Sejak pagi setelah suaminya kembali bersama Cici, lelaki itu sama sekali belum menyapanya mesra, hanya sapaan biasa. Candra sibuk dengan Cici dan mamanya, sedangkan Melinda hanya bisa berdiam diri di kamar karena semua pekerjaannya sudah selesai. Seluruh tubuhnya pegal, apalagi ini kali pertama ia bekerja tanpa sempat sarapan dulu, bahkan minum segelas air saja tidak sempat.
Air mata Melinda luruh setelah jarum jam menunjukkan pukul setengah satu siang. Suaminya belum juga menemui dirinya, sekedar menanyakan sudah makan apa belum pun tidak. Ia sampai berpikir ribuan kali, apa ia dianggap istri di rumah ini? Entahlah.
"Heh, bagun! Rapikan meja makan!" Rosa menendang kaki Melinda yang menjuntai ke lantai.
Dengan tergagap Melinda bangun. Pening langsung menyergap kepalanya. Selain sejak pagi perutnya belum terisi apa-apa, juga karena ia bangun dalam keadaan kaget.
"Jangan malas! Kamu harus sadar diri posisimu di rumah ini!"
"Tapi aku–"
"Mau bantah, hah? Apa kamu mau menjadi janda di hari kedua menikah? Kalau iya, aku akan kabulkan saat ini juga!" Rosa tersenyum sinis, ia merapikan pakaiannya lalu menatap Melinda lagi. "Kami mau ke kota, kamu jangan lupa pekerjaan. Siapkan makan malam buat kami nanti!"
Selesai mengatakan itu, Rosa keluar dari kamar Melinda. Ia sengaja mengajak Candra dan Cici untuk pergi tanpa mengajak Melinda. Tujuannya tentu saja untuk mendekatkan Cici dan anaknya.
"Ayo berangkat keburu sore. Oh iya Cici kamu duduk di depan, ya. Biar Mama yang di belakang." Rosa mendorong punggung anaknya. "Cepatlah, Nak! Kamu mau malam pertama yang tertunda semalam hari ini tertunda lagi?" goda Rosa.
Semalam memang ia tidak membiarkan Candra kembali ke kamar Melinda. Ia beralasan pusing dan lemas hingga minta didampingi anaknya sampai pagi. Rencana untuk membuat malam pertama anaknya gagal telah berhasil. Kali ini ia juga berencana untuk membuat malam kedua pengantin baru itu gagal lagi.
"Harusnya kita ajak istriku sekalian, Ma. Jadi biar nanti Melinda pilih sendiri kado yang dia mau." Candra masih bersikeras untuk mengajak Melinda pergi.
"Kalau Melinda milih sendiri namanya bukan kado dong," ujar Rosa sambil terkekeh. "Udah, yang penting setelah membuka kado itu nanti istrimu senang."
Rosa sudah menyusun rencana untuk hari ini, dan ia pastikan rencana itu berhasil.
Setelah ketiga orang itu pergi, Melinda tertatih menuju ke ruang makan. Piring bekas makan masih ada di atas meja. Sekali lagi hatinya nyeri. Ia seolah tak dianggap. Ia benar-benar bukan diperlalukan seperti seorang menantu di rumah ini.
"Loh Nyonya Muda mau apa?" Mina yang baru masuk ke ruang makan melihat Melinda mengangkat piring-piring ke wastafel. "Jangan, Nyonya duduk saja. Ini biar saya yang mengerjakan."
"Jangan, Bi. Nanti Mama bisa mecat Bi Mina."
"Nyonya sudah pergi bersama dengan Tuan dan Nona Cici, jadi tidak bakal tahu kalau saya yang ngerjain. Eh, Nyonya Muda sudah makan?"
Melinda menggeleng lemah.
"Astaga." Mina dengan cepat mengambilkan nasi dan lauk yang tersisa untuk diberikan kepada Melinda. Mina merasa kasihan kepada nyonya barunya yang diperlakukan semena-mena oleh Rosa.
Melinda menghabiskan makanan itu dengan lahap. Setelahnya ia kembali ke kamar dan istirahat. Semua pekerjaan Mina yang mengerjakan karena memang tugasnya.
Pukul tujuh malam Melinda sudah siap di meja makan dengan banyak masakan di meja. Sebelum mertuanya pergi tadi ia disuruh menyiapkan makan malam, dan ia pun tidak berani menolak. Tetapi sampai pukul sepuluh malam, ketiga orang yang pergi ke kota itu belum juga kembali.
Mina yang melihat Melinda menunggu sejak tadi merasa kasihan, ia sudah berkali-kali menyuruh Melinda makan terlebih dahulu, tapi ditolaknya karena tahut kalau sampai Rosa marah.
Pagi harinya Melinda terbangun di sofa ruang tamu. Ia menunggu suaminya semalaman dan sampai pagi harinya belum juga pulang.
"Assalamualaikum."
Melinda menoleh, dilihatnya ketiga orang yang sejak kemarin pergi ke kota itu masuk rumah dengan senyum sumringah.
"Nak, kamu antar Cici pulang dulu, ya. Kasihan semalaman dia bersama kita di hotel." Rosa sengaja mengeraskan suaranya ketika tahu kalau Melinda berada di sana.
Melinda langsung menyimpulkan kalau mereka bertiga semalaman menginap di hotel. Sakit di hatinya semakin terasa. Padahal ia semalaman menunggu sampai tidak makan.
Candra menuruti permintaan mamanya. Ia hanya mengelus kepala Melinda sekilas dan menyunggingkan senyum manis.
Tapi senyum itu membuat Melinda semakin terluka.
"Kami semalam menginap di hotel. Cici dan Candra mengobrol sampai larut malam. Entah mereka ngobrolin apa, karena aku langsung tidur begitu sampai di hotel." Rosa mulai memprovokasi Melinda.
Melinda menelan ludah kasar.
"Mereka cocok sih, dari keturunan juga setara, pendidikan juga. Jadi gak sabar pengen Cici jadi menantu di rumah ini."
Melinda tercengang. Apa tadi mertuanya bilang? "Ma, maksudnya apa?" tanyanya lirih.
"Apa kuping kamu budeg? Enggak, kan? Aku sudah lama menginginkan Cici jadi menantu. Mereka sejak awal memang dijodohkan, sayangnya Candra malah memilih wanita miskin dan tidak setara dengan keluarga kami seperti kamu." Rosa membongkar barang yang dibelinya di kota. Ada baju, make up dan masih banyak lagi.
"Tapi ... bagaimana bisa Mama mengatakan itu di saat aku dan Mas Candra sudah menikah? Aku istri sahnya Mas Candra loh, Ma." Melinda mencoba mengingatkan tentang statusnya.
"Hanya status. Nyatanya Candra masih mencintai Cici, jadi sebagai orang tua, aku akan mendukung apa pun yang diinginkan anakku."
Dengan ujung jari Melinda mengusap sudut mata. "Lalu kenapa Mama membiarkan Mas Candra menikahiku kalau akhirnya Mama ingin Mas Candra bersama Cici?" desis Melinda lirih. Ditekannya dada yang sesak. Meskipun Rosa sudah memberitahu alasannya tapi gadis itu seperti ingin mempertegas kembali.
Meski lirih, tapi Rosa bisa mendengar apa yang dikatakan oleh menantu yang tidak diinginkannya tersebut. Rencananya berhasil, yaitu membuat Melinda menyadari kalau kehadirannya di rumah ini tidak diinginkan.
"Aku sudah berkali-kali bilang, kalau aku akan mendukung semua yang dilakukan anakku dan memberikan kamu pelajaran. Urusan aku tidak suka dan benci seperti pernikahan kalian misalnya, aku akan mencari cara untuk membuat kamu sadar dan melepaskan Candra. Tentu saja tidak sampai membuat Candra membenciku dong." Ia menatap Melinda." Dan kalau kamu sudah sadar, harusnya tahu apa yang harus kamu lakukan, kan?"
Melinda menunduk, tidak menjawab mertuanya.
"Surga ada di telapak kaki ibu, dan anak laki-laki sampai kapanpun akan menjadi milik ibunya. Meski kamu menjadi istri Candra, jangan harap kamu bisa membuat dia melupakan ibunya."
Melinda tidak pernah berpikir seperti itu, sungguh! Ia bahkan kaget ketika mertuanya mengatakan kalimat tersebut. Malah Melinda berharap mereka bisa hangat seperti ibu dan anak kandung, tidak ada celah, dan tidak berniat memisahkan apalagi membuat suaminya meninggalkan ibunya. Sama sekali tidak terlintas di dalam pikiran Melinda.
"Kamu harus ingat ini, aku tidak akan pernah menerima kamu di rumah ini sampai kapanpun!" pungkas Rosa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Dewi Ara Kusuma
candra mesi kaya balita yg mesi butuh air susu emaknya
2023-04-02
0
rara
kesel sama si Candra. bisa-bisanya nurut begitu saja sama Mak nya. apa jangan-jangan kl0 suruh nyebur ke laut ia langsung nyebur. ihh ... kesel
2023-03-14
0
Lulaby
si candra nurut2 aja isshhh
2023-03-13
0