...Enjoy you meal!...
...👓...
...〰️K i l l i a n〰️...
Setelah dipikir-pikir, ternyata birthday surprise yang dirancang Bella untuknya seminggu yang lalu tidak ada apa-apanya. Ruby memang terkejut, sempat berpikir dia akan di tembak tepat dikepalanya yang cantik oleh orang gila psikopat.
Namun ternyata, itu hanya prank sialan yang dibuat-buat sahabatnya yang kaya raya karena terlalu bosan dan kehabisan cara untuk menghabiskan uangnya. Tak sampai disitu, Ruby juga kembali dikejutkan dengan sosok orang yang memerankan psikopat gila yang menodongkan pistol ke kepalanya ternyata tak lain adalah kakaknya Bella.
Ya, dia pikir dia sudah cukup terkejut mengingat dia bertingkah gila dan mengumpat seenaknya di depan orangnya langsung. Rasanya, Ruby ingin sekali terjun dari balkon penthouse Bella dan menjadi amnesia untuk mengurangi rasa malunya.
Tapi justru kedua hal mengejutkan itu hanyalah prolog dari ******* hal paling mengejutkan yang sedang dia alami sekarang.
Laki-laki bernama Killian yang dia temui tempo lalu sebagai kaka dari sahabatnya, sekarang tengah duduk di kursi pemimpin dalam rapat direksi di perusahaannya. Apa lagi ini Ya Tuhan.
"Baik, semuanya, jadi tujuan diadakannya rapat direksi hari ini, untuk memperkenalkan Direktur utama sekaligus CEO baru dari Dimitri Group." Papar Angga selaku General Manager.
"Beliau tidak lain adalah putra sulung dari CEO sebelumnya. Bapak Killian Riyudha Altez Dimitri, waktu dan tempat dipersilakan." Lanjutnya.
Riuh tepuk tangan di ruang rapat terdengar sedikit menggema. Killian beranjak dari kursinya, kemudian menarik ujung jasnya sekilas. Gerak-geriknya tak lepas dari setiap pasang mata orang-orang disana. Terutama karyawan peremuan yang seperti terhipnotis.
"Senang bertemu anda semuanya. Saya Killian Riyudha Altez Dimitri." Bukanya.
Tubuh tinggi dan tegap berisinya bahkan seperti tak bisa disembunyikan dibalik kemeja dan jasnya yang rapi. Proporsi wajahnya yang pas dengan pahatannya yang memukau, membuatnya terlihat begitu tampan dan menawan. Jangan lupakan hidung bangir dan sorot matanya yang setajam elang. Entah kenapa, semua orang seperti sedang melihat International Top Model dan bukannya CEO mereka sekarang.
Belum lagi, semua orang tampak bertanya-tanya. Apa benar orang dihadapannya ini Presdir sekaligus CEO mereka?
Bukan tanpa alasan, mereka semua yang ada diruang rapat dibuat tercengang melihat Killian dan berpikir demikian, meski tak ada satupun yang berani buka suara tentunya. Setelan formal super mahal Killian sangat bertolak belakang dengan wajah dan style laki-laki itu yang terkesan 'badass'. Telinga yang penuh dengan piercing dan anting-anting berwarna silver. Bahkan wajah tampannya pun dihiasi beberapa tindik, seperti ujung alis dan sekitar sudut bibir yang menambah kesan menakutkan. Belum lagi, tatto-tatto yang terukir di jari jemarinya yang menambah aura dominan disekitarnya.
Suasana ruang rapat semakin mencekam, karena ekspresi wajah sang CEO yang sama sekali tak bersahabat dan kelewat datar. Apalagi, diawal pengenalannya, beliau ini sudah membawa topik bahasan evaluasi kinerja karyawan.
'Habislah kau Ruby, hiks..' lagi-lagi Ruby hanya bisa membatin pilu.
Sebisa mungkin dia menunduk dalam agar wajahnya tidak kelihatan oleh Killian. Ia belum siap menghadapi kenyataan jika laki-laki itu tahu kalau Ruby, gadis yang pernah mengatainya psikopat, juga bekerja diperusahaannya.
Salahkan otaknya yang kelewat lambat menyadari kalau Bella temannya memiliki nama belakang 'Dimitri'. Dia memang tahu kalau sahabatnya itu kaya raya. Tapi Ruby tidak menyadari kalau Bella juga salah satu putri dari Dimitri Group. Sahabatnya ini benar-benar sultan tujuh turunan ternyata. Ah, Ruby memang memiliki kebiasaan lupa dengan nama belakang teman-temannya. Apalagi, Bella juga bukan tipe orang yang suka menonjolkan latar belakangnya. Dan lagi, ketika berkenalan dengan Killian pun, laki-laki itu hanya menyebutkan nick name nya saja.
...〰️K i l l i a n〰️...
"Angga, tolong bawakan hard copy untuk proyek yang di Bali ke meja saya sekarang." Tuturnya melalui desk phone disampingnya.
Di hari pertamanya bekerja, Killian benar-benar sudah setekun dan sefokus itu dengan berkas-berkas yang menumpuk di atas mejanya.
Benar-benar mematahkan ekspektasi para karyawan, yang mengira bos barunya ini hanya datang untuk perkenalan saja. Ya, mereka yang menerka yang biasanya hanya dari tampangnya saja.
Padahal mereka pikir, Killian bisa saja hanya bersantai di hari pertama ini atau sekedar menyapa para karyawan, mengingat dia sendiri yang punya perusahaan, kan. Tapi tentu itu tak masuk ke dalam otak pria berumur awal 30-an seperti dirinya yang isinya hanya bisnis. Tak salah jika beberapa orang menganggapnya seorang perfeksionis yang gila kerja.
Beberapa saat kemudian Angga mengetuk pintu ruang kerja pribadinya dan masuk membawa map berisi hard copy file yang ia minta.
"Ini pak, hard copy laporan proyek yang bapak minta."
Killian menyelesaikan aktifitas mengetiknya di komputer sejenak sebelum ia menoleh dan meraih map yang disodorkan Angga. Masih dengan kacamata minus yang bertengger di hidung bangirnya, dengan teliti Killian memeriksa lembar per lembar tulisan di kertas tersebut. Tidak ada ekspresi berarti yang muncul di wajahnya. Angga sendiri belum berani beranjak dari hadapan sang atasan sebelum ia dipersilahkan. Ia pikir pasti akan ada hal yang mungkin ditanyakan atau dikoreksi oleh bosnya itu.
"Ini kamu yang nyusun?" Tanya Killian dengan mata yang masih fokus membaca berkas ditangannya.
"Bukan pak, asisten saya yang buat. Untuk penyusunan proposal, laporan proyek, atau hal-hal yang berkaitan dengan berkas memang biasanya dikerjakan asisten manager. Baru diserahkan ke saya."
Killian mengangguk-ngangguk. Kemudian ditaruhnya map berisi berkas yang baru saja ia dibacanya di atas meja.
"Panggil dia ke ruangan saya sekarang."
Angga sedikit heran, namun ia berusaha tak menunjukan reaksi apapun dan hanya mengangguk mengiyakan instruksi Killian.
Angga melangkahkan kakinya keluar dari ruangan bosnya. Wajahnya tampak berpikir dan masih merasa heran. Apa berkasnya barusan bermasalah? Ia sendiri tak sempat memeriksanya lagi setelah menerima berkas tersebut dari Ruby.
"pasti ada kesalahan kan? Hmm, kayaknya gue gak usah repot-repot mikirin gimana caranya mecat cewek teledor itu lagi. Bagus lah kalo gitu." Gumamnya sambil berjalan menuju ke work station Ruby.
Angga membuka pintu kaca ruangan tim marketing. Dari kejauhan, dia bisa melihat Ruby sedang sibuk mengetik di meja kerjanya. Seperti biasanya, gadis itu terlihat sederhana, polos dan tidak menarik sama sekali menurut Angga. Rambut panjangnya hanya diikat tinggi dengan beberapa anak rambut yang sudah keluar-keluar berantakan. Angga menghela napas entah karena apa.
"Ruby,"
Gadis itu mendongak melihat siapa yang memanggilnya. Ia segera berdiri dan menghadap ke arah Angga seraya sedikit membungkuk.
"lho, Pak Angga. Ada apa, ada yang bisa dibantu?" Kata Ruby.
Angga terdiam untuk sesaat. Ruby berdiri tak jauh dari hadapannya. Cukup dekat malah. Pada jarak seperti ini, Angga bisa melihat dengan jelas wajah Ruby. Kulit wajahnya tidak begitu bersih meskipun sangat putih. Ada bercak atau bintik-bintik kecoklatan di sekitar pipi dan hidungnya atau yang biasa disebut freckles. Bahkan kulit wajahnya tampak kemerahan dibeberapa area. Sangat terlihat Ruby tidak menggunakan riasan tebal untuk menutupinya.
"Kamu dipanggil pak Presdir, beliau nunggu kamu di ruangannya sekarang."
