Langit Yang Menghilang
Tawa riang terdengar memenuhi taman, seorang gadis kecil berlarian di antara bunga-bunga yang bermekaran dengan indah. Tawa dari gadis itu membawa kegembiraan bagi semua orang yang melihatnya, termasuk bagi ayah dan ibunya, tentu saja pelayan-pelayannya pun merasakan hal yang sama.
"Ayah, Ibu, coba lihat ini!" katanya sambil membawa mahkota bunga yang dia buat.
"Jangan berlari! Nanti jatuh, sayang," tegur sang ibu tersenyum lembut.
Anak yang ditegur malah tak mendengarkan, dia terus berlari tanpa mendengarkan kekhawatiran sang ibunya. Gadis itu terus tertawa dan berlari, hingga akhirnya dia tak sengaja tersandung dan hampir jatuh. "Kya ...!" pekiknya memejamkan mata.
Tangan nan hangat bergegas menangkap tubuh mungil itu sebelum benar-benar jatuh ke tanah. "Fyuh, untung saja masih sempat," desah si penolong dengan suara lega. "Dengarkan kata-kata ibumu, sayang. Jangan berlarian," ucap pria itu membantu sang putri kembali berdiri.
"Terima kasih, ayah!" kata gadis mungil itu tersenyum lebar. "Aku tahu kalau aku akan baik-baik saja selama ada ayah yang melindungiku!" katanya seraya mencium cepat pipi sang ayah. "Ini buat ayah!" tambah gadis kecil itu memakaikan ayahnya mahkota bunga yang dia buat.
"Tapi kamu tetap harus berhati-hati, sayang," kata sang ibu menimpali. "Kami tak ingin kamu kenapa-napa," lanjutnya lagi.
"Baik, bu," ucap sang anak patuh. Gadis kecil itu juga memakaikan ibunya mahkota bunga lain yang dia buat juga. "Ibu sangat cantik!" serunya seperti melihat sosok malaikat yang menjelma menjadi ibunya.
"Kamu yang tercantik, sayang!" kata ibu dan ayah bersamaan. Bagi mereka, sang putri merupakan hadiah terindah yang melengkapi kehidupan mereka. Peri kecil itu membawa tawa di hidup mereka yang sebelumnya bahagia kini semakin bertambah bahagia karena kehadirannya.
Senyum ketiganya menular pada para pelayan yang menjadi saksi kebahagian keluarga kecil tersebut. Senyum yang dikira tak akan pernah pudar untuk selamanya, rupanya bisa menghilang begitu saja dalam semalam.
Malam yang tak akan dilupakan oleh gadis kecil nan malang ini. Malam paling menyakitkan untuk sosok bocah yang belum paham kekejaman dunia. Malam yang mengubah hidupnya menjadi seperti di neraka. Malam yang membuat dia berharap kematian menjemput, kalau saja dirinya tak ingat janjinya pada ibunya untuk terus berjuang dan bertahan hidup. Malam yang menjadikannya satu-satunya yang tersisa dari keluarganya karena satu penyerangan yang tak dia ketahui alasannya.
Gadis kecil itu kembali berlari, dia trus berlari tanpa menoleh ke belakang. Tak ada senyum ceria, wajahnya malah penuh dengan air mata. Jantungnya berdegup kencang, kakinya sakit, tapi dia tak bisa berhenti berlari karena ibunya yang terus menyuruhnya pergi. Dia tak berani menoleh, dia tak mau melihat ibu dan ayahnya yang entah sedang berada di mana saat ini.
"Lari, aku harus terus berlari!" gumam bocah kecil itu menguatkan hatinya. "Ibu dan ayah akan menjemputmu sebentar lagi kalau aku menuruti ucapan mereka!" katanya lagi.
Derap langkah terdengar dari belakang, gadis itu memejamkan matanya dan terus berlari. Dia tak berani menoleh, dia juga tak berani berhenti berlari meski lelah. "Menyerah lah, bocah!!!" suara yang sama sekali belum pernah didengarnya memekik nyaring. Gadis kecil itu tersentak sesaat, tapi kemudian dia kembali berlari setelah mengusap wajahnya yang penuh air mata.
"Ayah dan ibumu menunggu, bocah!" ucap suara yang sama.
Gadis kecil itu menghentikan langkahnya, dia berdiri sambil menunduk. Setetes, dua tetes, air matanya kembali berjatuhan. "Ayah! Ibu!" serunya pelan.
"Ya! Untuk ukuran bocah kecil, kamu sangat sulit ditangkap?!" tukas pemilik suara yang sejak tadi bicara. Pria itu menarik kerah belakang bocah kecil itu agar dia tak melarikan diri lagi. "Mari kita lihat apa yang kita dapatkan," katanya mengundang gelak tawa dari pria-pria lainnya.
"Woah, kulit putih, permata berwarna biru, dan rambut kuning keemasan yang menjuntai halus. Bangsawan memanglah bangsawan tanpa perlu dilihat dua kali," decaknya kagum.
"Di mana ayah dan ibuku?" tanya gadis kecil itu membuang rasa takutnya. Dia lebih ingin bertemu ibu dan ayahnya dari pada memedulikan rasa takut yang dia rasakan.
"Kamu ingin bertemu?" tanya pria itu tersenyum. Senyum yang sama sekali tak terlihat baik dan menakutkan di mata bocah itu.
Si bocah mengangguk pelan. "Lalu jawab aku! Siapa namamu?" tanyanya kembali tersenyum aneh.
"Aira Oktavia," balas gadis kecil itu menjawab.
Si pria berbadan besar pun terkekeh geli. "Baiklah, aku akan membawamu untuk melihat ayah dan ibumu. Tapi, sebagai bayarannya kamu harus selalu mendengarkan perkataan ku setelah ini!" katanya mengajukan kesepakatan.
Gadis kecil yang belum genap sepuluh tahun itu pun mengangguk setuju tanpa pikir panjang. Dia hanya perlu bertemu dengan ibu dan ayahnya, setelah itu ayahnya pasti akan mengurus semuanya. Dia yakin itu yang akan terjadi.
Mereka berbalik, melewati jalan sebelumnya, kembali ke rumah yang ditempati Aira selama ini. Aira mengernyit, pemandangannya sangat mengerikan. Di tanah banyak tergenang air berwarna merah, banyak pula pekerja yang bekerja di rumah mereka terbaring di sembarang tempat. "Ada apa?" kata si pria yang menggendong Aira.
"Apa mereka tertidur?" tanya Aira dengan wajah polos.
Suara tawa terdengar setelah Aira bertanya. "Kamu bisa menganggapnya seperti itu! Tapi mereka tertidur untuk selamanya!" kekeh pria itu terdengar sedikit menakutkan.
"Carilah, yang mana ayah dan ibumu. Aku lupa wajah mereka!" si pria menurunkan Aira dari gendongannya.
Aira berkedip beberapa kali, sebelum melangkah di antara manusia-manusia yang dikiranya sedang tertidur
"Bos, apa tak masalah begini?" tanya salah satu anak buah pria tadi.
"Benar, bos. Kita harusnya pergi setelah misi kita selesai!" timpal yang lain mengingatkan.
"Kalian meragukan keputusanku?" lirikan mata penuh ancaman diberikan secara instan pada anak buahnya.
"Maaf, bos. Kami bersalah!" kata mereka serempak.
"Bukankah bocah itu bisa kita gunakan sebagai alat ke depannya?" kekeh si pria melihat senyum mengembang di wajah Aira. Sepertinya bocah itu sudah menemukan ayah dan ibunya di antara banyaknya tumpukan mayat-mayat yang sudah mereka bunuh sebelumnya.
"Ayah! Ibu! Ini Aira! Bangunlah, ada paman yang baik hati yang mengantarkan Aira untuk bertemu dengan kalian," kata Aira terus berusaha membangunkan ayah dan ibunya. Tak ada respon, keduanya tetap memejamkan mata tanpa bergerak sedikit pun.
"Paman, ayah dan ibuku kenapa?" tanya gadis kecil itu.
"Coba lihat tanganmu, bocah!" kekeh di pria yang dipanggil paman merasa lucu karena Aira belum sadar akan situasi yang menimpa mereka.
Mata Aira terbelalak lebar. Ayah dan ibunya terluka. "Darah! Paman, orang tuaku terluka! Kumohon tolong mereka!!!" katanya panik.
Si pria masih terkekeh jahat, dia berjalan mendekat kemudian berbisik selayaknya setan. "Ayah dan ibumu sudah mati, bocah! Dan kami, paman baik ini yang membuat mereka dalam kondisi seperti itu!" katanya mengaku.
Aira terdiam, tak ada rengekan. Dia syok mendengar pengakuan dari pria yang dia kira penolongnya. "Tidak, tidak! Tidak!!!" teriak gadis kecil itu sebelum hilang kesadaran.
"Ayo, kita pergi!" kata si pria dengan tampang acuh. "Bawa dia!" katanya lagi sebelum benar-benar meninggalkan kediaman Aira disertai tawa yang terdengar sangat jahat. Malam itu, seluruh tempat tinggal Aira habis dimakan api. Tak ada yang tersisa, bahkan hutan di sekitar pun habis terbakar dan rata dengan tanah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments