Aira yang sudah bisa bergerak di ajak bertemu dengan si bos alias Raymond. Raymond meminta semua anak buahnya pergi, membiarkan mereka bicara berdua saja. Si bos terus bicara, padahal Aira tetap diam sambil menatap lurus pria itu. Tak ada emosi satu pun yang bisa dibaca dari mata bocah itu, dia hanya terus menatap si bos tanpa ragu.
Raymond pun memberi titahnya untuk pertama kali pada Aira. "Jadilah boneka cantik sekaligus senjata mematikan untuk aku, Raymond! Buat aku berdiri di tahta tertinggi dari bagian kejahatan di dunia ini!" katanya lagi. "Panggil aku MASTER untuk ke depannya, bocah!" tak ada jawaban, tak ada respon sedikit pun, sama seperti sebelum-sebelumnya.
"Itu adalah tujuan untuk hidupmu sekarang!" kata Raymond lagi.
Mendengar kata hidup, bibir Aira bergetar kecil, dia seperti ingin membuka mulutnya tapi tak bisa. Melihat itu, Raymond merasa kalau Aira akan menjadi boneka penurut yang sangat cocok untuk dirinya. "Berkedip saja kalau kamu belum bisa bersuara," kata pria itu seakan membuat kebaikan dengan memberi keringanan pada Aira.
Aira yang mendengar itu berkedip dua kali, dia menyetujui semua yang Raymond katakan. Kata hidup sudah seperti pecut bagi gadis kecil itu. Raymond pun tertawa keras.
"Antarkan bonekaku ke kamarnya yang baru!" kata Raymond setelah memanggil anak buahnya. "Dia akan mulai latihan besok!" lanjutnya lagi.
"Siapa yang anda tunjuk menjadi gurunya, bos?" tanya si anak buah sopan.
"Haruskah kamu bertanya hal yang sudah jelas, bodoh?!" hardik Raymond kesal. "Tentu saja aku sendiri yang akan mengurus itu!" lanjutnya melempar vas bunga ke arah anak buahnya tadi. Lemparannya tepat sasaran, jelas sekali anak buahnya tak berani menghindar.
Darah menetes, tapi tak dipedulikan oleh orang yang bersangkutan. "He-he, saya salah, bos! Saya sudah menanyakan pertanyaan bodoh. Siapa yang lebih hebat dari bos yang cocok menjadi guru bocah kecil itu," katanya sembari tersenyum dan terus memuji bosnya.
"Kalau sudah paham, siapkan pakaian untuk dia kenakan besok!" kata si bos memberi perintah. "Lalu pekerjakan satu atau dua orang wanita yang bisa mengurus boneka cantikku ini!" lanjut Raymond.
"Akan saya cari segera, bos!" kata si anak buah bergegas ke luar. Dia mengatakan Aira kembali ke ruangannya. Setelah itu barulah pria tadi melaksanakan dua perintah dari bosnya.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Keesokan harinya, Aira mandi dibantu oleh dia pekerja yang dipekerjakan secara paksa di bawah ancaman. Mereka adalah putri-putri dari keluarga yang berhutang banyak tapi tak bisa membayar meski hanya bunganya. Jadilah mereka membayar hutang itu dengan menandatangani kontrak kerja. Mereka hanya perlu menemani bocah perempuan, mengurus dia dan mengajari membaca serta menulis. Ditetapkan juga kalau keduanya tak boleh marah apa lagi sampai memukul Aira. Hanya Raymond yang boleh menindas bonekanya itu, orang lain yang berani melakukan hal itu pasti sudah bosan hidup di dunia yang sama dengan dirinya.
Aira dididik dengan keras, bocah kecil itu mengelilingi lapangan layaknya orang dewasa. Dia belajar pedang, menembak, berkuda, dan latihan lainnya yang berbeda-beda setiap harinya. Tak ada hari tanpa latihan, tapi wajah Aira tetap saja datar dengan tatapan mata yang kosong. Dia juga tak pernah mengeluh kelelahan, bahkan walau dirinya pernah pingsan beberapa kali. Yang paling disukai oleh Raymond adalah, Aira tak pernah telat latihan apa lagi membolos. Bahkan saat sakit pun, Aira tetap datang ke tempat latihan tepat waktu.
Hari berganti, bulan berlalu, tahun pun dengan cepat terus bertambah. Aira yang mulai mekar bak bunga, semakin terlihat cantik dan menawan. Meski tanpa polesan make up sekali pun, gadis itu tetap cantik bak bintang dunia. Tak ada yang berani menyentuh Aira, bahkan walau hanya sebatas candaan belaka. Mereka masih sayang nyawa, masih ingin bermain dan bersenang-senang dalam waktu lama. Mereka cukup menikmati dari jauh kecantikan itu, tak perlu menggadaikan nyawa pada bayangan iblis yang mengundang kematian.
"Kesayanganku, apa kabarmu hari ini?" tanya Raymond sebelum memulai latihan pagi mereka.
"Baik!" balas Aira dengan wajah datar yang sama. Beberapa bulan terakhir ini gadis itu sudah mulai bisa berbicara, dia juga bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan.
"Sudah siap untuk kalah?" Raymond menyeringai ke arah Aira yang telah siap dengan kuda-kudanya.
"Kapan pun!" balasnya singkat tanpa mengubah ekspresi.
"Setelah ini mari kita berbelanja, sayang!" ucap Raymond yang sudah menganggap Aira sebagai anak, bukan lagi boneka. Kebiasaan itu sungguh menakutkan, yang ingin dia jadikan alat pun bisa berubah karena terbiasa hidup bersama dan melihatnya tumbuh. Tapi tentu saja tujuan awal Raymond tak berubah, dia akan menggunakan Aira sebagai batu yang akan membuatnya bersinar di tempat paling tinggi. Tapi bedanya, dia akan melakukan sembari memberi perlindungan. Artinya dia peduli pada hidup dan mati bocah yang sudah mulai beranjak dewasa itu.
"Baik, master!" balas Aira. Keduanya pun terlibat baku hantam. Pukulan, tendangan, melayang dengan cepat. Tak ada waktu untuk berkedip, tak ada waktu untuk berpikir, kecepatan adalah kunci dari pertarungan ini. Tak berhenti hanya dengan tangan kosong, kini mereka beradu pedang. Suara besi beradu memenuhi tempat latihan, Raymond tersenyum puas, Aira semakin mahir mengimbanginya bermain.
"Berhenti!" tukas Raymond menghentikan pertarungan mereka. "Kamu selalu bisa membuat aku bahagia, sayang!" puji Raymond.
Wajah Aira tetap datar meski mendapat pujian sepenuh hati dari pria di depannya, hal itu membuat Raymond kembali tersenyum. "Ganti bajumu, kita akan berangkat sebentar lagi!" titah pria itu sambil melempar pedangnya, tentu saja anak buahnya yang akan menangkap senjatanya itu.
Aira mengangguk, dia kembali ke kamarnya bersama dengan dua pengasuhnya. Dua wanita itu masih bekerja dan membantu Aira selama ini. "Apa anda lelah, nona?" tanya Lia yang paling muda di antara kedua pengasuh Aira.
"Anda ingin mandi dulu?" tanya Tika, pengasuh lainnya.
"Siapkan dengan cepat!" tukas Aira datar.
"Segera, nona!" balas keduanya.
Selesai mandi dan berganti pakaian, Aira segera ke ruangan Raymond. Dia bebas keluar-masuk ke ruangan tersebut untuk bertemu dengan masternya kapan saja. "Saya sudah siap, master!" kata Aira berdiri dengan posisi tegak.
Raymond mendongak, pria itu kemudian tersenyum tipis. "Mari kita pergi sekarang!" katanya mengambil jaket luaran.
Keduanya berjalan berdampingan, selayaknya ayah dan anak. Aira bahkan duduk di mobil yang sama dengan Raymond, itu hal yang sudah biasa dan tak lagi membuat terkejut anak buahnya. Sebelum turun dari mobil, Raymond menyentuh sedikit lengan Aira, seolah tahu Aira pun mengangguk pelan. "Jadi kamu masih ingat apa yang harus kamu katakan kalau ingin berbicara denganku di luar begini?" tanya Raymond.
"Panggilan berubah dari master menjadi ayah!" balas Aira tanpa emosi.
"Pintarnya!" puji Raymond yang sama sekali tak mempan menembus kebatuan Aira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments