Sudah tiga hari lamanya Aira belum sadarkan diri juga. Gadis itu ditempatkan di sebuah ruangan kecil di lantai atas markas para penjahat. "Apa dia akan bangun?" tanya si bos untuk kesekian kalinya.
"Sepertinya bocah itu terlalu terkejut, bos," balas anak buahnya.
"Mungkin dia tak akan bertahan," kata yang lain acuh.
"Buang saja tubuhnya kalau dia mati, biar bisa jadi makanan para serigala yang kita piara," kata si bos tak peduli. Kalau mati ya sudah, buat saja dia lebih berguna. Tubuhnya kan bisa dibuat jadi makanan binatang yang mereka piara.
"Wah, bos memang benar-benar kejam, khe-khe-khe," kekeh anak buahnya yang mendapatkan titah barusan.
"Kalau tidak kejam, tak mungkin dia bisa menjadi bos!" timpal yang lain.
"Sudah jangan banyak bicara! Awasi saja anak cantik itu?!" kata si bos menghentikan tawa anak buahnya.
"Siap laksanakan, bos!!!" ucap mereka serempak. Mereka semua ke luar, meninggalkan sang bos tetap di dalam ruangannya.
"Dasar merepotkan," decihnya tapi pria itu malah tersenyum kecil.
Di luar, para anak buahnya yang disuruh mengawasi Aira sibuk bertanya-tanya tentang alasan apa yang membuat bosnya malah membawa bocah kecil ke tempat mereka. "Bos ingin berbuat apa sih dengan bocah itu?" tanya salah satu dari mereka.
"Mana kutahu," kata yang lain mengangkat bahu.
"Mungkin mau dijadikan pelayan," balas anak buah yang berperawakan paling tinggi.
"Kalau pelayan, lebih baik membawa yang sedikit lebih besar. Biar gampang disuruh-suruh!" ucap yang paling gempal menimpali.
"Siapa tahu bos ingin memanipulasi otak anak itu dengan banyak ketakutan?!" kata yang lain lebih masuk akal.
"Itu mungkin," tanggap yang lain setuju.
"Dia akan jadi boneka penurut yang cantik!" kekeh salah satu dari mereka membayangkan secantik apa bocah yang bos mereka bawa kalau sudah dewasa.
"Sebaiknya hapus pikiran liar yang kamu miliki sebelum kepalamu yang bodoh itu diledakkan bos!" kata rekannya mengingatkan agar tak macam-macam.
"Bisa-bisa matamu dijadikan koleksi oleh bos kalau kamu berani melirik mainan bos!" kata yang lain menimpali.
"Ugh, jangan bilang begitu, aku jadi merinding ini," katanya menunjukkan bulu-bulu lengannya. Tawa yang lainnya pecah, melihat rekannya ketakutan dengan kekejaman bos mereka yang dikenal sangat sadis.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Seminggu kemudian, mata gadis kecil yang tak sadarkan diri sejak sepuluh hari lalu itu akhirnya terbuka. Dia hanya diam tanpa bergerak, membuat suara pun sama sekali tidak. "Oh, sudah sadar rupanya," kata anak buah si bos yang sedang mengecek Aira. "Jangan pergi ke mana-mana! Aku mau melapor ke bos dulu!" katanya lagi kemudian bergegas pergi.
Si bos yang mendengar kabar itu terlihat senang, dia pun segera menghampiri ruang tempat Aira berada. "Ha-ha-ha, dia benar-benar bangun! Kukira dia tak akan bertahan dan mati," katanya tertawa keras. Aira sama sekali tak terganggu, gadis kecil itu hanya diam saja menatap lurus langit-langit kamar tanpa berkedip.
"Selamat, bos!" kata para anak buahnya ikut tertawa.
"Tapi, kenapa bocah itu diam saja?" tanya si bos heran. Mereka sudah membuat keributan, tapi bocah ini sama sekali tak terganggu.
"Kami juga tak tahu, bos!" aku para anak buah dengan cepat.
"Mungkin bocah ini terlalu takut hingga tak bisa bicara bahkan bergerak, bos!" kata salah satu dari mereka.
"Apa bukan karena dia syok?" timpal yang lain membuka suara.
"Dia hanya tak punya tenaga, mungkin?" kata yang lainnya lagi.
"Panggilkan seseorang yang bisa memeriksanya, entah dukun, dokter, atau siapa pun terserah," titah si bos gusar. "Aku tak ingin senjata sekaligus mainanku kenapa-napa?!" tukasnya lagi.
"Kami akan menjemput semuanya!" ucap tiga anak buahnya segera pergi.
"Senjataku yang cantik, dewi kematian di masa depan, karena kamu telah melewati kematian, maka buatlah keajaiban lain dan patuhi semua perintah dari AYAH mu ini!" kata si bos seraya mengulurkan tangannya, mengambil sejumput rambut Aira sambil tersenyum jahat. Dia membayangkan bagaimana kelompoknya di masa depan setelah dirinya berhasil menciptakan boneka cantik yang mampu menipu semua orang. Dia akan duduk di atas tumpukan uang. Kekuasaan akan selalu menyertai setiap langkahnya.
"Bos, saya membawa dokter!" kata salah satu anak buah si bos yang baru kembali.
"Ini dukun yang bisa saya temukan, bos!" kata yang lainnya yang baru datang.
"Saya mengundang dengan sopan seorang pendeta yang masih terjaga dari kuil di dekat sini, bos!" ucap yang satunya sambil tersenyum lebar.
"Periksa dia!" titah si bos menunjuk Aira.
Karena sang dokter yang pertama kali datang, maka dia jugalah yang duluan memeriksa. "Bagaimana?" tanya si bos tak sabar.
Si dokter menggeleng pelan. "Tak ada penyakit yang saya temukan!" jawabnya. "Gadis ini hanya kelelahan dan tak memiliki niat untuk hidup," kata si dokter lagi.
Si bos menggeram mendengarnya. Tak membantu sama sekali, itulah yang dia pikirkan. " Kamu! Periksa dia!" si dukun pun mendapat giliran untuk menunjukkan keahliannya.
Dimulai dari memasang banyak lilin, hingga menggunakan wewangian yang baunya sangat menyengat, kemudian disusul dengan kata-kata yang disenandungkan seperti puji-pujian, si dukun melempar sesuatu ke udara, entah apa itu. "Buruk, ini buruk!" katanya dengan mata terbelalak lebar. "Anak ini sudah tak memiliki jiwa!" katanya lagi menunjuk Aira.
Anak buah si bos sedikit risuh, berbisik-bisik tentang apa yang dikatakan dukun barusan. Apa mungkin seseorang tanpa jiwa bisa membuka mata seperti bocah yang mereka bawa itu. Rasanya sedikit tak benar, tapi otak mereka menerimanya begitu saja.
"Pendeta berjubah yang selalu bisa menyembuhkan semuanya, periksa dan sembuhkan bocah itu!" titah si bos tak puas hanya berhenti pada si dukun. "Aku tak peduli mau dia tak memiliki jiwa atau mau dia tak memiliki semangat hidup, aku hanya ingin dia bangun dan menjalani pendidikan yang ketat! Jadi lakukan tugas mu sebagai pendeta!" lanjut pria itu tak peduli bagaimana pun caranya, dia ingin Aira cepat sadar seutuhnya.
Si pendeta pun maju, menggantikan si dukun yang baru saja mundur ke belakang. Tak banyak yang dilakukan pendeta itu, dia hanya menyentuh dahi Aira sembari memejamkan mata. Mulutnya komat-kamit memanjatkan do'a-do'a, terus dan terus sampai cahaya putih menyelubungi tubuh mungil gadis kecil itu. "Biarkan anak ini beristirahat dengan tenang," kata si pendeta membuka matanya. "Aku akan menginap di sini hingga keadaannya membaik," lanjutnya lagi.
Sebagai pendeta dia memang membenci kejahatan, tapi bukan berarti dia akan membiarkan orang jahat terluka. Semua pasien sama di matanya, mereka harus dibantu tak peduli siapa dia sebenarnya.
Si bos mengangguk puas, dia mengizinkan pendeta itu tidur di kamar yang Aira tempati. Tentu saja itu dilakukan agar si pendeta lebih mudah memperhatikan keadaan Aira ke depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments