apa?" Omel Daren.

FYI, Pak Edward itu satpam. Sebenarnya, Ruby tadi tidak masuk ke gedung kantor lewat lobi depan, melainkan dari lift darurat yang ada di basement. Jadi tentu dia tidak di tegur Pak Edward karena tak berpapasan.

"Bang Darren.. Kayaknya Ruby bakalan dicincang jadi adonan dimsum sama pak GM deh hari ini." ucapnya lesu dengan garis bibir yang melengkung ke bawah.

Darren ngernyit heran denger ocehan gadis yang tinggi badannya hanya sebatas dadanya alias pendek. Laki-laki itu sedikit menunduk untuk melihat wajah Rubi apalagi sebagian wajahnya masih tertutup kaca Helm yang gelap. Darren hanya bisa melihat bibir mungil gadis itu yang terlipat ke dalam karena gelisah.

"Lah emang kenapa? Lu ngelakuin kesalahan tah?" Tanya Darren. Dengan inisiatifnya dia melepas tautan pengunci helm dibawah leher Ruby kemudian melepasnya perlahan. Melihat gadis itu sepertinya sudah tak peduli lagi dengan helm sialan yang dari tadi membuat kepalanya berat.

"Flashdisk yang isinya materi presesntasi buat rapat sama klien hari ini ilang..Dan itu urgent banget, hiks gimana dong.. "

Akhirnya Ruby hanya bisa merengek yang membuat tampangnya semakin terlihat kacau. Wajah yang sedikit lusuh berkeringat dan rambut yang lepek berantakan.

Bukannya kasihan, Darren yang melihatnya malah menahan tawa mati-matian. Sayangnya Ruby menyadari kalau Darren sedang berusaha untuk tidak menertakannya walaupun itu gagal.

Bugh!

"Awwh!! Sakit Ubi!"

Ruby mendelik kesal. Satu pukulan berhasil ia layangkan di lengan Daren dan membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan. Walaupun badan Ruby itu sedikit mungil, tapi untuk urusan memukul, mencubit, menyentil, menjambak dan sejenisnya, itu lumayan bisa membuat siapapun yang menerimanya emosi jiwa.

"Ish, gak guna ngomong sama Bang Darren! Orang lagi kena bala malah diketawain."

"Pfft! Ya maap nyai Ubi, namanya juga pengen ketawa.. Sama kaya kentut makin di tahan makin desek-desekan pengen keluar, bunyi deh. Preeet~ Hehe."

Ruby yang mendengar tentu semakin kesal dan kembali mengambil ancang-ancang untuk menyerang Darren.

"E- eeeh iya iya iyaa jangan pukul gue lagi ampuuun, ubi galak banget sih."

Ruby semakin merengut kesal. Keributan mereka ternyata di dengar beberapa teman satu timnya yang duduk tak jauh dari posisi mereka.

"Apa sih ini bocah pagi-pagi uda pada ribut aja. " Timpal Sarah, salah satu tim yang usianya paling tua. Atau biasa mereka bilang, Emaknya tim divisi marketing.

"Tau nih mbak, omelin sonoh anak-anak lu dari tadi berisik banget. Ckck. " Tambah Windy.

Mereka semua sekarang malah ikut berkumpul di work station nya Ruby.

"Mbak Sarah.. Ruby ngilangin flashdisk buat rapat hari ini. Pak GM uda wanti-wanti jangan sampe gak di bawa hari ini. Tapi malah ilang, padahal tadi pas di kosan Ruby inget banget itu flashdisk uda dibawa, kayaknya jatoh di tengah jalan terus kelindes truk.. Huaaaa gimana dong.. "

"Iya emang elu bawa, tuh." Celetuk Leo.

"Iyaa Leo, Ruby tau.. Eh?." Rengekan Ruby seketika berhenti, manik bulatnya menatap Leo tak mengerti.

Darren kembali terlihat mengempit tawanya yang sebentar lagi meledak. Ruby mengernyit heran sekaligus kesal melihatnya.

Leo yang sedari tadi duduk di tempatnya, tepatnya di sisi sebrang work station Ruby dan Darren, hanya diam sambil sesekali melihat adu percakapan dua orang absurd didepannya. Akhirnya dia buka mulut karena merasa sudah terlalu berisik.

"hhh, itu yang ngegantung di leher lu apa, Ruby.." Lanjut Leo jengah sambil menunjuk dengan dagunya.

Ruby mematung sejenak, kemudian perlahan menundukan kepalanya untuk melihat apa yang ditunjuk Leo ke arahnya.

Bingo!

Benar saja. Itu benda yang sedang ia cari-cari. Benda sebesar jari kelingking warna coklat, bercorak kayu dengan sebuah tali dari bahan silikon berwarna transparan mengalung di leher jenjang Ruby.

"Ppfftt- BHUAHAHAHA!!"

Akhirnya, tawa Darren pecah dan membuat orang-orang disekitarnya ikut tertawa. Tentu saja tidak termasuk Ruby yang justru semakin memberengut kesal namun juga terlihat lega sembari menggenggam flashdisk keramatnya.

"Hiiiiinggg~ ternyata kamu dari tadi disini.." Ucap Ruby sambil memegangi dan memandang flashdisk digenggamannya dengan tatapan seperti ingin menangis.

"Dasar, ni anak kucing satu demen banget bikin keributan, hadeehh." Ujar Sarah kesal sekaligus gemas. Setelahnya ia pun kembali ke tempat duduknya seraya mengacak-ngacak rambut Ruby yang semakin berantakan.

Leo yang notabene adalah makhluk yang irit berbicarapun hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan teman satu timnya. "Kurang-kurangin lagi  lemot sama ogebnya ya, Ubi.. " tapi sekalinya dia berucap, itu bisa membuat hati sedikit ngilu. Atau mungkin busa membuat seseorang 'pundung' berhari-hari.

"..."

Ruby diam dengan bibir mengerucut semakin maju. Tapi Ruby sendiri tak begitu peduli dengan ucapan Leo yang lidahnya kadang bisa setajam pisau cukur G*llete. Dia lebih merasa kesal dengan Darren. Ternyata sedari tadi, laki-laki itu sudah tahu kalau flashdisk yang ia cari ada di lehernya sendiri. Tapi Darren malah iseng dan mentertawakannya tanpa memberitahu. "Iish! Awas lu ya Bang! Gue pecahin ban motor lu pake tusuk konde nya bu Ninong nanti pas pulang."

"Eh Ya Alloh.. Anak kecil ngancemnya serem amat dah. Wkwwk iya iya maap deeh Ubi Cilembuu yg unyu.." Darren masih saja melayangkan candaannya pada Ruby yang kemarahannya sudah di ubun-ubun. Bahkan bukan cuma bibirnya yang semakin maju, tapi matanya juga melotot tajam menatap sengit pada Darren.

Bukannya takut, Darren malah semakin gemas ingin terus menggoda Ruby dan membuat gadis itu kesal.

Akhirnya Ruby yang emosi pun menarik rambut Darren kebelakang samai badannya hampir terjungkal, tangan mungilnya sibuk memukul-mukul lengan laki-laki itu. Darren hanya berteriak kesakitan sambil meminta ampun, yang tentu saja tak didengar oleh Ruby.

Sedangkan yang lain? Mereka hanya membiarkan keributan semacam itu berlangsung.

Bagi mereka, itu hanya salah satu dari sekian banyak keributan yang seringkali terjadi karena dua orang tersebut yang hampir tak pernah akur. Jadi itu sudah biasa, toh setelah beberapa menit atau jam mereka akan kembali normal seperti tak pernah terjadi apapun.

...〰️K i l l i a n〰️...

Jam pulang kantor selalu jadi hal paling menyenangkan layaknya bel pulang sekolah. Tapi, sepertinya kali ini tidak begitu untuk Ruby.

Dia malah terkena evaluasi, gara-gara file untuk bahan presentasi di rapat penting dengan klien tidak ada di flashdisknya. Ini benar-benar fatal sebenarnya. Mengingat dia diberi tanggung jawab yang tidak main-main dan malah ceroboh dalam pekerjaanya.

"Berapa kali saya bilang, Ruby. Periksa kembali setiap kamu menyelesaikan pekerjaan, apa susahnya sih."

Dari tadi, deretan kalimat-kalimat tajam bernada tinggi yang hanya terdengar di ruangan itu. Dimana hanya tersisa dua orang didalamnya. Salah satunya Ruby.

"Kamu bikin saya malu di depan klien-klien saya, kamu tahu?" Lanjutnya lagi sarkas.

"S-saya..benar-benar m-minta maaf pak."

Ruby tak berani mengangkat kepalanya saat berbicara. Bahkan suaranya saja sangat pelan dan sedikit bergetar karena takut.

Laki-laki yang sedari tadi mengomelinya hanya memandang datar dengan sorot mata jengah. Wajah Ruby pucat dan tangannya semakin berkeringat. Kegugupan dan ketakutan seperti sedang mengunyahnya sejak dia dipanggil keruangan atasannya setelah jam pulang kerja.

Memang, biasanya kesialannya itu patut diwaspadai ketika mulai datang di waktu paling awal beraktivitas, pikir Ruby. Hampir setiap ia mengalami kesialan di waktu paling awal atau baru memulai aktivitas, kesialan itu seperti merasa harus mengikutinya hingga aktivitas nya berakhir.

"Saya pikir kamu adalah orang yang teliti, karena sejak awal kerja disini kamu yang paling cepat tanggap untuk ukuran karyawan baru walaupun kamu ceroboh. Tapi penilaian saya salah. Harusnya dari awal saya gak milih kamu jadi asisten saya!"

Ruby seketika merasa dadanya terkena tonjokan. Matanya memanas. Sekuat tenaga dia mengigit bibir bawahnya untuk menahan sesuatu yang membuatnya ingin mengeluarkan isakan.

"Gak masuk akal! Hal sekecil ini sampe terjadi ketiga kalinya, Ruby. Kamu bisa sangat merugikan perusahaan. kalau saja klien kita gak bersedia nunggu kamu nyari filenya dulu yang ternyata lupa kamu pindahin ke flashdisk!"

Cecarnya lagi membuat nyali Ruby semakin menciut.

"I-iya Pak.. S-saya minta ma- "

"Gak usah minta maaf terus! Saya gak butuh permintaan maaf kamu!"

Habis sudah mental Leviana Ruby Triendl. Ia benar-benar ingin menangis sekarang. Bahunya sedikit bergetar. Kendati ia masih berusaha menahan isakannya mati-matian.

Terdengar helaan nafas panjang dari laki-laki yang sedari tadi memarahinya habis-habisan.

"Ruby, dengar.."

Kali ini suaranya sedikit memelan. Namun juga memberikan penegasan secara tak langsung agar Ruby mengangkat wajahnya dan menatap lawan bicaranya.

"Saya tahu kamu memiliki pengalaman tak menyenangkan dengan akun email milik kamu." Lanjutnya berjeda.

"Tapi disini, kamu tidak bisa terus-menerus seperti ini. Akun Email adalah tangan kanan seluruh karyawan yang bekerja di perusahan ini. Bahkan semua perusahaan besar dimanapun. Harusnya kamu bersikap profesional dan bisa mengantisipasi semua kemungkinan dengan memanfaatkan pengiriman file lewat email."

Ruby tak bisa menjawab apapun karena itu memang kesalahannya.

"Ck. Saya bahkan tak percaya harus mengajari kamu hal seremeh ini. Benar-benar buang waktu saja." Gumamnya sarkas.

Satu bulir air mata lolos di pipi pucat Ruby yang langsung gadis itu usap buru-buru dengan kasar. Sang atasan hanya melihat dengan tatapan remeh dan senyum sinis sambil pergi dari ruangan itu tanpa berkata-kata lagi.

Hening. Suasana terasa sangat dingin dan hening namun juga sekaligus melegakan untuk Ruby. Meskipun dia masih bisa merasakan betapa sakit hatinya dimarahi oleh managernya habis-habisan. Kendati demikian, Ruby hanya bisa menunduk diam dan tak banyak berkata. Ia lebih baik diam dimarahi dengan kata-kata tajam daripada harus dipecat dari pekerjaannya.

"Hufth!! Sabar ya Ruby...wajar Pak Angga marah. Hampir aja calon mitra perusahaan ngebatalin kerja samanya gara-gara kamu ceroboh." Gumamnya pada diri sendiri.

Beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah dan menyeka kelopak matanya hati-hati. Hanya karena ia tidak ingin terlihat habis menangis, padahal diruangan itupun hanya ada dia saja seorang diri.

"Euaaagh~ kayaknya, makan seblak jeletotnya Bu Mimin level 100 paling cocok kalo lagi kena mental breakdance gini deh. " Gumamnya seraya beranjak pergi dari kursi yang terasa membakar bokongnya sedari ia duduk.

Gadis itu akhirnya pulang dengan wajah yang berusaha ia reset kembali menjadi ceria. Rasa dongkol, sakit hati, frustasi dan macam-macam rasa memuakkan yang baru saja ia dapatkan dia tekan dalam-dalam. Entah apa yang ada dipikirannyan saat ini. Ia pulang mengendari motornya sambil sesekali mengusap air matanya yang merembes tetapi bibirnya masih berusaha untuk tersenyum.

...〰️K i l l i a n〰️...

"Sumpah ya, hari ini si Ruby bikin gue darah tinggi lagi, anjir. Kesel gue."

Kata laki-laki yang duduk di sofa merah sambil menghisap rokoknya. Sesekali ia membuang ujung rokoknya yang sudah terbakar kedalam asbak didepannya.

"Gak boleh gitu wey..anak orang lu omelin mulu Ga." Sahut Gavin.

Angga Rajendra Dewa, pria berumur awal 30an itu adalah seorang general manager di Dimitri Company. Iya, manager diperusahaan yang sama di tempat Ruby bekerja.

"Ya abisnya, heran gue. Kok bisa cewek lemot kaya gitu kerja di perusahaan gede model Dimitri group, nyogok apa gimane sih, bikin pusing aja. Hampir aja meeting hari ini fail gara-gara tuh cewek." Dumalnya kesal.

Sepertinya, pria ini juga hidupnya penuh dengan beban pekerjaan. Buktinya, sampai sekarang mulutnya masih belum berhenti mengomel, meskipun dia sudah ada di tempat berbeda dengan orang-orang yang berbeda pula.

"Hmm, jangan terlalu sering marahin anak orang Ga." Timpal Garry.

Angga mengernyitkan keningnya karena tak mengerti maksud temannya itu.

"Entar lama-lama lu malah demen lagi, wkwkwk." Lanjut Garry diakhiri gelak tawanya sendiri.

"Sialan lu." Angga menyahut kesal.

Akhirnya, kalimat terakhir Garry membuat Gavin ikut terbahak dengannya. Angga hanya mendecak sebal melihat teman-temannya mengejeknya.

Angga meneguk sisa kopi di gelasnya. Ingatkan ia untuk tak jadi mentraktir kedua teman brengseknya ini. Nama Ruby akhir-akhir ini sering kali mencuat dan membuatnya sakit kepala. Sepertinya dia harus memikirkan cara untuk memecat gadis itu dari perusahaan, pikirnya. []

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!