Hetty mengusap kedua matanya yang lelah pada malam setelah bertemu Kendranata. Terduduk di tepi kasur tangannya mencengkram rambut. Ia mengingat adegan dalam setiap kenangan yang berputar diingatan.
“Hett... Hetty...” Tergesa Pranata berjalan menghampirinya dari ujung timur parkiran.
Hetty menoleh dan tersenyum, tahu siapa pria yang memanggilnya itu. Pranata, idaman wanita di seantero gedung kampus fakultas ekonomi.
“Nata, hei... Ada apa?”
Berdiri di hadapannya. Pranata datang di hidupnya saat ia membutuhkan perhatian khusus setelah mengalami patah tulang tangan. Senyum dan segala bentuk perhatian dari Pranata seyogyanya ia sepelekan sebab ada Rastanty yang ia ketahui sebagai pacar laki-laki itu. Tetapi Hetty muda yang gampang bergaul pikir kapan lagi bisa bercengkrama dengan akrab tanpa bersusah payah mencuri perhatiannya seseorang yang ramah dan terbuka, seru dan menyenangkan.
Hetty terbuai oleh Pranata yang lihai.
“Andai aku dulu tidak begitu bodoh dan tergila-gila saat mencintainya, nggak akan hancur begini.”
Menghela napas, Hetty beranjak dari tepi kasur, ia memandangi buah cintanya hasil dari cinta yang besar-besar kepada Pranata. Dengan perlahan ia membungkuk seraya mencium keningnya.
“Mama nggak pernah menyesali kamu hadir di hidup mama Brama, mama hanya sedih kamu tumbuh tanpa papa yang belum sempat melihatmu sekarang. Papa pasti senang melihatmu dan bisa meninggalkan Rastanty.”
Berdiri di hadapan jendela yang menampilkan pemandangan suasana malam halaman belakang, berlalunya waktu biasanya akan mengubah kenangan dan insiden yang membekas di ingatan seseorang. Tetapi malam itu Hetty justru mencoba memutar kembali insiden dan insiden yang melibatkan seluruh ragawi dan hatinya dengan Pranata.
Hetty mencoba meraba perasaan hatinya sekarang setelah duka menghujaninya tanpa henti. Rasa sakit di relung hatinya masih sama seperti waktu ia menjadi yang utama tapi tak benar-benar bisa memiliki seutuh jiwa.
Janji manis dari mulut lamis Pranata nyatanya tidak terbukti sama sekali sampai ajal menjemputnya, atau mungkin belum karena ia sudah dijemput ajal lebih dulu?
Hetty menertawai dirinya sendiri. Bodoh. Sudah jelas. Tidak ada kelegaan yang ia harapkan akan mengisi hatinya sampai detik ini. Tidak ada kepuasan lain selain tumpukan dosa yang membuntuti hari-harinya menuju tua. Tidak ada kebahagiaan yang romantis dari Pranata di kemudian hari yang sudah ia nanti-nanti. Semuanya musnah sebelum Pranata mengakhiri hubungan dengan Rastanty dan merajut mimpi yang benar-benar asli dengannya. Bukan palsu, bukan cuma saru.
Kini, alangkah semakin malangnya dia. Kendranata muncul, ikut mengobok-obok luka lama yang belum benar-benar kering.
*
*
*
“Pa... pa... mama...” Bramasta berceloteh tentang foto di meja lampu kamar setelah bangun tidur.
“Pa...pa... mama.”
Hetty mengerjapkan mata dengan malas, kantuk masih singgah dan teramat sangat susah ia membuka matanya. Tetapi seperti yang sudah-sudah, ia terbangun seraya mencium pipi gembul Bramasta.
“Pagi, Brama.”
Bramasta meringis geli saat ibunya menciuminya yang masih beraroma minyak telon, ringisan gelinya yang menampilkan gigi-gigi kecil itu menjadi kekehan yang slalu sanggup menenangkan Hetty.
“Mama buat susu sebentar, Brama duduk manis sama papa.”
Celingukan Bramasta mencari Kendranata yang masih terngiang-ngiang di kepala. Mungkin benaknya sadar, bapaknya nyata, bapaknya ada, bukan sekedar foto dan video yang ia tonton saban ibunya kangen dengan Pranata.
Hetty menghela napas. Pasti cari si judes, kok bisa ya kembar tapi beda sifat. Aneh.
Hetty mengendikkan bahu, sekejap rasa jengkel mampir di paginya yang suram.
”Kendranata... Kendranata.” Meraih ponsel di meja dia menekan tombol panggilan dan menghubungi Dominic. Namun dering kedua, dia langsung mematikan.
“Gak... Gak...,” Hetty menggeleng, “sudah cukup aku merepotkan, Dominic. Lagian dia pasti lagi bulan madu.”
Hetty nyengir. Teringat akan sesuatu yang biasa terjadi jika ia dan Pranata bermesraan. Dominic pasti berceloteh tentang Rastanty yang menyapu halaman dan membersihkan lorong kost-kostan dengan tenang tanpa pernah menyangka kedekatan mereka tidak cuma sebatas teman biasa.
“Mereka berdua pasti kacau balau bulan madunya. Rastanty cupu, Dominic proaktif. Hah... lucu-lucu, tapi urus sendiri masalahmu, Hett... Hett... Ngapain mikir mereka.” Dipukulnya kepalanya sendiri seraya berkecimpung dengan urusan rumah.
*
*
*
Jam tujuh pagi lewat seperempat. Mobil bak terbuka yang membawa sayur mayur dan segala jenis bahan mentah masak memasak berhenti di depan rumah Hetty. Marsudi si pedagang sayur memencet klakson.
“Sayurrrrr....” teriaknya lantang.
Meninggalkan Bramasta di ruang keluarga, Hetty tergesa-gesa mengambil dompet di kamar seraya mencelat keluar dari rumah.
“Bayam, jagung, wortel, ayam, sama tempe mas. Satu-satu aja, ayamnya yang seperempat.” ucapnya seraya mengatur napas.
Marsudi memunguti pesanan Hetty sembari mendengus. “Tanggal tua ibu-ibu komplek pada pengiritan semua, Mbak. Daganganku masih banyak, nggak mau nambah to? Aku kasih murah wes, pepayanya manis lho ini, lima ribu aja buat Mbak Hetty.” ucapnya sembari memasukkan pesanan Hetty ke plastik hitam.
Marsudi meringis saat Hetty juga meringis sambil menunjukkan isi dompet.
“Tinggal merah selembar, mas. Masih buat beli susu.” akunya pedih.
“Wes ra popo, bayar besok-besok nggak masalah yang penting daganganku berkurang dan nggak busuk. Eman-eman ini.” Marsudi tersenyum paham sambil memasukkan pepaya california ke dalam plastik.
“Nambah apalagi? Gak cukup lho ini buat makan siang dan makan malam.” Marsudi merayu, pikirnya harus balik model walau pun di utang dulu.
Sekali lagi, Hetty menunjuk nugget, sawi putih, tahu, dan satu plastik apel seberat setengah kilo lalu meringis.
“Jangan bilang-bilang mama atau pembantu rumah ya mas kalo aku utang.” Hetty menguncupkan bibir. “Lagi sulit.”
Marsudi berdehem sambil mengulurkan dagangannya. “Pokoknya santai... Nggak cuma satu dua orang di komplek ini yang utang, dik. Tapi kalau mau gratis seumur hidup jadi istri mas Marsudi aja mau po?”
Amit-amit.
Hetty menggeleng kecil sambil meraih belanjanya. “Aku lunasi langsung mas, ini di bawa aja kembalinya kalo masih ada.” katanya tergesa-gesa sembari mengulurkan satu-satunya uang di tumpukan kangkung.
Tanpa mengucapkan terima kasih Hetty melesat ke rumah dan menutup gerbangnya buru-buru.
Marsudi terbahak. “Tak jamin besok dik Hetty terus nggak mau belanja di tempatku. Elah, nasib.” Uang seratus ribu itu ia tempelkan di keningnya tak kurang dari semenit sedan merah berhenti di belakang mobilnya.
“Kenapa mas?” tanya Kendranata sambil membawa plastik berisi susu, bubur ayam dan main baru untuk Bramasta.
Marsudi menunjuk rumah Hetty sambil menata sayurannya. “Itu tadi janda komplek saya tawarin sayuran gratis seumur hidup biar ndak perlu utang, eh di tolak langsung.” Marsudi menghela napas.
Kendranata menahan senyum sambil menepuk pundaknya singkat.
“Itu janda mantan adik saya.”
Marsudi menjejalkan uangnya sambil menatap Kendranata dengan kecut. “Pantesan, kalah rupo, kalah bondo.”
...ರ╭╮ರ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Ersa
walah Mar mimpimu keduwuran Wis dodolan sayur wae Wis pas kuwi lakonmu😆
2023-05-01
2
CebReT SeMeDi
ngapain Ken pagi2 ngapelin janda mantan adekmu
2023-03-25
1
CebReT SeMeDi
kang sayur emang mesti kocak ya biar laku, tapi Jan baper yg beli🤪
2023-03-25
2