“Aku punya prinsip agar segera membalas budi pada orang yang telah menyelamatkan nyawaku, dengan cara yang sama.”
“Menjadi pedang, perisai atau tanganmu itulah yang aku lakukan mulai sekarang,” imbuh Akashi.
Akashi, si tangan merah. Pria ini berniat mengikuti Akio namun Akio jelas-jelas tidak menginginkannya. Namun karena Akashi tidak pandai membaca, Akio kemudian memberikan sebuah isyarat.
“Apa maksudmu?” tanya Akashi.
Akio menunjuk ke sampingnya, menunjuk ke kota.
“Aku tidak merasakan keberadaan yang mengancam selain kakek cebol itu,” ucap Akashi.
Akashi benar-benar tak mengerti bahwa isyarat Akio barusan ialah mengusirnya dari sini. Lantas Akashi kemudian duduk di sebelahnya.
“Hei, bagaimana? Tidak apa 'kan? Aku akan mengikutimu sebagai pedangmu, kupikir itu tidak buruk. Karena secara langsung kau tak melakukannya.”
Akashi menyombongkan diri pada Akio yang tidak bisa bertarung, berpikir bahwa jika Akashi menjadikan dirinya sebagai pedang Akio akan membuatnya senang, tanpa tahu perasaan Akio yang sebenarnya.
“Hei, kau tidak mau berbicara sepatah kata pun? Aku bosan sekali. Ah, kupikir kita akan berjalan-jalan lagi? Aku ingin makan juga,” gumam Akashi.
Pria yang tiba-tiba berada di sini, dan nekat mendekati Akio meski tahu pawangnya lebih ganas. Hanya Akashi seorang yang bisa seperti ini. Namun, meski tubuh luarnya nampak seperti manusia pada umumnya, entah mahluk apa si Akashi ini karena tangan merah yang dimilikinya.
Akio yang penasaran lantas memegang tangan merah tersebut.
“Hei, jangan sentuh!” Tiba-tiba Akashi berteriak, ia menepis tangan Akio yang baru saja memegang tangan merahnya.
“Aku terlalu sensitif jika seseorang memegang tangan yang kulitnya aneh ini. Tapi, kalau Tuan Akio menginginkannya, maka seharusnya aku tidak boleh menolak bukan?”
Akashi menyodorkan lengan itu lagi padanya, namun bukan hanya disentuh saja Akio justru menebasnya tanpa ampun.
“GYAAA!!! APA-APAAN ITU?! APA YANG KAU LAKUKAN?!”
Di samping Akashi mengamuk karena tangannya ditebas begitu saja, sejenak Akio mengamati cara tangan itu memulihkan dirinya. Serat-serat otot, kulit dan tulang yang menjulur keluar itu lantas menyatu dengan tangannya. Warna merah terang itu sama sekali tidak berubah, termasuk kuku-kuku yang panjang berwarna hitam itu.
“Sakit tahu!”
Akio menjawabnya dengan anggukan.
“Jangan hanya menggangguk! Bukankah seharusnya kau minta maaf?”
Benar apa yang dikatakan oleh Akashi. Maka sudah jelas Akio secara tak langsung mengungkapkannya, ia menulis kalimat permintaan maaf di tanah.
“Dibilang aku itu tidak bisa membaca!”
Pada akhirnya semua jalur komunikasi tidak ada yang cocok. Akashi dan Akio sama sekali tidak bisa berkomunikasi, terlebih keduanya memiliki sifat yang sama. Meski tidak terlihat jelas, bahwa Akio sedang marah.
“Grrr, menyebalkan! Aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara agar kita bisa saling mengobrol! Ah, sudahlah! Aku mau tidur!” Akashi menggeram persis seperti binatang buas.
Karena emosional, Akashi akhirnya kembali masuk ke dalam. Ia berbaring di sembarang tempat dengan wajah kecut menahan kesal.
“Malam, Tuan Akio. Lebih baik kau cepat-cepat tidur jika tidak mau diserang oleh yokai,” kata Akashi.
“Justru kau yokai yang seharusnya tidak masuk ke dalam, dasar,” gerutu si kakek. Ia berkomentar saat dirinya masih berada di atap rumah.
Terlihat ia masih kesal pada Akashi, terlebih sekarang orang itu sedang tertidur.
“Yokai seperti dia berniat menjadi pedang Akio? Apa yang dibicarakan olehnya? Dia cuman bocah yang tidak tahu apa pun soal seni berpedang,” celoteh si kakek yang terus mendecak kesal setiap detik.
***
Keesokan harinya, seperti biasa, Akio pergi meninggalkan rumahnya untuk berkeliling ke setiap wilayah di Shinpi-tekina. Tetapi, kakek bertopeng tengu menghalanginya.
“Kau akan pergi ke kota lagi?”
Akio menganggukkan kepala.
“Lalu kau mau apakah bocah yokai itu? Dia terlihat benar-benar akan mengikutimu. Bahkan mungkin untuk selamanya,” ujar si kakek yang masih keberatan dengan keberadaan Akashi.
Akio menjawabnya dengan tulisan di tanah, "Aku sudah mengusirnya pergi tapi dia tidak mengerti."
“Hm, seperti biasa kau payah. Yah, beruntungnya kau tidak langsung menghajar dia. Terlebih jika menggunakan pedangmu, maka aku akan benar-benar memotong tanganmu yang berharga.”
"Jika aku melakukannya, maka selanjutnya aku akan dibunuh." Tepat setelah menuliskan kalimat tersebut, segera ia menghapusnya lalu pergi begitu saja.
“Akio, tepati janjimu. Dilarang berbicara dan dilarang bertarung.”
Akio sekali lagi menganggukkan kepalanya.
Setelah beberapa saat, matahari sebentar lagi akan meninggi hingga di atas kepala. Pria yang tidak pernah membersihkan badannya dan gemar mencuri buah-buahan akhirnya terbangun dari tidur pulasnya.
“Hoaam! Aku jadi segar!” Akashi menguap lebar seraya merenggangkan setiap anggota tubuhnya.
Butuh beberapa menit hingga akhirnya ia sadar kalau Akio sudah tidak ada.
“Eh? Dia di mana?!”
Terkejut sekaligus panik, ia pun jadi bingung harus bagaimana namun kemudian ia teringat akan sesuatu. Akashi lantas mengendus baunya melalui tempat yang biasa digunakan Akio untuk duduk.
“Aku bisa tahu melalui indera penciumanku. Jadi seharusnya aku bisa langsung tahu ke mana Tuan Akio pergi, kha! Kha!” Akashi tertawa.
Ia menemukan bau Akio yang terendus ke arah perairan sungai yang letaknya sangat berjauhan dari pegunungan ini. Segera ia pergi untuk menyusul tuan-nya.
“Memangnya dia itu anjing ya?” celetuk si kakek.
***
Akio sedang berada di wilayah klan Mizunashi, perairan sungai yang jarang dilewati banyak orang begitu juga dengannya. Tempat ini terlalu sepi karena arus deras yang akan menghanyutkan siapa pun begitu masuk ke perairan sungai itu. Belum lagi bebatuan yang menukik tajam akan langsung menewaskan seseorang yang hanyut dalam hitungan detik.
Seharusnya begitu.
“Ah ...siapa?”
Seseorang, seorang wanita sedang berendam dalam sungai tersebut, sekarang ini juga. Nampaknya ia sedang mandi di sungai tanpa tahu apa yang akan terjadi apabila dirinya terlalu lama di sungai itu.
“KYAAA!!! SIAPA KAU?!”
Secara kebetulan Akio melihat punggungnya, rambut yang digulung rapi kini sepenuhnya tergerai lantas wanita itu hendak menutupi bagian tubuh atasnya. Kedua-duanya sama-sama terkejut, reflek mereka berdua berbalik badan ke arah yang sebaliknya.
Akio nyaris saja melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat. Betapa canggungnya perasaan ini.
“Eh, wanita? Mana mungkin,” sahut Akashi yang tiba-tiba saja sudah berada di dekat Akio.
“Tunggu, kalian berdua sedang apa?! Mengintip seorang wanita yang sedang mandi? Pergilah!” amuk wanita itu.
“Tuan Akio, aku merasa dia bukan wanita tapi juga bukan pria. Mungkin nenek? Atau kakek?” pikir Akashi seraya menunjuk wanita itu.
“Dasar tidak sopan! Aku ini wanita dan kalian malah seenaknya melihatku, dasar tidak tahu malu!”
“Memangnya kau benar-benar wanita? Coba sini kupegang dadamu, agar aku tahu kau ini wanita atau bukan.” Akashi meminta untuk menunjukkan bukti, bahkan sekarang dirinya sudah berada dekat dengannya sambil menyodorkan tangan.
“Hah!? Apa yang kau bicarakan!?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments