“Pulang sama aku, ini udah malam.”
Mentari yang tengah membereskan semua barang-barangnya mendongak, dia menatap sekilas Angga dihadapannya dan kembali melanjutkan kegiatan nya.
“Makasih, pak. Gak usah.” ucap Mentari, dia mengeratkan shoulder bag nya. “Saya bawa mobil sendiri. Saya permisi.” lanjut Mentari.
Angga mendengus kesal dalam hatinya. Dia memejamkan sejenak matanya dan kembali membuka mata, kemudian mencekal lengan atas Mentari, menatap lekat perempuan yang masih setia ada dihatinya.
“Mobil kamu biar taruh disini aja, kayak biasa. Jadi, kamu aku antar pulang. Ini udah malam, Tari. Aku gak mau terjadi sesuatu sama kamu.”
Perhatian masih saja diberikan Angga dan Mentari tahu itu. Jika dulu saat hubungan mereka baik-baik saja, mungkin Mentari akan langsung mengiyakan. Toh, memang selalu seperti itu. Karena Angga sendiri tak menerima penolakan. Untuk kebaikan Mentari sendiri sebenarnya.
Mentari menghela napas kasar, dia melepaskan tangan Angga dari lengannya dan menggeleng pelan. “Saya duluan, pak. Permisi.” ucap Mentari kemudian melenggang pergi meninggalkan Angga yang hanya mampu menghela napas gusar.
Mentari berjalan lunglai menuju parkiran, rasa cemas dan was-was dia rasakan. Apalagi dia mendengar derap kaki yang mengikutinya. Namun, mencium aroma parfum yang sangat dia hapal betul membuatnya sedikit merasa tenang.
Di parkiran hanya tersisa dua mobil. Satu mobil Mentari dan satu lagi milik Angga tentunya.
Mentari segera memasuki mobilnya, bersiap-siap menyalakan mesin mobilnya. Bisa dilihatnya jika Angga juga baru saja memasuki mobilnya. Setelah siap, Mentari bergegas melajukan mobilnya sebelum akhirnya ada satu pesan masuk yang mengurungkan niatnya.
‘Gak usah ngebut-ngebut bawa mobilnya, biasa aja. Ini udah malam, jadi ambil jalanan yang ramai kendaraan atau orang, lama gak papa. Jangan ambil jalan yang sepi cuma karena cepat. Aku ikutin kamu dari belakang, gak usah khawatir.’
Mentari tak bisa tak menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. Dia tak membalas pesan yang dikirimkan Angga padanya, hanya membacanya saja dan meletakkan kembali ponselnya, lalu mulai melajukan mobilnya pergi keluar dari area perusahaan.
Mentari melakukan apa yang diucapkan Angga kali ini, dia memilih jalanan yang cukup ramai. Meskipun harus memakan waktu lebih, setidaknya 15 menit bukan waktu yang lama. Dan, Angga memang benar melakukan apa yang dituliskan pria itu dipesan nya. Mobil Angga berada dibelakang mobil Mentari, pria itu mengikutinya—menjaganya.
Mentari sudah sampai didepan rumahnya dan gerbang rumah langsung terbuka saat itu juga ketika satpam rumah melihat kendaraannya.
“Makasih, ya, pak.” ucap Mentari, lewat kaca spion dia melihat mobil Angga. “Langsung tutup aja, pak.”
“Loh, mbak. Itu bukannya mobil mas Angga, ya?”
Mentari menggeleng, “Bukan, gak tahu mobil siapa. Langsung tutup aja.”
Dengan sedikit ragu, Pak Amin yang merupakan satpam rumah Mentari pun mengangguk dan langsung menutup pintu gerbang dan menguncinya.
Mentari keluar dari mobilnya, “Makasih, ya pak. Saya masuk dulu.” ucap Mentari yang diangguki dan disenyumi oleh Pak Amin yang sudah kembali ke pos nya.
Mentari berjalan memasuki rumahnya, melenggang dengan lelah begitu sampai di dalam.
“Ibu gak ngerti deh sama kalian.”
Mentari menoleh, mendapati Ibu Cantika yang merupakan ibunya yang kini tengah berdiri dengan setelan rumahan sambil membawa secangkir minuman ditangannya.
“Ibu belum tidur?” tanya Mentari, pasalnya ini sudah malam, sedangkan ibunya masih juga terjaga.
Cantika menggeleng, “Belum, niatnya pengen tidur, tapi gak bisa.” jawab Cantika, dia sudah berdiri di hadapan putrinya yang langsung menyalaminya.
“Pasti ibu abis minum kopi nih, makanya gak bisa tidur.” ucap Mentari, dia hapal betul dengan sifat ibunya yang kebetulan menurun kepadanya. Kalau sudah terkena kopi, maka jangan harap bisa tidur malamnya.