Ucap Angga setelah ia mendapatkan kembali kesadarannya dari acarabmemperhatikan wajah Ruby.
"Ya? S-saya?" Ruby tampak terkejut.
Angga mengangguk singkat. Ia merutuki dirinya sendiri dalam hati. Bisa-bisanya ia barusan berpikir aneh sambil memperhatikan wajah asistennya. 'Udah gila, gue!' batin Angga.
"Cepat ya, Ruby." Final Angga sambil berlalu tanpa berniat menanggapi kekhawatiran Ruby.
Sarah yang mendengar percakapan keduanya, segera menghampiri Ruby yang masih berdiri gelisah.
"Ruby, kamu dipanggil ke ruangan pak Presdir?"
"Heuuu.. Iya mbak Sarah.. Gimana dong, Ruby bikin salah gitu?" Rengeknya.
"Ck, nethink aja. Siapa tau mau dikasi bonus. Bonus kerjaan maksudnya. Mhuehehe. " Kata Sarah berusaha menenangkan Ruby yang sepertinya sangat takut.
Tak heran sih, pikirnya. Setelah melihat wujud presdirnya yang baru di rapat direksi tadi, Sarah sempat berpikir kalau presdirnya itu mirip sekali dengan pemeran utama bos mafia di drama-drama atau novel.
Ruby mengerucutkan bibirnya sebal mendengar ucapan Sarah.
Sebenarnya mungkin dia sudah tahu kesalahannya. Tapi dipikir bagaimanapun, orang seprofesional Killian apa mungkin akan membahas kesalahannya ketika perayaan ulang tahunnya di penthouse Bella saat di kantor begini? Ini pasti hanya pemikiran Ruby yang terlalu takut saja, bukan?
"Buru sana samperin, Ubi. Entar malah bisa kena bala kalo bikin presdir nunggu." Ucap Sarah lagi yang berhasil mebuat Ruby berhenti dari kegiatan overthinkingnya.
Gadis itu segera beranjak lalu merapikan sebentar bajunya yang kusut serta rambutnya yang sedikit berantakan.
Ruby berjalan dengan langkah percaya diri yang dipaksakan. Tak ada yang tahu kalo dia sedang berkomat kamit berdoa supaya dirinya selamat setibanya di ruang presdir nanti.
Dengan gerakan sedikit kaku dia mengetuk terlebih dulu pintu yang bertuliskan 'Presdir/CEO Room' di depannya. Terdengar samar suara yang menyuruhnya masuk setelah beberapa detik. Gadis itu melirik sekilas laki-laki yang sibuk berkutat dibalik meja kerjanya. Jantungnya justru semakin berdegup heboh tanpa alasan setiap langkahnya semakin mendekat ke meja atasannya itu.
"Ada yang bisa saya bantu pak?"
Killian mendongak melihat wajah Ruby membuat gadis itu sedikit terkejut karena kembali melihat sorot mata tajam yang pernah ia katai psikopat. Ingin sekali tangannya memukul kepalanya sendiri, kenapa mulutnya selalu tak bisa dikontrol kalau sedang bersama Bella? Dia jadi berkata sembarangan kan ke orang yang jadi atasannya sekarang.
Killian meletakan map bersi berkas dihadapan Ruby. Kemudian laki-laki itu melepas kacamatanya dan menyangga dagunya dengan kedua tangan yang bertaut diatas meja.
"Ini laporan proyek yang di Bali, kata Angga kamu yang buat?" Tuturnya.
"Betul pak, saya yang buat. Apa ada kesalahan?" Sahut Ruby.
Seketika Ruby merasa gelisah. Apa laporan yang dia buat sangat buruk sampai ia dipanggil langsung begini? Pikirannya benar-benar dipenuhi hal-hal negatif sekarang. Dia sudah merasa sangat gugup dan khawatir bahkan sejak Angga bilang kalau dia dipanggil ke ruang presdir. Sekarang, ketika mendengar soal laporan yang dibuatnya, ia malah semakin merasa tegang, padahal membuat laporan adalah keahliannya dan hampir tak pernah mengecewakan.
"Tidak. Ini sempurna."
Seketika bahunya yang sedari tadi tampak kaku dan tegang melemas mendengar tutur singkat Killian. Lalu? Apa hanya ini yang membuatnya sampai dipanggil kesini?
"Ya? Oh.. Terima kasih atas pujiannya, pak presdir."
"Setelah membaca beberapa laporan, cuma yang kamu buat yang detail dan sistematis tapi juga tidak berbelit-belit."
Ruby mengangguk meskipun ia masih belum bisa menangkap maksud Killian. Sementara, kepalanya bisa cukup tenang, mendengar yang dikatakan presdirnya bukanlah hal yang buruk tentang laporannya.
"Karena itu, mulai sekarang saya mau kamu jadi asisten saya."
"Baik pak. Eh- ? M-maksud bapak?"
Killian tak menjawab. Dia mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai. Satu kakinya ia tumpangkan ke atas satu kaki yang lain. Menyandarkan penuh punggungnya ke kursi namun dengan kontak mata yang masih berfokus pada gadis di depannya.
Melihat Killian yang tak mengeluarkan jawaban apapun, Ruby sedikit kebingungan. Hal seperti ini bahkan sedikitpun tak pernah terlintas dikepalanya.
"Ma-maaf pak, tapi saya.. Kan sudah menjadi asistennya Pak Angga."
Entahlah. Yang penting saat ini ia beralasan dulu. Gadis itu benar-benar tidak ingin berurusan dengan kakak sahabatnya lagi. Ia cukup malu dengan kejadian sebelumnya.
"Atasan Angga itu saya, dan kamu sendiri dibawah Angga. Kamu pikir mana yang harus kamu prioritaskan." Sarkasnya.
Sial. Sepertinya dia salah memilih kata. Dasar Ruby yang lemot pikirnya. Tentu saja, Killian ini kan CEO nya, untuk apa dia buat alasan bodoh seperti itu?
Tapi entah kenapa, dia merasa seperti akan mendapat majikan baru yang lebih killer dari Angga. Setelah sekian lama jadi babunya Angga, apa sekarang dia akan naik pangkat jadi budaknya Killian? Seperti itu kira-kira yang ada di kepala Ruby saat ini. Wajah bingung dan gusarnya sekarang malah semakin terlihat jelas. Killian tentu menyadarinya. Tapi tentu laki-laki itu tidak peduli.
Seketika Ruby teringat kata-kata Sarah tadi, sebelum ia masuk ke ruangan ini. Ternyata benar saja, Ruby tengah diberikan bonus pekerjaan yang pastinya akan lebih berat dari sebelumnya. Apalagi dia sudah terlebih dahulu membuat masalah dengan presdirnya ini. Kayaknya Mbak Sarah ini cenayang. Ato Mamak mulut bertuah, sih?
"Kamu harus membayar perbuatan kamu." Pungkas Killian tiba-tiba.
Mendengar itu, Ruby semakin mengernyit bingung.
"Kamu sudah ngatain saya psikopat mesum gila."
Deg.
Lho? Ini serius pikirnya. Ternyata feelingnya tidak salah juga. Akhirnya kesalahan dia yang memalukan dibahas juga.
"I-itu... " Bingungnya dengan wajah memerah menahan malu.
"Tidak ada alasan apapun lagi. Kalau kamu tahu malu harusnya langsung jawan iya. Silakan kembali bekerja."
Gila! Jahat amat sih mulut abangnya Bella ini. Sebelas dua belas sih sama tuh nenek lampir.
Ruby semakin tak bisa menyembunyikan wajah murungnya. Perkataan Killian barusan terdengar kejam dan tajam ditelinganya. Tapi, siapalah dia jika ingin menyanggah atau menolak, kan? Yang ada dia bisa kehilangan sumber matapencariannya.
Akhirnya Ruby mengangguk patuh. Dia keluar dengan langkah lunglai. Rasanya nyawanya berkurang hingga 50% setelah berdiri beberapa menit didalam ruang presdir tadi.
Sekembalinya dia ke meja kerjanya, dia langsung dikerubuni oleh rekan-rekannya dengan berbagai pertanyaan.
Tapi Ruby tentu malas bersuara dan moodnya menurun drastis begitu ia kembali duduk di kursinya. Bahunya merosot dengan sudut bibir yang melengkung ke bawah. Bibirnya yang normal saja sudah terlihat agak mengerucut, apalagi sekarang ketika suasana hatinya yang benar-benar kacau. Semakin mengerucutlah bibir mungilnya seperti moncong unicorn.
"Ubi, muka lu kok kaya orang yang lagi nunggu dieksekusi sih abis keluar ruangan pak presdir? Lu gak bikin onar kan disana?" Celetuk Darren menyebalkan seperti biasa.
Ruby mendelik tajam kearah Darren. Tapi dia juga sadar pasti wajahnya sekarang sangat menyedihkan.
"Lu gak dipecat kan ubi??!"
Yang satu ini langsung mendapat geplakan pedas dilengannya. Ruby tentu kesal mendengar kata dipecat keluar begitu saja.
