Bab 5 Malam pertama yang tertunda

Melinda menenggelamkan wajahnya di bantal. Hatinya sakit, sungguh! Kali ini lebih terasa sakitnya saat dengan jelas Rosa mengatakan kalau akan tetap mendekatkan anaknya dengan Cici meski ia sudah sah menjadi istri Candra.

Kalau saja sejak awal bilang, mungkin Melinda akan memilih mundur dan tidak melanjutkan pernikahan ini. Tetapi mungkin ini sudah rencana sang mertua agar membuat dirinya hancur berkeping-keping.

"Aku pulang." Candra menutup pintu kamar. Ia baru saja mengantarkan Cici ke rumahnya, dan sekarang waktunya ia menghabiskan waktu bersama dengan wanita yang sangat ia cintai.

Melihat Melinda diam saja, Candra merasa ada yang salah dengan gadis itu. Lembut dielusnya pundak sang istri. "Kamu marah?" tanyanya seolah tak punya salah.

Seandainya saja Melinda punya keberanian untuk berteriak pada laki-laki itu, pasti sudah ia lakukan sejak tadi. Sayangnya, ia hanya bisa menumpahkan air mata di atas bantal atas sakitnya hati karena perkataan mertuanya dan juga perlakuan Candra.

Ia seperti tak dianggap, baik oleh Rosa maupun Candra. Sejak pertama masuk ke rumah suaminya, belum sama sekali ia merasakan hangatnya keluarga yang dari luar tampak sempurna ini. Semua mengabaikannya, melupakan kehadirannya.

"Sayang maaf. Aku semalam harus ikut Mama menginap di hotel karena kemalaman. Masa aku tega membiarkan Mama dan Cici di hotel sendirian." Tangannya terulur, membelai sayang rambut Melinda.

Tidak tega membiarkan mereka di hotel tapi tega membiarkan ia sendirian di rumah. Padahal kemarin hari kedua pernikahan mereka, bukankah masih bisa disebut pengantin baru? Harusnya di umur yang baru beberapa hari mereka sedang panasnya menghabiskan waktu dengan saling memuja satu sama lain. Sudah sah kan?

Tetapi apa yang ia dapatkan? Hanya kesendiran dan sakit hati.

Melinda mengusap kasar air matanya, ia bangun dan menatap wajah Candra. Rasanya ingin menumpahkan semua masalah di dada laki-laki itu, tapi ia merasa percuma, karena pasti nanti ia akan kalah oleh hasutan mertuanya.

"Sekarang kita lanjutkan malam pertama kita, yuk!" Candra merentangkan kedua tangan. Berharap Melinda menyambutnya dan mereka bisa menikmati masa manis pengantin baru hari ini.

"Aku gak mood." Melinda turun dari ranjang dan meninggalkan suaminya sendirian. Ia masuk ke kamar mandi, menghabiskan waktu di sana meski hanya duduk melamun meratapi nasib di atas kloset.

Sejak itu sampai malam harinya, Melinda selalu menghindari Candra. Ia bahkan menyibukkan diri dengan kegiatan yang sebenarnya tidak terlalu penting, seperti mengelap daun di taman satu per satu. Aneh memang, tapi daripada ia harus melihat wajah Candra dan mengingatkan kembali dengan semua perkataan mertuanya yang membuat sakit hati, lebih baik memang menghindar, kan?

Rosa pun senang, akhirnya rencananya berhasil. Hanya tinggal menunggu waktu sampai anaknya dan wanita miskin itu berpisah. Senyum tak lepas dari bibir Rosa, bahkan ia tidak perlu lagi bersusah payah menyuruh Melinda mengerjakan pekerjaan rumah, dengan sadar diri wanita itu menyelesaikannya.

"Bagus! Tempatmu memang sebagai pembantu, bukan menantu!" sindirnya puas. Ia tengah melihat Melinda mengepel lantai manual, tidak dengan alat mahal seperti yang biasa dilakukan oleh asisten rumah tangganya yang lain.

Melinda tidak menimpali, ia tetap diam dan mengabaikan mertuanya. Sekuat tenaga ia bertahan, entah sampai kapan.

Terhitung sudah tiga hari Melinda mendiamkan Candra. Ketika malam pun ia lebih suka memunggungi lelaki itu. Malam pertama pengantin yang tertunda semakin tertunda lama.

"Sayang aku sampai lupa." Di hari ke empat, Candra mendekati Melinda dan memberikan oleh-oleh yang dibelikan untuk sang istri ketika ia ke kota bersama dengan Mama dan Cici dulu.

Melinda mengabaikan Candra, ia memalingkan wajah saat lelaki itu menyodorkan satu bag kepadanya.

"Udahan dong marahnya, kan aku udah minta maaf." Dipeluknya sang istri yang masih manyun.

"Kamu menyebalkan." Melinda merajuk. Mendiamkan suaminya selama itu bukannya membuat hatinya lega, tapi malah semakin tersiksa.

"Iya aku tahu." Dipeluknya sang istri dengan erat. "Maaf, Sayang."

"Kenapa kamu gak peka sih? Dasar laki-laki."

"Makanya itu aku gak suka laki-laki, soalnya dia gak peka, nyebelin lagi." Candra meringis.

Melinda menoleh. "Kalau kamu suka laki-laki aku yang gak mau."

Mereka tertawa lepas. Kebekuan yang beberapa hari melingkupi hubungan mereka akhirnya cair. Melinda menyandarkan kepalanya di dada sang suami. Ia merasa beruntung karena Candra ternyata masih menghargainya sebagai seorang istri. Mungkin kemarin Candra dekat dengan Cici karena keinginan mamanya, bukan atas keinginan Candra sendiri.

Lingeri merah yang dibelikan Candra kemarin ketika di kota dipakainya. Ia merasa malu saat berkaca dan melihat pantulan tubuhnya yang 90% terbuka.

"Sayang kok lama." Candra mengetuk pintu kamar mandi karena Melinda yang tak kunjung keluar.

"Bentar," teriak Melinda dari dalam kamar mandi. Ia malu keluar dengan pakaian seperti ini di depan Candra. Biar bagaimana juga ini kali pertama ia tampil terbuka di hadapan lelaki.

"Sayang, aku udah gak sabar. Kalau gak keluar aku dobrak nih!" ancam Candra.

Melinda kebingungan. Ia ragu melangkahkan kakinya ke pintu.

"Aku hitung sampai tiga, ya. Gak keluar aku dobrak."

Melinda sudah memegang handle pintu kamar mandi.

"Satu ...."

Gadis itu mengingit bibirnya risau. Bagaimana nanti ia harus berisikap di depan Candra.

"Dua ...."

Wajah Melinda memerah. Ia harus bagaimana sekarang?

"Tiga ...."

"Aku keluar sekarang," ujar Melinda panik.

Ceklek.

Pintu terbuka. Melinda berdiri sambil menunduk. Rambutnya diurai.

Candra melongo menatap Melinda dengan balutan lingerie merah menyala. Sangat menggoda sekali. Ia menelan ludah kasar.

"Kamu ... cantik sekali. Sempurna." Air liurnya hampir menetes melihat istrinya kali ini.

"Aku malu." Melinda menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Mereka semakin mendekat, dengan seluruh rasa yang membuncah di dada, dua insan bersatu dalam manisnya cinta yang halal. Tidak hanya sekali, tapi mengulangnya berkali-kali sampai pagi.

Wajah keduanya bersinar ketika pagi harinya mereka duduk di meja makan sarapan berdua. Rosa belum pulang, ia pergi ke tempat saudaranya kemarin. Ia berpikir kalau anak dan menantunya tidak akan pernah bersatu lagi karena dirinya sudah mengatakan kepada Melinda kalau Candra masih menyukai Cici.

Tapi rupanya semua yang ia harapkan tidak menjadi kenyataan. Rosa terkejut ketika pulang melihat anak dan menantu tak diharapkannya tampak tambah hangat dan saling memandang mesra. Bahkan Candra tak segan membantu Melinda menyapu halaman.

"Candra! Ngapain kamu nyapu?" Rosa merebut sapu itu dan melemparkannya asal. "Ke mana Mina? Kenapa kamu yang mengerjakan pekerjaan ini?" tanyanya geram.

"Ma, udah pulang?" Candra tersenyum pada mamanya. "Aku hanya membantu istriku mengerjakan pekerjaan rumah, kasihan Melinda kalau mengerjakan semua sendiri."

"Ngapain dia kerjakan sendiri? Pembantu dibayar untuk mengerjakan pekerjaan bersih-bersih." Ia bahkan lupa kalau seminggu yang lalu menyuruh Melinda mengerjakan pekerjaan rumah yang biasa dikerjakan pembantu.

"Sudahlah, Ma. Kita masuk yuk! Tadi Meli masak ikan asam manis loh, Ma." Candra membanggakan istrinya di depan mamanya.

Melinda tersipu. Perhatian sekecil ini saja bisa membuat ia merasa berbunga-bunga, apalagi kalau sampai mendapat perhatian yang lebih lagi. Diterima sebagai anggota keluarga ini misalnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!