Cantika terkekeh pelan, “Abis ibu kepincut sama kopi yang diminum ayahmu. Jadinya, ibu cicip dikit deh. Eh, malah gak bisa tidur.”
“Dasar ibu, udah tahu suka gak bisa tidur kalau minum kopi. Tetap aja di icip.” Reina tak bercermin kala mengucapkan kalimat itu.
“Iya, ibu tahu, ibu salah. Tapi, ibu butuh penjelasan sekarang.”
Mereka beriringan menuju ruang tengah, duduk disofa sana.
Mentari mengerutkan keningnya, “Penjelasan apa, bu?”
“Katanya kamu putus sama Angga. Tapi, kok itu apa tadi? Angga anterin kamu pulang loh.”
“Kok ibu bisa tahu sih kalau Angga anterin aku? Dia kan gak masuk kesini. ”
Cantika berdecak pelan, dia mengusel-usel hidung Mentari yang membuat perempuan itu mendengus kesal karena geli. “Kamu pikir, kamu pacaran sama Angga tuh berapa lama sih? Dia juga sering ke sini, kita kenal dekat, keluarga kita sama keluarganya juga begitu kan. Masa iya ibu gak hapal dengan mobil yang Angga bawa tadi. Bahkan nih, ya, ibu sampai hapal loh plat nomornya.”
Mentari terkekeh mendengarnya. “Ibu berlebihan.”
“Bukan berlebihan dong. Itu namanya ibu care sama Angga.” Cantika mendengus pelan. “Kamu belum jawab pertanyaan ibu. Kamu tuh sebenarnya putus atau enggak sih sama Angga?”
Mentari terdiam untuk beberapa saat, dia mengangguk kemudian.
“Kenapa putus?”
“Ya, wajar bukan bu kalau orang yang pacaran itu putus?”
“Wajar kalau memang ada alasan dibaliknya, kalau enggak ada alasan atau masalah apapun, gak wajar lah.”
Mentari mengangguk-angguk, “Iya pokoknya aku sama Angga udah gak sama-sama aja, kami gak cocok. Lagian, hubungan kalau gak bakalan dibawa ke yang serius, mending di udahin aja, gak sih bu? Daripada buang-buang waktu.”
Cantika tahu sekarang permasalahan dimana. “Dari omongan kamu ini, ibu jadi tahu siapa yang udah putusin hubungan ini.”
Mentari tahu, ibunya akan langsung mengerti. Dia hanya diam saja, menunggu apa lagi yang akan diucapkan ibunya.
“Tari, ibu ngerti apa yang kamu rasain. Tapi, memutuskan sepihak suatu hubungan hanya karena alasan yang kamu maksud, itu gak sepenuhnya benar, sayang.”
Mentari mengerutkan keningnya, “Bu, alasan aku mutusin dia karena dia gak mau serius, dia gak serius sama aku selama ini.” jelas Mentari, dia pikir ibunya akan berpihak padanya, tapi sepertinya tidak.
“Tari, kayaknya belum hapal betul dengan Angga. Padahal kalian jalin hubungan udah cukup lama loh.”
“Maksud ibu?”
“Ya, kamu coba pikir sendiri. Apa selama ini sikap Angga seperti yang main-main sama kamu, seperti gak serius?”
Jujur, Mentari sebenarnya tak berpikir demikian. Namun, egonya terlalu besar untuk menyanggah ucapan ibunya.
“Harusnya kamu tanya dulu, alasan apa yang membuat Angga gak mau seriusin kamu. Ibu yakin, ada alasan dibaliknya. Dan, mungkin alasan itu pula yang buat dia berat untuk ngambil langkah serius.”
“Kalau alasannya adalah karena aku yang gak pantas buat Angga, gimana bu?”
Cantika menggeleng, “Gak mungkin.” Cantika terkekeh mendengar pertanyaan putrinya. “Melihat begitu besarnya cinta Angga untuk kamu, ibu rasa alasan itu gak mungkin. Percaya sama ibu, ada alasan kuat dibalik gak maunya Angga seriusin kamu.”
Mentari jadi terdiam, jadi memikirkan apa yang menjadi alasan Angga enggan menikahinya. Hingga dia teringat akan satu hal yang membuat bola matanya membelalak, dia mendongak menatap ibunya yang tersenyum kemudian.
“Tari kayaknya tahu alasannya apa.”
***
Mentari tak henti-hentinya menguap, dia juga tak nyaman dengan duduknya. Menahan ngantuk yang begitu berat seperti sengaja mengajak rasa pening untuk singgah di kepala. Rasanya, Mentari ingin pingsan saat ini juga. Tapi kan tak lucu, malu juga kalau semua orang tahu dia pingsan hanya karena mengantuk.
“Tar, you okay?” tanya Ayumi, dia menatap cemas Mentari dan langsung memekik kaget saat melihat wajah perempuan itu. Sontak saja pekikan nya itu mengundang pasang mata di ruangan ini untuk menatap mereka. “Tari sakit kayaknya, mukanya pucat banget.” jelas Ayumi pada semua orang yang menatapnya.
“Caper banget sih.” cibir Swari, dia memutar malas bola matanya.
Ayumi yang mendengarnya tentu kesal, dia siap melontarkan kekesalannya namun ditahan Mentari. Beruntung Swari kali ini karena stok kesabaran Ayumi masih tebal.
“Gue gak sakit, Mel. Gue cuma ngantuk doang.”
Semua cemas, kecuali Swari yang tak mau ambil pusing dengan keadaan Mentari. Apalagi kalau keadaan Mentari yang buruk, justru Swari senang mendengarnya.
“Eh, ternyata Tari gak sakit.”
“Gue gakpapa kok, guys. Tenang aja.” ucap Mentari, dia tersenyum lebar dengan paksa sambil menunjukkan jempolnya, namun detik kemudian kembali merebahkan kepalanya diatas meja.
“Seriusan lo gakpapa?”
“Iya, Mel... Gue cuma ngantuk doang, semalaman gak bisa tidur gara-gara ngopi.” jawab Mentari dengan lesu, dia menatap buram layar laptopnya. Mana kerjaan sedang banyak sekarang.
Amelia berdecak kesal mendengarnya, “Dasar si pinter...” tukas Amelia, dia menggeram kesal. “Udah tahu kalau minum kopi tuh gak bakalan bisa tidur nantinya, malah minum. Pinter banget sih lo!”
“Ya, abisnya gue semalam ngantuk pas lembur, mana kerjaan belum selesai. Terpaksa deh gue minum kopi.”
“Yaudah, mending lo ke kamar mandi aja sana! Cuci muka, biar agak segeran.”
Mentari mengangguk, dia beranjak dengan lesu dari duduknya. “Yaudah, gue cuci muka dulu deh.” ucap Mentari, dia melenggang pergi menuju toilet.
Mentari masuk ke toilet, berdiri didepan wastafel dengan cermin besar di hadapannya. Dia menatap pantulan wajahnya yang sangat menyedihkan, lemas, letih, lesu terlihat sekali diwajahnya.
“Gak menarik banget muka gue,” Mentari terkekeh pelan, dia segera membasuh wajahnya dengan air mengalir. “Semangat, semangat, bangun! Jangan nghantuk laghi...” gumam Mentari, namun tetap saja dia menguap dan rasa kantuk itu belum sepenuhnya hilang.
Mentari menggeleng kuat, dia segera merapihkan penampilannya dan langsung keluar dari toilet. Entah perasaannya saja atau tidak, tapi tiba-tiba semuanya diam. Dia berjalan pelan menuju tempatnya dengan kening mengerut bingung.
“Kenapa, ya?” tanya Mentari bingung, dia mengendikkan bahunya dan kembali fokus untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Tari,”
Mentari mendongak, dia tersenyum pada Pak Surya yang meruapakan leader di tim nya. Dia beranjak berdiri, “Iya, pak? Ada apa?” tanya Mentari.
“Eh, gak usah berdiri, duduk aja, duduk.”
Mentari mengangguk, tersenyum kikuk.
“Kamu lagi sakit, ya? Muka mu kelihatan pucat banget.”
Mentari menggeleng, “Enggak kok, pak. Saya gak sakit, cuma pusing dikit aja sih.”
“Nah, itu pusing tuh sakit tahu. Yaudah, kamu gak usah kerja dulu, istirahat dulu aja sana di ruang kesehatan, rebahan disana.”
Entah ini serius atau tidak, namun Mentari tak serta merta mengiyakan begitu saja. “Gak usah, pak. Saya baik-baik aja kok.”
“Gak papa, kamu istirahat aja. Serius saya. Ini kerjaan kamu kasih yang lain aja.” Pak Surya menoleh, melihat rekan kerja Mentari yang lain. “Aji, Vanya, sini-sini!”
Aji dan Vanya yang merasa dipanggil pun bergegas menghampiri Pak Surya, mereka juga sudah tahu betul apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Pak Surya tersenyum manis pada Mentari yang masih terlihat kebingungan. “Nah, kerjaan kamu kasih aja ke mereka, biar mereka yang handle.”
“Gak usah, pak. Ini kan kerjaan saya.”
“Gakpapa, Tar. Biar kita aja yang kerjain.”
“Iya, Tar, gakpapa kok.”
“Udah, udah, mending sekarang kamu istirahat aja, ya. Jangan kerja lagi, apalagi terlalu capek. Oke?”
Mentari yang bingung hanya bisa diam. Aneh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments