Suara berat dan serak, sedikit menggaung karena topeng yang dikenakannya. Ini adalah kali pertama bagi Akashi, mendengar suara Akio yang berada di dekatnya saat ini.
“Eh, kupikir dia bisu.” Pun tak sengaja menceploskan kalimat yang seharusnya ia katakan dalam benak.
“Oh, akhirnya kau bicara juga. Apa sekarang kau akan mengatakan alasanmu melindungi dia?”
“Dia manusia. Kenapa aku harus membunuhnya?”
Kakek itu terkejut. Mendengar bahwa Akio menganggap Akashi adalah manusia dan bukannya Yokai.
“Akio, sepertinya kau mulai buta.”
Meski suara kakek terdengar semakin rendah, namun bukan berarti emosinya juga akan mengikuti. Tepat setelah ia mengencangkan pegangannya pada gagang pedang, ia melepaskan topeng tengu itu dengan kasar.
Memperlihatkan wajah berkeriput tua dan kerutan di dahinya semakin terlihat jelas ia sedang marah.
“Akio, sepertinya aku harus mengajarimu dengan baik!”
Pedang pendek diayunkan dari arah kiri ke kanan, niat membunuh sudah terasa begitu jelas. Atau mungkin mengincar tangan Akio, jujur Akio sendiri masih belum tahu.
Tetapi, Akio berusaha menjauhkan bilah pedang itu dari Akashi dengan mendorong tubuhnya. Lalu Akio melangkah maju dengan tangan kanan yang mengepal.
“Murid bodoh! Kau berniat melawan gurumu!”
JDAK!!
Kakek menghantamkan kepalanya sendiri pada kening Akio, meski tertahan karena topeng namun dampaknya masih terasa begitu kuat. Belum selesai sampai saat itu juga, Akio mendapat pukulan keras langsung mengenai dagu.
“Wah, apa-apaan itu? Kakek kecil itu ternyata sekuat ini. Ta-tapi ...aku tidak berniat bertarung dan juga aku bukan yokai.”
Akashi mendadak ketakutan, karena menghadapi pertarungan gila semacam ini. Dirinya tak menyangka bahwa ia akan terlibat sejauh ini namun tekadnya sebagai seorang manusia tak pernah luntur, karena seburuk apa pun dirinya, ia harus berbalas budi pada orang yang telah menolongnya. Itulah prinsip Akashi.
“Aku manusia! Jadi kenapa aku harus dibunuh?” sahut Akashi yang kemudian menghentikan pertarungan murid-guru itu.
“Bicara seenaknya saja kau ini!” Karena perhatiannya teralihkan, jadi si kakek mengincar Akashi. Ia melempar pedang ke arahnya dengan amarah menggebu-gebu.
Tapi, Akio lagi-lagi menghalangi. Ia menangkap pedang pendek itu sebelum terlempar jauh menuju target.
“Kau yokai yang tidak tahu malu! Bagian mana kau yang adalah manusia! Malam kemarin adalah bukti, bukti bahwa kau adalah Yokai!” ungkap kakek.
Akio kini menahan langkah si kakek yang hendak menghampiri Akashi. Terlihat dan dapat dirasakan dengan jelas bahwa kakek itu sangat ...sangat ingin membunuhnya.
“Kemari kau! Akan kubunuh kau lalu aku akan memotong tangan Akio!” teriaknya.
“Kakek! Aku ini manusia! Orang ini juga bilang padaku!” Akashi kembali menyangkal.
“Maksudmu apa?! Hei, Akio! Bunuh dia! Kita tidak boleh membiarkan satu pun yokai hidup-hidup!”
“Apa? Dibilang berapa kali pun percuma saja ya? Astaga seburuk itu kah aku?”
Akashi ketakutan karena dapat merasakan kebencian luar biasa dari si kakek tersebut. Berbeda dengan si kakek, Akashi sama sekali tak merasakan adanya permusuhan maupun persahabatan dari Akio.
Pertarungan singkat antara guru dan murid sebelumnya pun dapat Akashi rasakan dengan jelas bahwa Akio sama sekali tak berniat membunuh.
“Apa-apaan dengan penduduk di negeri ini?”
“Harusnya aku yang tanya kenapa yokai oni sepertimu bisa ada di sini?!”
Keduanya saling bersahut-sahutan semenjak Akashi memotong alur pertarungan antara guru dan murid serta mengungkapkan dirinya sebagai manusia bukan yokai.
“Hei, Akio! Jika kau ingin tanganmu selamat, maka bunuh dia! Anggap ini sebagai penebusan dosamu atas melindungi yokai seperti dirinya!”
“Hentikan itu kakek cebol! Aku datang kemari bukan untuk menyakiti kalian, melainkan aku datang karena ingin membalas budi pada samurai sepertinya,” ungkap Akashi dengan berani.
Akio hanya menggelengkan kepala. Kakek yang kecewa karena mendengar jawaban omong kosong seperti itu, lantas ia pergi dengan amarah tersisa.
Sesaat sebelum kepergiannya ia sempat mengucapkan beberapa patah kata pada Akio.
“Terserah kau yang mau merawat anak itu atau bagaimana. Jika esok hari kau sudah dibunuh olehnya maka aku takkan memakamkan dirimu, justru aku akan membakar jasad dan rumah ini sekaligus!”
Peringatan yang diucapkan oleh kakek bukanlah hanya sekadar ancaman, ia akan benar-benar melakukannya sebagaimana ia telah mengatakannya. Tak jauh berbeda dengan omongan Akio, yang menyatakan bahwa Akashi adalah manusia.
Si kakek tertidur di atap rumah ini, sedangkan Akio sendiri tengah duduk di luaran pintu guna menenangkan dirinya sejenak.
“Maafkan aku. Aku tidak tahu siapa aku sebenarnya, dan bahkan kau telah menyelamatkanku. Setelah banyak merepotkan tetap saja ...pokoknya terima kasih juga.”
Akashi masih berada di sana dengan sifat yang seolah dirinya adalah pengecut. Namun ia adalah si tangan merah yang rumornya menyebar sama luas seperti rumor samurai oni. Mau manusia ataupun yokai, Akio pun tak peduli akan hal itu.
Kehidupannya yang sudah lama dijalani sebagai samurai ronin yang terbuang, hidup di puncak gunung ini. Beruntung ia tak sendirian karena ada gurunya, namun Akio tidak betah berlama-lama berdiam diri rumah karena itulah ia selalu keluar setiap pagi hingga senja datang.
Rutinitas seperti biasa ini kemudian dipatahkan oleh sosok pria tak masuk akal, yang memiliki tangan merah seperti oni itu sendiri, pria itu menyebut dirinya Akashi.
Yang memiliki sifat kasar, keras kepala, temperamental, dan segala tentangnya dikenal sangat buruk sama persis seperti Akio sewaktu dulu.
Namun, kini Akashi meminta maaf dan juga berterima kasih pada Akio yang telah menyelamatkan dirinya.
“Aku sungguh minta maaf dan terima kasih. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara aku membalas budi padamu. Aku harus bagaimana?” tanya Akashi.
Akashi melihat Akio tengah menuliskan sesuatu di atas tanah dengan sebatang kayu pengganti pena. Kalimat yang bertuliskan, "Tidak apa-apa. Kau pergilah dari sini. Sekarang juga."
Akashi melihat tulisan itu dengan serius, namun arah bola matanya tertuju pada pria yang ada di dekatnya.
Lantas berkata, “Aku tidak bisa membaca tahu.”
Setelah mendengarnya, Akio langsung membuang sebatang kayu tipis itu lalu menghapus tulisannya dan kemudian duduk menyandarkan punggungnya ke tepian pintu.
“Hei, jangan diam saja. Tadi aku mendengarmu berbicara tahu! Masa' kau sama sekali tidak mau berbicara hanya karena kakek cebol itu menyuruhmu untuk tidak berbicara?”
Akashi menggerutu seraya menunjuk Akio yang hanya berlipat lengan ke depan dada tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Oh ya, kalau tak salah kakek cebol itu memanggilmu Akio. Terima kasih, Akio,” ucapnya sekali lagi seraya berpaling dan menggaruk belakang kepalanya.
“Aku juga mendengarnya dari kakek cebol, tentang kau yang tidak diijinkan menggunakan pedang untuk bertarung, jadi ...,”
Akashi menjeda kalimatnya sebentar, bukan karena lidah yang kelu melainkan karena ia sedikit ragu mengatakannya.
“Aku akan menjadi pedang, perisai maupun tanganmu mulai sekarang, Tuan Akio.” Akashi berkata sembari dengan jari yang tetap menunjuk Akio.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments