Menghabiskan sarapan buatan Kendranata, Hetty seolah baru saja disuguhkan pada sajian yang sudah lama ia rindukan. Cita rasa yang bercampur dalam satu mangkok sayur bening bayam, jagung, wortel dan setengah dari seperempat ayam yang ia beli melambungkan hasratnya untuk menyantap isi mangkok itu sampai tak tersisa.
Hetty mendesah lega. Selembar tisu bahkan tak perlu ia gunakan untuk membersihkan bibirnya dari sisa kuah yang tertinggal di sana. Cukup lidah yang mengusap mantap sisa-sisa rasa sayur bening itu dengan penuh semangat.
Kedua tangan Hetty mengepal dan menggebrak meja.
“Gurih dan yang ini sama, Pranata dan Kendranata pintar memasak!”
Euforia itu membuatnya merasakan kembali beragam macam perhitungan di benaknya.
Namun hanya satu yang ia yakini betul-betul sebagai poin inti. Perbedaan Kendranata dan Pranata hanya pada sifat keduanya, lainnya pasti sama!
Hetty berdecak, senyum nakalnya mengembang. Lalu seperti aliran sungai dari hulu ke lembah. Pelan dan jernih. Terjangan kenangan Pranata menggerayanginya perlahan-lahan. Menyenangkan dan perih yang melesak bagai duri dalam bentuk daging membuatnya mengigit bibirnya sendiri. Menjadikannya keruh dan kotor setelah sampah pikirannya bercampur dengan segala macam campuran yang datang dari segala penjuru.
Hetty lekas-lekas menggeser kursi setelah suara kaca yang di lempari batu oleh Kendranata membatalkan desahannya.Ia tersentak. ”Sakit jiwa.” Hetty meremas kedua pinggangnya seraya berjalan ke kamar.
Di depan wastafel dia mencuci wajahnya seraya mengganti tanga biru mudanya dengan yang resik dan wangi dari loker bawah wastafel.
“Maaf lama, aku perlu ke kamar mandi dulu.” ucapnya setelah menghampiri Kendranata di halaman rumah dengan ekspresi wajar. Tak ada sisa halusinasi yang ia tunjukkan terang-terangan. Cukup gigitan kecil di bibir yang menahannya agar tetap terpaku di tempat.
Kendranata mengamati riasan di wajah Hetty yang memudar dari sebelum sarapan.
Harus hapus make up dulu? Luar biasa kamu, Pra. Tanggung jawab apa yang kamu bebankan padaku setelah dua tahun tidak bersangkutan dengan wanita ini!
Kendranata menghela napas, ia akan menyimpan rasa penasarannya dalam hati kenapa riasan wajah itu harus di kurangi padahal menurutnya sudah pas menutupi kantong matanya yang terlihat bebal dan rona wajahnya yang kusut.
“Kita berangkat.”
”Ke mana?” Hetty menyisir rambut Bramasta sambil mengerutkan kening. “Emang kamu nggak kerja?”
“Tidak perlu mengurus pekerjaanku.” Kendranata memanjat pagar, mengulang caranya masuk ke rumah Hetty.
Bramasta yang melihat, hendak mencontohnya sampai Hetty mendelik. Pengaruh buruk!
Kendranata tersenyum samar. Dia membuka pintu mobil seraya menunggu Hetty membuka dan menutup gembok pagarnya di kursi kemudi.
“Sebaiknya kau mulai menyapihnya, Brama harus di didik tegas dan berani!” ucap Kendranata setelah Hetty menutup pintu mobil.
“Tidak semudah itu.” Hetty mendesis. ”Dia tidak punya figur seorang bapak! Mana mungkin aku mengajarinya berani apalagi petakilan.” katanya mangkel.
Kendranata memutar stir mobil ke kanan sebelum mengemudikannya dengan lancar keluar dari kompleks perumahan.
“Apa susahnya bagimu mencari pendamping? Bukannya kau pintar merebut Pranata dari Rastanty?”
Hetty menekan gelegak kejengkelannya dengan tersenyum kecil sembari mengangkat dagunya.
“Kehilangan Pranata adalah kehilangan yang paling besar dalam hidupku. Bukan cuma kehilangan nyawa dan harapan, tapi juga harga diri. Terus...” Hetty menajamkan sorot matanya. “Aku belum berminat mencari ayah untuk Bramasta.” Setelah bertemu kamu, Nata. Lanjutnya dalam hati.
Kendranata menunggu lampu hijau menyala sambil menatap Hetty dengan leluasa.
“Kau pasti berpikir saya seperti, Pranata. Saya tegaskan lagi kami berbeda, saya ke sini hanya untuk mengambil separuh tanggung jawabnya setelah melihat kondisimu jauh dari perkiraan saya.”
“Perkiraan bagaimana?” sergah Hetty. ”Kamu mulai menilaiku diam-diam?” Ia memicingkan mata.
Kendranata memilih kembali fokus mengemudi, tak menggubrisnya seolah jawabannya hanya akan memperpanjang celotehan Hetty yang tidak akan ada habisnya. Jelas.
Kesulitan finansial dan masih belagu, hebat... Ini pilihanmu, Pra?
Menyelusuri jalan dari daerah Timoho menuju kebun binatang Gembiraloka cukuplah dekat. Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di lahan parkir.
Dari belakang, Hetty memandang punggung Kendranata yang menggendong Bramasta menjauh. Menuju loket pembayaran.
“Play date di kebun binatang? Cocok juga dia jadi papa Bramasta. Hiww... .” Hetty menyembunyikan senyum gelinya di balik topeng tak peduli ketika Kendranata mengajaknya masuk.
Setali tiga uang dengan Kendranata sebenarnya, keluarga kecil yang tampak tampan dan cantik itu memasang wajah antagonis yang natural apa adanya seakan sudah biasa.
Rindangnya pepohonan berusia tua dan suasana yang tak begitu ramai dari hari libur membuat Kendranata menurunkan Bramasta dari gendongannya. Cukup ia gandeng sementara Hetty tetap menjadi penikmat punggung Kendranata dengan khayalan yang semakin meningkat.
Selesai menuruni anak tangga dan menyebrangi jembatan di atas sungai gajah wong. Danau buatan bernama Mayang Tirta dan kafe berbentuk kapal menyambut mereka.
Speed boat, banana boat serta kapal katamaram menjadi permainan wahana air yang mengasikkan.
Kendranata yang kembali menggendong Bramasta tersenyum. ”Brama mau naik kapal?” tanyanya sambil menunjuk kapal yang memiliki tempat duduk warna-warni.
Polah bocah itu selain mengangguk ya merengek.
Hetty mendengus selagi ada waktu berkeluh kesah tanpa ketahuan laki-laki yang meninggalnya tanpa ajakan.
“Secuek-cueknya Pranata masih bagus sering ngajak-ajak... Ini...? Lebih keras dari batu andesit!”
Kendranata berhenti. “Telinga saja memang jauh, tapi pendengaran saya masih sangat bagus!” celetuknya sembari berbalik. Sebelah alisnya terangkat dan menguliti Hetty seperlunya. “Siapa yang lebih keras dari batu andesit?”
Hetty tergagap lalu menunjuk dirinya sendiri. ”Aku.” katanya kecut.
“Bagus, pendusta.” Kendranata melanjutkan lagi langkahnya memutari pinggiran danau diiringi suara air yang berkecipak dan desir angin yang menyegarkan seraya mengantri dengan pengunjung lain sebelum menaiki kapal katamaram.
Hetty menendang udara saking sebalnya dengan orang yang belum genap seminggu mengenalnya.
”Aku yakin dia lebih banyak menuruni sifat Bu Indri daripada Pranata. Ngeselinnya minta ampun!” Hetty menggeram, membiarkan Kendranata mengarungi danau buatan dengan Bramasta sementara ia menunggu di bawah pohon, mengomel panjang pendek dan mengatur emosi yang sejak kemarin siang naik turun.
Kendranata menyeringai di atas kapal yang melaju pelan dengan guncangan ombak yang tak sedahsyat lautan asli.
“Sudah ada resume yang tidak perlu aku ragukan lagi bahkan dari hal-hal terkecil saja aku tahu! Enak sekali wanita itu menyebutku batu andesit.”
Muka Kendranata mengkerut. “Padahal ini baru permulaan, dia sudah begitu jengkel terpengaruh kedatanganku.”
Kendranata tersenyum miring sewaktu kapal melintasi Hetty yang melambaikan tangan ke arah Bramasta sambil memanggil-manggilnya. Sementara itu, kekhawatiran melekat di benak Hetty secepat speed boat berbelok. Senyum menyebalkan itu pernah ia lihat sewaktu Pranata berhasil mencuri kegadisannya di malam tahun baru.
^^^(~ ̄³ ̄)~^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
anonim
awas ntar bucin ma Hetty gimana kau Kendranata wkwkwk
2023-09-20
0
Ersa
boncabe tenan lambemu Ken
2023-05-01
1
CebReT SeMeDi
Yakin karena cuma beban moral aja u Ken ? atau ada something
2023-03-25
0