"Sembarangan ya lu keseLeo! Gak! Mana ada!" Heboh Ruby kesal.
Leo yang mendapat semburan marah Ruby langsung merapatkan bibirnya. Gadis ini cukup gila kalau sedang dalam mood yang berantakan pikirnya.
Teman-temannya hanya saling pandang satu sama lain melihat Ruby yang sepertinya akan kembali mencorat coret helm kesayangannya. Karena seperti yang teman-temannya tahu, jika gadis itu sedang dalam suasana hati yang amat buruk, justru dia akan melampiaskannya dengan cara mencorat coret helm doraemon kesayangannya dengan spidol merah sambil menggerutu tanpa henti.
"Gua kasian sama doraemon di helmnya si ubi,"
Semua orang menoleh ke arah Darren yang tiba-tiba berujar dengan wajah serius.
"Muka doraemonnya bahkan uda berubah jadi pantat babi, dan sekarang pasti bakalan ketutup sama kata-kata keramat mematikannya si Ubi lagi." lanjutnya.
Ruby yang mendengar hanya semakin merengut dan memutar bola matanya malas. Tapi justru teman-temannya yang lain mengangguk-ngangguk setuju dengan ucapan tak berfaedah Darren.
Tampaknya, mereka semua yang sudah gila dan malah menghawatirkan helm doraemonnya, padahal disini dia yang sedang sengsara.
"PERGI KALIAN SEMUA DARI MEJA RUBY!!"
Teriaknya seperti orang kesurupan.
...〰️K i l l i a n〰️...
Sebulan berlalu, dan beginilah keadaan Ruby sekarang. Dia benar-benar menjadi budak Killian di kantor. Mengerjakan banyak sekali laporan dan berkas-berkas proyek tanpa henti. Walaupun dijanjikan dengan bonus tambahan yang tak main-main, tapi tampaknya Killian memang seperti berniat membalas dendam padanya.
Bukan hanya mengerjakan laporan dan berkas, Ruby bahkan harus selalu mendampinginya di setiap meeting sampai workshop di luar kota. Ini gila pikirnya.
"Ya Tuhan... Ini sih aku jadi babu, bukan asisten presdir, hiks.." gumamnya sambil membawa dua buah paper bag berisi kemeja baru bosnya dan juga tiga box J.co berukuran besar.
Entahlah, untuk apa donat-donat itu. Seingatnya, setelah sebulan menjadi budak- maksudnya asisten Killian, laki-laki itu tidak terlalu menyukai makanan manis. Tapi, Ruby tentu malas berspekulasi apalagi sampai berteori-konspirasi untuk hal semacam ini. Untuk sekarang, dia hanya harus lebih fokus mengumpulkan stok kesabarannya, demi mengisi penuh saldo di rekeningnya. Itulah motivasinya sekarang.
Saat ini Ruby sedang berada di salah satu hotel bintang lima di Bali. Sudah pasti bukan untuk liburan. Ingat, kata liburan sepertinya hampir hilang di kalendernya setelah menjadi asisten Killian. Sejak dua hari yang lalu, dia dan Killian tiba di Bali untuk mengurus proyek barunya sekalian untuk menghadiri Grand Opening perusahan rekan kerjanya.
"Bella... Kok abang lu gini sih ke gue.."
Dia masih saja menggerutu pelan sendiri bahkan ketika sudah di dalam lift. Sampai-sampai tak sadar ada orang lain di sebelahnya.
Sampai satu suara membuatnya noleh dan terkejut bukan main.
"Ruby?"
Suara bass yang terdengar dalam dan sangat tidak asing. Ruby menegang, ia mengeratkan genggamannya pada tali paperbag yang sedang dijinjingnya ketika menoleh ke sumber suara yang memanggilnya.
"Lho? Beneran Ruby ternyata!" Katanya lagi dengan girang.
"kamu di Bali juga. Uda lama ya. Kamu.. Apa kabar?" Lanjutnya.
Laki-laki itu mengulas senyum yang otomatis memunculkan lesung pipinya. Rasanya Ruby ingin menangis, tapi juga ini ditempat yang tak seharusnya. Emosinya serasa membuncah membuat dadanya terasa bergemuruh dan sesak. Sekuat tenaga dia kendalikan air muka dan suaranya saat mulai bicara.
"Iya, uda lama." Mulainya menjeda sejenak.
Laki-laki itu masih menatapnya dengan senyum yang tak luntur.
"Kak Zach sendiri, apa kabar?"
[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments