“Kak Tari... Aku beneran gak nyangka kalau kakak putus sama kak Angga.”
Mentari yang tengah menyantap makan siang bersama mantan adik iparnya itu tersenyum simpul mendengar penuturannya. “Ya, namanya juga orang pacaran, Bell. Kalau gak dilanjut ke jenjang serius, ya, berarti harus putus.” jawab Mentari, dia menikmati kembali pasta nya.
Arabella Permata Hiro, adik dari Angga Wijaya Hiro yang terpaut usia 7 tahun. Mereka saudara kandung, hanya saja berbeda ibu. Saat ini Bella duduk dibangku perkuliahan semester awal. Bella memiliki paras yang cantik, rupawan dan juga sedikit bawel orangnya. Persis seperti Angga yang selama ini Mentari kenal. Dan, mereka akan benar-benar jadi diri sendiri saat merasa sudah nyaman dengan orang tersebut, jika belum maka sikap dingin dan pendiam akan mereka tunjukkan.
Bella mengangguk-angguk, “Iya sih, kak. Tapi, aku masih gak terima kalau kakak putus sama kak Angga. Aku tahu kalian loh, tahu banget gimana hubungan kalian selama ini. Gimana bucin nya kak Angga, apa-apa harus tentang kakak. Pokoknya sebucin itu kak Angga sama kakak. Jadi, gak terima aja aku kalau kalian putus tuh.”
Benar ucapan Bella. Mentari itu dunia Angga, semua hal tentang Angga harus ada Mentari didalamnya.
“Ya, mau gimana lagi? Ini udah jalannya.” balas Mentari, dia melirik jam di pergelangan tangannya. “Duh, Bell. Kayaknya kakak harus balik sekarang deh. Jam istirahat bentar lagi nih. Takut telat kakak.”
Bella menganggguk-angguk, “Oh, yaudah kak gakpapa.”
Mentari meletakkan sejumlah uang di hadapan Bella. “Nih, buat bayar makanan kita, ya, Bell. ” ucap Mentari, dia tersenyum simpul pada Bella sambil bergegas mengemasi barang-barangnya.
“Gak usah kak, biar—”
“Gak papa. Yaudah, ya aku pergi dulu. Kamu hati-hati, ya pulangnya. Langsung pulang ke rumah, jangan keluyuran lagi.”
Bella mengangguk cepat, dia tersenyum lebar. “Iya, kak Tari. Kakak juga hati-hati, ya. I love you.”
“Love you too... Bye!”
“Semoga kakak berubah pikiran deh, semoga aja kita beneran jadi ipar, ya.”
Mentari hanya terkekeh saja, dia bergegas meninggalkan Bella yang kembali melanjutkan makannya yang belum selesai itu.
Mentari tak henti-hentinya melirik jam di pergelangan tangannya, takut jika dirinya sampai telat di kantor. Beruntungnya, dia sampai di meja kubikel nya tepat waktu, sepertinya.
“Kamu pikir ini kantor kamu?”
Mentari yang hendak menjatuhkan bokongnya di kursi, diurungkan seketika saat mendengar suara itu. Karena ucapan itu pula semua mata yang ada diruangan yang hanya diisi 8 orang itu tertuju ke sumber suara.
Mentari mendongak, menatap malas Angga yang kini menghampirinya. Semua mata tertuju pada mereka, namun saat Angga memperhatikan, tentu semuanya langsung beralih, berpura-pura tak peduli padahal mereka amat sangat ingin tahu akan kelanjutannya.
“Kamu pikir ini kantor kamu?”
Pertanyaan yang sama dilontarkan Angga.
“Enggak kok, saya gak merasa dan berpikir kalau ini kantor saya.” jawab Mentari, dia santai saja menanggapi ini semua.
Angga mendengus kesal dalam hati melihat respon Mentari. Dia masih kesal dengan perempuan itu karena memutuskan sepihak hubungan mereka. Rasa cinta itu masih ada, teramat besar malah. Namun, rasa kecewa juga tak bisa hilang begitu saja. Biarkan saja, Mentari harus tahu akibatnya jika bermain-main dengannya.
“Ya, terus maksud kamu datang telat itu apa?”
“Siapa yang datang telat?” kesal Mentari.
Menjalin hubungan yang cukup lama, diketahui semua orang dikantor, tak serta merta membuat semua orang tahu bagaimana interaksi mereka sebenarnya. Karena sejujurnya, Mentari sendiri sangat membatasi itu jika posisi mereka dikantor. Bagi Mentari, kantor adalah tempatnya bekerja. Hubungan percintaan dan pekerjaan, jangan disatukan di tempat yang sama. Meskipun sebenarnya bisa, tapi akan lebih baik sedikit dikurangi. Jadi, belajarlah profesional dengan bersikap layaknya karyawan dengan bos seperti biasa saja. Tapi, sepertinya tidak untuk saat ini. Ada dendam terpendam yang sengaja ingin di lampiaskan.
“Kamu gak punya jam atau gak tahu waktu?”
“Apaan sih, pak Angga. Lagian saya gak telat, ya. Saya datang tepat waktu.”
“Apa perlu saya putar CCTV di ruangan ini kalau kamu baru aja telat 35 detik.”
Semuanya terkejut mendengar ucapan Angga, begitupun Mentari yang langsung ternganga dibuatnya.
“Apaan sih,” cicit Mentari, dia menatap sinis Angga yang mendongak penuh angkuh.
“Sebagai hukuman kamu yang telat datang ke kantor setelah jam istirahat. Hari ini kamu lembur!”
Baru saja Mentari hendak melontarkan protesnya, namun Angga lebih dulu mengangkat tangannya.
“Saya gak terima protes apapun! Kamu lembur!” ucap Angga penuh penegasan, dia berlalu begitu saja meninggalkan Mentari dengan kekesalannya dan semua orang yang ternganga tak percaya.
“Eh, sorry, sorry gue tel—Pak Angga, siang Pak.” sapa Ayumi, dia tersenyum canggung saat masuk ke ruangannya dan justru menemukan Angga disana.
Angga mengacuhkan Ayumi, dia melenggang pergi begitu saja.
Helaan napas lega Ayumi saat Angga berlalu pergi, dia menatap bingung semua orang yang terdiam dan semua mata tertuju pada Mentari yang menunjukkan wajah kesalnya.
“Ada apa nih? Gue ketinggalan hot news kayaknya.”
***
Angga tahu jika Mentari paling benci jika harus lembur. Dan, kejadian tadi sebenarnya hanya alasannya untuk membuat Mentari melakukan hukumannya. Dia akan membuat pelajaran berharga untuk perempuan yang berani-beraninya memutuskan dia disaat dia sangat cinta.
“Maaf, mbak tapi—”
“Apaan sih? Orang gue mau ketemu Angga! Minggir! Angga...”
Angga mendongak saat pintu ruangannya dibuka tiba-tiba dengar kasar, dia menatap jengah perempuan yang berdiri diambang pintu itu.
“Maaf, pak. Saya udah melarang Mbak Amel masuk, tapi beliau memaksa.”
“Orang gue mau ketemu Angga. Ngapain lo larang-larang coba!?”
Amelia Widyawati Pandji, anak dari Pandji Saputra yang merupakan pembisnis sekaligus rekan kerja ayah Angga. Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Amelia gencar sekali mendekati Angga, terus menerus menggoda dan merayu agar Angga mau jadi kekasihnya. Sayangnya, Angga tak tertarik sedikit pun dengan rayuan Amelia.
Amelia cantik, Angga akui itu. Sayangnya kecantikan yang dimiliki Amelia bukan sesuatu yang menarik. Cantik hanya karena riasan, tak ada daya tarik sedikit pun. Beda sekali dengan Mentari yang cantiknya alami. Mentari di mata Angga itu melebihi segala, cantiknya perempuan itu berbeda. Karena Mentari sendiri bukan hanya cantik wajah, namun juga hatinya.
Lagi, lagi Mentari.
“Kamu boleh keluar, Dell.”
“Baik, pak saya permisi.”
Amelia menatap sinis Dellia yang merupakan sekertaris Angga, dia memutar jengah bola matanya. Dan, langsung tersenyum lebar saat menatap Angga, dia bergegas menghampiri pria itu yang masih duduk ditempatnya.
“Angga... Oh my god. Aku senang banget dengar kabar kalau kamu putus sama cewek kampungan itu. Keputusan yang kamu ambil ini, sangat tepat! Karena dia tuh gak pantas sama kamu. Status sosial kita tuh beda. Dia cuma—”
“Siapa yang putus?” potong Angga cepat, dia menatap datar Amelia.
Amelia mengerutkan keningnya. “Loh, bukannya kamu baru aja putus, ya sama cewek kampungan itu?”
“Cewek kampungan siapa maksud lo?” Angga tertawa sinis, “Lagian, berita darimana coba?” kesal Angga.
“Postingan kamu? Bukannya itu artinya kamu putus sama Mentari?”
“Postingan gue?” Angga menaikkan kedua alisnya. “Ada yang salah sama postingan gue? Perasaan gue gak posting sesuatu yang ada sangkut pautnya sama hubungan gue deh.”
Amelia ternganga, dia tak percaya.
“Lagian, gini deh. Gue pacaran sama Tari udah lama, gue tahu dia, keluarganya dan
begitupun sebaliknya. Lo juga tahu gimana bucin nya gue sama Tari. Hubungan gue sama dia juga baik-baik aja. Jadi, gak mungkin lah, gak ada masalah apapun, tiba-tiba putus.” Angga tertawa hambar. “Gak make sense juga kali gosip gue putus sama Tari cuma karena postingan itu? Gila aja!”
“Jadi, kalian gak putus?”
“Menurut lo? Gue yang cinta mati sama Tari, begitupun sebaliknya. Kenapa putus?”
...***...
Salah satu hal yang tidak Mentari suka adalah lembur. Dia paling tak suka dan tak bersemangat ketika diperintah lembur disaat teman-temannya yang lain justru sebaliknya. Dia rasa, bekerja dari pagi hingga sore dengan gaji yang diterima sudah cukup baginya. Jadi, tak perlu lah untuk lembur. Tubuhnya juga butuh istirahat. Bukan hanya tubuh sebenarnya, semua hal yang ada pada dirinya juga perlu istirahat dari kesibukan yang dijalani hampir 8 jam lamanya.
Dan, Angga tahu itu. Tapi, pria itu sengaja memberikan lembur untuk Mentari.
Oke, mungkin jika Mentari lembur nya dengan rekan kerjanya yang lain, dia akan lebih bisa menerima perintah Angga itu. Masalahnya adalah Angga hanya melemburkan dia seorang disini.
“Nyebelin banget emang tuh mantan!” kesal Mentari, dia mengetikkan dengan malas file dokumen dilayar laptopnya. “Padahal ini dokumen juga bukan yang urgent banget, besok juga bisa dikerjain. Ngapain pakai lembur segala sih!”
Tak henti-hentinya Mentari melontarkan kekesalannya.
“Argh... Pegel banget! Mana ngantuk lagi!”
Mentari melirik jam di pergelangan tangannya, masih ada satu jam lagi untuknya bisa menyelesaikan pekerjaannya saat ini. Dia beranjak dari duduknya, merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.
“Bikin kopi dulu deh, biar gak ngantuk.”
Mentari berjalan seorang diri kearah pantry, mengambil gelas kosong dan langsung menuangkan kopi instant yang disediakan gratis disini. Semua yang ada di area pantry memang gratis diambil siapapun, semuanya disediakan kantor untuk karyawan mulai dari snack, kue dan berbagai jenis minuman.
“Yakin minum kopi. Emang bisa tidur nantinya?”
Mentari yang tengah mengaduk kopinya seketika terdiam, debaran itu masih dia rasakan namun dengan cepat dia coba enyahkan. “Bisa.” jawab Mentari singkat tanpa menoleh sedikitpun karena dia tahu orang yang bicara padanya kini tengah berjalan menghampirinya dan berdiri di sampingnya.
“Kamu tuh gak bisa ngopi, Tari. Aku tahu kamu.”
Mentari menoleh, menatap lekat pria itu. Angga.
“Bisa kok,” jawab Mentari, dia siap menyeruput kopinya, namun langsung dicegah oleh Angga. Pria itu merebut begitu saja cangkir kopi milik Mentari.
“Pak Angga itu kopi saya.”
Angga menatap kesal Mentari yang begitu formal padanya. “Aku gak suka kamu siksa diri kamu sendiri. Kopi bisa bikin kamu gak tidur semalaman Tari dan kamu mau siksa badan kamu sendiri? Aneh!” cibir Angga.
“Saya ngantuk, pak dan kerjaan saya belum selesai. Jadi, saya butuh kopi.”
Mentari tersenyum malas menatap Angga yang terdiam. “Bapak lupa siapa yang buat saya harus lembur? Padahal kalau dipikir-pikir, saya gak telat tapi dikasih hukuman. Sedangkan, tadi ada yang benar-benar telat, tapi apa? Dibiarin aja tuh.”
Angga berdecak kesal saat Mentari terus saja melawan. “Tari, aku gak suka kamu yang pembangkang kayak gini.”
“Pembangkang gimana? Saya lembur loh, pak sesuai perintah bapak.”
“Tari—”
Mentari merebut kembali cangkir kopi ditangan Angga, dia tersenyum pada Angga yang menatapnya kesal. “Saya permisi, ya pak. Mau kembali bekerja.” ucap Mentari penuh penekanan, tak melepas sedikitpun senyuman paksanya sampai dia melenggang pergi melewati Angga.
Angga mendengus kesal, dia menahan lengan Mentari.
“Jadi, kamu gak mau dengar omongan aku?”
Mata mereka saling bertatapan, saling menghunus kekesalan. Tapi, tetap saja, ada buih-buih cinta yang masih terasa.
Mentari menggeleng. “I'm single, i'm free.” Mentari melemparkan senyumnya dan melepas tangan Angga dari lengannya kemudian pergi meninggalkan Angga yang dirundung kekesalan.
“Ngeselin banget, Tari. Untung gue cinta!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments