Tawa riang terdengar memenuhi taman, seorang gadis kecil berlarian di antara bunga-bunga yang bermekaran dengan indah. Tawa dari gadis itu membawa kegembiraan bagi semua orang yang melihatnya, termasuk bagi ayah dan ibunya, tentu saja pelayan-pelayannya pun merasakan hal yang sama.
"Ayah, Ibu, coba lihat ini!" katanya sambil membawa mahkota bunga yang dia buat.
"Jangan berlari! Nanti jatuh, sayang," tegur sang ibu tersenyum lembut.
Anak yang ditegur malah tak mendengarkan, dia terus berlari tanpa mendengarkan kekhawatiran sang ibunya. Gadis itu terus tertawa dan berlari, hingga akhirnya dia tak sengaja tersandung dan hampir jatuh. "Kya ...!" pekiknya memejamkan mata.
Tangan nan hangat bergegas menangkap tubuh mungil itu sebelum benar-benar jatuh ke tanah. "Fyuh, untung saja masih sempat," desah si penolong dengan suara lega. "Dengarkan kata-kata ibumu, sayang. Jangan berlarian," ucap pria itu membantu sang putri kembali berdiri.
"Terima kasih, ayah!" kata gadis mungil itu tersenyum lebar. "Aku tahu kalau aku akan baik-baik saja selama ada ayah yang melindungiku!" katanya seraya mencium cepat pipi sang ayah. "Ini buat ayah!" tambah gadis kecil itu memakaikan ayahnya mahkota bunga yang dia buat.
"Tapi kamu tetap harus berhati-hati, sayang," kata sang ibu menimpali. "Kami tak ingin kamu kenapa-napa," lanjutnya lagi.
"Baik, bu," ucap sang anak patuh. Gadis kecil itu juga memakaikan ibunya mahkota bunga lain yang dia buat juga. "Ibu sangat cantik!" serunya seperti melihat sosok malaikat yang menjelma menjadi ibunya.
"Kamu yang tercantik, sayang!" kata ibu dan ayah bersamaan. Bagi mereka, sang putri merupakan hadiah terindah yang melengkapi kehidupan mereka. Peri kecil itu membawa tawa di hidup mereka yang sebelumnya bahagia kini semakin bertambah bahagia karena kehadirannya.
Senyum ketiganya menular pada para pelayan yang menjadi saksi kebahagian keluarga kecil tersebut. Senyum yang dikira tak akan pernah pudar untuk selamanya, rupanya bisa menghilang begitu saja dalam semalam.
Malam yang tak akan dilupakan oleh gadis kecil nan malang ini. Malam paling menyakitkan untuk sosok bocah yang belum paham kekejaman dunia. Malam yang mengubah hidupnya menjadi seperti di neraka. Malam yang membuat dia berharap kematian menjemput, kalau saja dirinya tak ingat janjinya pada ibunya untuk terus berjuang dan bertahan hidup. Malam yang menjadikannya satu-satunya yang tersisa dari keluarganya karena satu penyerangan yang tak dia ketahui alasannya.
Gadis kecil itu kembali berlari, dia trus berlari tanpa menoleh ke belakang. Tak ada senyum ceria, wajahnya malah penuh dengan air mata. Jantungnya berdegup kencang, kakinya sakit, tapi dia tak bisa berhenti berlari karena ibunya yang terus menyuruhnya pergi. Dia tak berani menoleh, dia tak mau melihat ibu dan ayahnya yang entah sedang berada di mana saat ini.
"Lari, aku harus terus berlari!" gumam bocah kecil itu menguatkan hatinya. "Ibu dan ayah akan menjemputmu sebentar lagi kalau aku menuruti ucapan mereka!" katanya lagi.
Derap langkah terdengar dari belakang, gadis itu memejamkan matanya dan terus berlari. Dia tak berani menoleh, dia juga tak berani berhenti berlari meski lelah. "Menyerah lah, bocah!!!" suara yang sama sekali belum pernah didengarnya memekik nyaring. Gadis kecil itu tersentak sesaat, tapi kemudian dia kembali berlari setelah mengusap wajahnya yang penuh air mata.
"Ayah dan ibumu menunggu, bocah!" ucap suara yang sama.
Gadis kecil itu menghentikan langkahnya, dia berdiri sambil menunduk. Setetes, dua tetes, air matanya kembali berjatuhan. "Ayah! Ibu!" serunya pelan.
"Ya! Untuk ukuran bocah kecil, kamu sangat sulit ditangkap?!" tukas pemilik suara yang sejak tadi bicara. Pria itu menarik kerah belakang bocah kecil itu agar dia tak melarikan diri lagi. "Mari kita lihat apa yang kita dapatkan," katanya mengundang gelak tawa dari pria-pria lainnya.
"Woah, kulit putih, permata berwarna biru, dan rambut kuning keemasan yang menjuntai halus. Bangsawan memanglah bangsawan tanpa perlu dilihat dua kali," decaknya kagum.
"Di mana ayah dan ibuku?" tanya gadis kecil itu membuang rasa takutnya. Dia lebih ingin bertemu ibu dan ayahnya dari pada memedulikan rasa takut yang dia rasakan.
"Kamu ingin bertemu?" tanya pria itu tersenyum. Senyum yang sama sekali tak terlihat baik dan menakutkan di mata bocah itu.
Si bocah mengangguk pelan. "Lalu jawab aku! Siapa namamu?" tanyanya kembali tersenyum aneh.
"Aira Oktavia," balas gadis kecil itu menjawab.
Si pria berbadan besar pun terkekeh geli. "Baiklah, aku akan membawamu untuk melihat ayah dan ibumu. Tapi, sebagai bayarannya kamu harus selalu mendengarkan perkataan ku setelah ini!" katanya mengajukan kesepakatan.
Gadis kecil yang belum genap sepuluh tahun itu pun mengangguk setuju tanpa pikir panjang. Dia hanya perlu bertemu dengan ibu dan ayahnya, setelah itu ayahnya pasti akan mengurus semuanya. Dia yakin itu yang akan terjadi.
Mereka berbalik, melewati jalan sebelumnya, kembali ke rumah yang ditempati Aira selama ini. Aira mengernyit, pemandangannya sangat mengerikan. Di tanah banyak tergenang air berwarna merah, banyak pula pekerja yang bekerja di rumah mereka terbaring di sembarang tempat. "Ada apa?" kata si pria yang menggendong Aira.
"Apa mereka tertidur?" tanya Aira dengan wajah polos.
Suara tawa terdengar setelah Aira bertanya. "Kamu bisa menganggapnya seperti itu! Tapi mereka tertidur untuk selamanya!" kekeh pria itu terdengar sedikit menakutkan.
"Carilah, yang mana ayah dan ibumu. Aku lupa wajah mereka!" si pria menurunkan Aira dari gendongannya.
Aira berkedip beberapa kali, sebelum melangkah di antara manusia-manusia yang dikiranya sedang tertidur
"Bos, apa tak masalah begini?" tanya salah satu anak buah pria tadi.
"Benar, bos. Kita harusnya pergi setelah misi kita selesai!" timpal yang lain mengingatkan.
"Kalian meragukan keputusanku?" lirikan mata penuh ancaman diberikan secara instan pada anak buahnya.
"Maaf, bos. Kami bersalah!" kata mereka serempak.
"Bukankah bocah itu bisa kita gunakan sebagai alat ke depannya?" kekeh si pria melihat senyum mengembang di wajah Aira. Sepertinya bocah itu sudah menemukan ayah dan ibunya di antara banyaknya tumpukan mayat-mayat yang sudah mereka bunuh sebelumnya.
"Ayah! Ibu! Ini Aira! Bangunlah, ada paman yang baik hati yang mengantarkan Aira untuk bertemu dengan kalian," kata Aira terus berusaha membangunkan ayah dan ibunya. Tak ada respon, keduanya tetap memejamkan mata tanpa bergerak sedikit pun.
"Paman, ayah dan ibuku kenapa?" tanya gadis kecil itu.
"Coba lihat tanganmu, bocah!" kekeh di pria yang dipanggil paman merasa lucu karena Aira belum sadar akan situasi yang menimpa mereka.
Mata Aira terbelalak lebar. Ayah dan ibunya terluka. "Darah! Paman, orang tuaku terluka! Kumohon tolong mereka!!!" katanya panik.
Si pria masih terkekeh jahat, dia berjalan mendekat kemudian berbisik selayaknya setan. "Ayah dan ibumu sudah mati, bocah! Dan kami, paman baik ini yang membuat mereka dalam kondisi seperti itu!" katanya mengaku.
Aira terdiam, tak ada rengekan. Dia syok mendengar pengakuan dari pria yang dia kira penolongnya. "Tidak, tidak! Tidak!!!" teriak gadis kecil itu sebelum hilang kesadaran.
"Ayo, kita pergi!" kata si pria dengan tampang acuh. "Bawa dia!" katanya lagi sebelum benar-benar meninggalkan kediaman Aira disertai tawa yang terdengar sangat jahat. Malam itu, seluruh tempat tinggal Aira habis dimakan api. Tak ada yang tersisa, bahkan hutan di sekitar pun habis terbakar dan rata dengan tanah.
Sudah tiga hari lamanya Aira belum sadarkan diri juga. Gadis itu ditempatkan di sebuah ruangan kecil di lantai atas markas para penjahat. "Apa dia akan bangun?" tanya si bos untuk kesekian kalinya.
"Sepertinya bocah itu terlalu terkejut, bos," balas anak buahnya.
"Mungkin dia tak akan bertahan," kata yang lain acuh.
"Buang saja tubuhnya kalau dia mati, biar bisa jadi makanan para serigala yang kita piara," kata si bos tak peduli. Kalau mati ya sudah, buat saja dia lebih berguna. Tubuhnya kan bisa dibuat jadi makanan binatang yang mereka piara.
"Wah, bos memang benar-benar kejam, khe-khe-khe," kekeh anak buahnya yang mendapatkan titah barusan.
"Kalau tidak kejam, tak mungkin dia bisa menjadi bos!" timpal yang lain.
"Sudah jangan banyak bicara! Awasi saja anak cantik itu?!" kata si bos menghentikan tawa anak buahnya.
"Siap laksanakan, bos!!!" ucap mereka serempak. Mereka semua ke luar, meninggalkan sang bos tetap di dalam ruangannya.
"Dasar merepotkan," decihnya tapi pria itu malah tersenyum kecil.
Di luar, para anak buahnya yang disuruh mengawasi Aira sibuk bertanya-tanya tentang alasan apa yang membuat bosnya malah membawa bocah kecil ke tempat mereka. "Bos ingin berbuat apa sih dengan bocah itu?" tanya salah satu dari mereka.
"Mana kutahu," kata yang lain mengangkat bahu.
"Mungkin mau dijadikan pelayan," balas anak buah yang berperawakan paling tinggi.
"Kalau pelayan, lebih baik membawa yang sedikit lebih besar. Biar gampang disuruh-suruh!" ucap yang paling gempal menimpali.
"Siapa tahu bos ingin memanipulasi otak anak itu dengan banyak ketakutan?!" kata yang lain lebih masuk akal.
"Itu mungkin," tanggap yang lain setuju.
"Dia akan jadi boneka penurut yang cantik!" kekeh salah satu dari mereka membayangkan secantik apa bocah yang bos mereka bawa kalau sudah dewasa.
"Sebaiknya hapus pikiran liar yang kamu miliki sebelum kepalamu yang bodoh itu diledakkan bos!" kata rekannya mengingatkan agar tak macam-macam.
"Bisa-bisa matamu dijadikan koleksi oleh bos kalau kamu berani melirik mainan bos!" kata yang lain menimpali.
"Ugh, jangan bilang begitu, aku jadi merinding ini," katanya menunjukkan bulu-bulu lengannya. Tawa yang lainnya pecah, melihat rekannya ketakutan dengan kekejaman bos mereka yang dikenal sangat sadis.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Seminggu kemudian, mata gadis kecil yang tak sadarkan diri sejak sepuluh hari lalu itu akhirnya terbuka. Dia hanya diam tanpa bergerak, membuat suara pun sama sekali tidak. "Oh, sudah sadar rupanya," kata anak buah si bos yang sedang mengecek Aira. "Jangan pergi ke mana-mana! Aku mau melapor ke bos dulu!" katanya lagi kemudian bergegas pergi.
Si bos yang mendengar kabar itu terlihat senang, dia pun segera menghampiri ruang tempat Aira berada. "Ha-ha-ha, dia benar-benar bangun! Kukira dia tak akan bertahan dan mati," katanya tertawa keras. Aira sama sekali tak terganggu, gadis kecil itu hanya diam saja menatap lurus langit-langit kamar tanpa berkedip.
"Selamat, bos!" kata para anak buahnya ikut tertawa.
"Tapi, kenapa bocah itu diam saja?" tanya si bos heran. Mereka sudah membuat keributan, tapi bocah ini sama sekali tak terganggu.
"Kami juga tak tahu, bos!" aku para anak buah dengan cepat.
"Mungkin bocah ini terlalu takut hingga tak bisa bicara bahkan bergerak, bos!" kata salah satu dari mereka.
"Apa bukan karena dia syok?" timpal yang lain membuka suara.
"Dia hanya tak punya tenaga, mungkin?" kata yang lainnya lagi.
"Panggilkan seseorang yang bisa memeriksanya, entah dukun, dokter, atau siapa pun terserah," titah si bos gusar. "Aku tak ingin senjata sekaligus mainanku kenapa-napa?!" tukasnya lagi.
"Kami akan menjemput semuanya!" ucap tiga anak buahnya segera pergi.
"Senjataku yang cantik, dewi kematian di masa depan, karena kamu telah melewati kematian, maka buatlah keajaiban lain dan patuhi semua perintah dari AYAH mu ini!" kata si bos seraya mengulurkan tangannya, mengambil sejumput rambut Aira sambil tersenyum jahat. Dia membayangkan bagaimana kelompoknya di masa depan setelah dirinya berhasil menciptakan boneka cantik yang mampu menipu semua orang. Dia akan duduk di atas tumpukan uang. Kekuasaan akan selalu menyertai setiap langkahnya.
"Bos, saya membawa dokter!" kata salah satu anak buah si bos yang baru kembali.
"Ini dukun yang bisa saya temukan, bos!" kata yang lainnya yang baru datang.
"Saya mengundang dengan sopan seorang pendeta yang masih terjaga dari kuil di dekat sini, bos!" ucap yang satunya sambil tersenyum lebar.
"Periksa dia!" titah si bos menunjuk Aira.
Karena sang dokter yang pertama kali datang, maka dia jugalah yang duluan memeriksa. "Bagaimana?" tanya si bos tak sabar.
Si dokter menggeleng pelan. "Tak ada penyakit yang saya temukan!" jawabnya. "Gadis ini hanya kelelahan dan tak memiliki niat untuk hidup," kata si dokter lagi.
Si bos menggeram mendengarnya. Tak membantu sama sekali, itulah yang dia pikirkan. " Kamu! Periksa dia!" si dukun pun mendapat giliran untuk menunjukkan keahliannya.
Dimulai dari memasang banyak lilin, hingga menggunakan wewangian yang baunya sangat menyengat, kemudian disusul dengan kata-kata yang disenandungkan seperti puji-pujian, si dukun melempar sesuatu ke udara, entah apa itu. "Buruk, ini buruk!" katanya dengan mata terbelalak lebar. "Anak ini sudah tak memiliki jiwa!" katanya lagi menunjuk Aira.
Anak buah si bos sedikit risuh, berbisik-bisik tentang apa yang dikatakan dukun barusan. Apa mungkin seseorang tanpa jiwa bisa membuka mata seperti bocah yang mereka bawa itu. Rasanya sedikit tak benar, tapi otak mereka menerimanya begitu saja.
"Pendeta berjubah yang selalu bisa menyembuhkan semuanya, periksa dan sembuhkan bocah itu!" titah si bos tak puas hanya berhenti pada si dukun. "Aku tak peduli mau dia tak memiliki jiwa atau mau dia tak memiliki semangat hidup, aku hanya ingin dia bangun dan menjalani pendidikan yang ketat! Jadi lakukan tugas mu sebagai pendeta!" lanjut pria itu tak peduli bagaimana pun caranya, dia ingin Aira cepat sadar seutuhnya.
Si pendeta pun maju, menggantikan si dukun yang baru saja mundur ke belakang. Tak banyak yang dilakukan pendeta itu, dia hanya menyentuh dahi Aira sembari memejamkan mata. Mulutnya komat-kamit memanjatkan do'a-do'a, terus dan terus sampai cahaya putih menyelubungi tubuh mungil gadis kecil itu. "Biarkan anak ini beristirahat dengan tenang," kata si pendeta membuka matanya. "Aku akan menginap di sini hingga keadaannya membaik," lanjutnya lagi.
Sebagai pendeta dia memang membenci kejahatan, tapi bukan berarti dia akan membiarkan orang jahat terluka. Semua pasien sama di matanya, mereka harus dibantu tak peduli siapa dia sebenarnya.
Si bos mengangguk puas, dia mengizinkan pendeta itu tidur di kamar yang Aira tempati. Tentu saja itu dilakukan agar si pendeta lebih mudah memperhatikan keadaan Aira ke depannya.
Dua hari kemudian, Aira sudah mulai bisa meminum minuman yang diberikan padanya. Meski dia belum bisa makan, tapi itu merupakan suatu kemajuan. Si pendeta selalu berada di sisi Aira, dia merawat Aira dan terus berdo'a agar gadis kecil itu cepat sembuh.
"Anakku, siapa namamu?" tanya si pendeta dengan suara lembut.
Aira diam,.tak merespon.
"Coba kedipkan matamu dua kali kalau kamu tahu namamu, anakku. Dan kedipkan satu kali kalau kamu tak tahu," kata si pendeta tak menyerah. Aira merespon, gadis kecil itu berkedip sekali. Si pendeta kembali berdo'a, berharap agar Aira segara ingat siapa dirinya dan dari mana asalnya.
"Apa ada perkembangan?" si bos datang menghampiri.
"Nona kecil ini hanya bisa berkedip sekali sebagai ganti jawaban tidak dan berkedip dua kali untuk jawaban iya, tuan," kata si pendeta.
Si bos terkekeh senang. "Itu bagus, sangat bagus!" katanya terlihat bahagia.
"Ah, nona juga sepertinya lupa siapa namanya, tuan," lapor si pendeta menatap iba ke arah Aira.
Si bos mengangguk santai. "Tak masalah, itu malah bagus untuk kami semua," katanya lagi. "Sekarang kamu bisa kembali, terima kasih!" lanjut pria itu. Dia meminta anak buahnya mengantarkan si pendeta, tentunya tak lupa dia juga memberikan bayaran dalam jumlah yang sangat banyak.
"Tapi nona masih butuh perawatan saya!" kata si pendeta tak tega meninggalkan Aira yang belum bisa bergerak sama sekali.
"Ha-ha-ha, jangan terlalu besar kepala hanya karena berhasil membuat bocah itu mengedipkan matanya. Pulang sana sebelum kamu tak bisa pulang!" tukas si bos kesal karena dibantah. "Antarkan dia dan beri bayaran yang banyak agar mulutnya yang terus menggumamkan kata-kata suci itu segera menutup diam!" lanjutnya lagi.
"Siap, bos!" kata anak buahnya dengan cepat. "Ayo, pergi sebelum bos berubah pikiran dan mengubah anda menjadi makanan serigala," bisiknya menarik si pendeta dengan sedikit paksaan.
Si bos mendekati ranjang yang digunakan Aira, dia mengangkat dagu bocah kecil itu agar bisa dia lihat dengan jelas. Hanya ada kekosongan di tatapan itu. "Bocah, ingat ini! Aku adalah orang yang membuat kamu tetap hidup, jadi turuti semua perintahku untuk membayarnya!" ucap si bos sambil menyeringai licik. "Karena hanya dengan satu kata dariku, kamu bisa lenyap dari dunia ini seperti ..., ORANG TUA MU!" pria itu sengaja menjeda ucapannya sesaat, kemudian dia menekankan kata-kata setelahnya.
Pupil mata Aira terlihat sedikit bergetar, air mata pun menetes dengan sendirinya. Hal itu membuat si bos penjahat semakin senang. Aira akan sembuh, dia akan menjadi alat yang paling berguna untuk melancarkan semua ambisinya. Uang dan kekuasaan, dia akan mendapatkan semuanya dengan cara yang lebih mudah.
"Lihat, aku bahkan bisa melakukan dengan lebih baik dari pada pria bodoh yang tadi!" katanya menunjuk ke arah Aira. "Dia menangis hanya karena satu kalimat yang aku ucapkan!" katanya lagi dengan lebih bangga.
"Bos memang hebat!" puji anak buahnya.
"Dari awal kita tak butuh para penipu itu!" kata yang lain.
"Harusnya bos saja yang turun tangan!" tanggap yang satunya.
"Semua pasti beres kalau bos maju dan bertindak!" puji yang lain.
Semua pujian itu membuat si bos merasa senang, mereka segera menyiapkan pesta makan dan minum. Tak ada yang peduli dengan apa yang dirasakan oleh Aira, tak ada juga yang mengecek keadaannya seperti sebelumnya karena semua sibuk bersenang-senang.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Aira sudah mulai bisa menggerak, dia sudah bisa duduk dan jari-jemarinya pun sudah kuat menggenggam sesuatu. Namun sayangnya, gadis itu masih tak mau membuka mulutnya sama sekali. Wajahnya juga tak menunjukkan ekspresi apa pun, dia sudah seperti dinding batu, sangat berbeda dengan dirinya yang ceria sebelumnya.
"Makan ini dan cepat sembuh!" kata salah seorang anak buah si bos membawakan makanan yang mudah dicerna. "Sungguh merepotkan!" katanya lagi. "Awas saja kalau kamu tak bisa membayar kebaikan bos yang sudah membiarkan kamu tetap hidup?!" ancamnya yang sama sekali tak digubris Aira.
Aira tak menjawab, dia bahkan tak berpura-pura menjadi pendengar yang baik. Gadis kecil itu hanya memakan apa yang dibawakan tanpa mengeluh sama sekali. Entah itu beracun atau pun basi, dia sudah tak peduli. Dia juga terlalu malas untuk hidup, jadi malah bagus kalau dia mati begitu saja. Sayangnya karena janjinya dia tak bisa memilih kematian dengan mudah, dia harus bertahan hidup dengan cara apa pun. Itu ingatan terakhir yang dia simpan.
"Heh! Kalau ada yang bicara, kamu harus mendengar!" kata pria tadi menoyor kepala Aira.
Aira hanya menatap sekilas tanpa emosi, setelahnya dia kembali makan tanpa mengeluarkan suara. "Dasar bocah bisu!" maki pria tadi kesal melihat tingkah Aira.
"Oi, jangan berani meletakkan tanganmu ke mainan si bos," bisik temannya yang lain. "Kamu gak sayang sama tanganmu apa?" katanya lagi.
"Kalua kamu diam, gak akan ada yang tahu," balasnya melirik bosan.
"Kamu kira bis tak akan tahu hanya karena tak ada yang memberi tahunya?" kata temannya itu. "Kamu lupa kalau bos bisa tahu semua yang terjadi di sini?!" lanjutnya mengingatkan.
"Iya, iya!. Cerewet! Aku akan lebih berhati-hati ke depannya!" katanya mendengus kesal.
Setelahnya, setiap hari secara bergantian anak buah si bos mengantarkan makanan. Saat Aira sudah bisa bergerak dengan bebas, gadis itu dibawa untuk menemui bos mereka, tentu saja karena si bos itu yang memanggil dia untuk bertemu.
"Bos, dia ada di sini!" kata anak buah si bos yang mengantarkan Aira.
"Masuk saja!" tukas si bos dari dalam ruangan.
Aira menatap datar, terkesan berani dan tak kenal takut sama sekali. Berbeda dari tatapan anak seusianya, mungkin semua terjadi karena trauma yang dia alami. "Ho, aku suka tatapan itu!" kata si bos menarik sudut bibirnya. "Terkesan berani dan mampu melakukan apa pun!" lanjutnya lagi.
Hening, tak ada jawaban. Yah, dia juga tahu kalau itu yang akan terjadi. Aira tak pernah bersuara selama tinggal di sini. "Kalian boleh pergi! Tinggalkan kami!" titah si bos segera diikuti oleh para anak buahnya.
Tinggallah mereka berdua di dalam ruangan itu. Aira dan si bos saling menatap, tak ada yang berkedip bahkan saat waktu sudah cukup lama berlalu. "Khe-khe-khe, mau dilihat berapa kali pun, aku tetap suka dengan tatapan berani itu!" kata si bos terkekeh jahat.
"Oi, bocah!" panggil si bos pas Aira. "Aku yakin kamu paham yang aku katakan!" lanjutnya kemudian.
"Jadilah boneka cantik sekaligus senjata mematikan untuk aku, Raymond! Buat aku berdiri di tahta tertinggi dari bagian kejahatan di dunia ini!" katanya lagi. "Panggil aku MASTER untuk ke depannya, bocah!" tambahnya disertai seringai keji.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!