Setiap malam Shinpi-tekina akan kedatangan banyak yokai terkutuk, di setiap sudut wilayah hingga masuk ke dalam rumah. Itulah mengapa setiap klan akan bekerja sama tuk berkeliling bersama para penegak hukum guna memberantas para yokai.
Dulu, negeri ini tak seperti ini. Itulah kalimat yang diutarakan oleh para pendiri negeri yang terdiri 10 klan tertinggi. Namun, beginilah jadinya. Negeri yang bersih, segar dan hangat berubah menjadi negeri yang penuh akan malapetaka.
Setiap malam mereka akan diteror oleh banyak yokai terkutuk. Tidur pun akan terjaga setiap detik karena ketakutan.
“Akio, jawablah.”
Lalu, sekarang yang ada di depan dua samurai ini adalah mahluk setengah-setengah. Setengah manusia dan yokai, mereka rasa begitu.
Si kakek bertopeng tengu tentu ingin membunuhnya namun entah dengan alasan apa sehingga membuat pria bertopeng oni melindunginya.
Akashi si tangan merah lantas pergi karena ia pun mulai takut dengan dirinya sendiri.
“Akio, kau membiarkannya pergi?”
“Akio, jawablah! Aku mengizinkanmu untuk berbicara tapi kau sejak tadi tidak berani membuka mulutmu!?”
Berulang kali si kakek meninggikan suaranya, berteriak keras di dalam rumah sepetak itu guna mendapatkan jawaban dari muridnya yang telah melanggar sesuatu.
“Akio! Kau mungkin adalah samurai tak bertuan karena Shogun Hatekayama mengusirmu. Namun jangan lupakan perjanjian di antara keluarga kita, kau diperintah untuk tidak mengangkat pedang sungguhan,” ungkapnya.
Langkah yang berat dari kaki sekecil itu bergerak menjauh, sedikitnya genangan darah mengenai telapak kaki berkeriput itu hingga membuat jejak di tatami.
“Aku biarkan pedangmu berkarat di atas atap sampai dua tahun lamanya. Lalu aku berikan pedang kayu namun bukan untuk bertarung. Sebenarnya apa yang kau lakukan sampai kau harus turun tangan sendirian?” ujarnya.
Tak ada jawaban sepatah kata dari si samurai ronin itu. Seolah lidah kelu, tanggapan apa pun mungkin akan tertelan sebelum diucapkan.
“Boleh saja kau menggunakan pedang kayu untuk melindungi warga dari para yokai terkutuk. Tapi apa yang aku dengar malam ini?”
Kakek yang sudah lama membalikkan badan dan menengadahkan kepala ke langit kini kembali berbalik dan menatap tajam pada samurai bernama Akio itu.
“Yokai-oni datang dan berkata bahwa kau telah melindunginya. Coba katakan, bahwa dia salah, Akio!”
Sebenarnya si kakek pun tidak mempermasalahkan Akio untuk menggunakan pedang kayu, terlebih jika alasannya adalah alasan yang mulia seperti melindungi. Namun mata sang kakek tak pernah salah, sejauh apa pun ia pasti akan melihat apa yang dilakukan Akio.
Tak hanya melihat, bahkan mendengar pun juga. Kakek bertopeng tengu itu terus menjelaskan apa kesalahannya yakni melindungi mahluk setengah-setengah itu.
“Dilarang bertarung, sekali kau menggunakan ilmu berpedangmu maka tanganmu akan aku potong. Kedua, dilarang berbicara dan jika kau melanggar itu maka aku akan memotong lidahmu.”
Belum selesai ia berbicara, kakek menatap kesal pada muridnya yang sama sekali tak menghadap ke arahnya. Seolah acuh.
“Tapi kau boleh melakukan dua hal itu asalkan aku memberimu izin. Seingatku itu yang aku katakan. Dan sejak kapan kau mulai berkeliaran, hah?”
Sama sekali tak ada sepatah kata terdengar. Akio sepenuhnya bungkam tanpa menunjukkan ekspresinya langsung. Namun kakek tahu apa yang sedang ia tahan, ia melihat cara Akio mengepalkan kedua tangannya di atas paha.
“Kau marah.”
Kakek itu mengungkap bahwa Akio sedang marah, ya itu terlihat sangat jelas karena Akio mengepalkan kedua tangannya dengan kuat.
“Hah! Sampai sekarang kau tidak mau berbicara! Terserah kau!”
Nampaknya kakek mulai menyerah dengan Akio. Ia berjalan keluar dari rumah ini, tanpa mengatakan apa pun lagi. Sendiri ia meninggalkan Akio yang tengah terduduk entah menatap ke arah mana.
***
Sampai fajar menyingsing. Lantai tatami sudah dalam keadaan bersih semenjak semalam Akio membersihkannya. Begitu cahaya matahari menyorot masuk ke dalam rumah, dirinya terbangun.
Setelah beberapa saat ia kemudian merapikan pakaiannya lalu mengenakan topeng oni dan seperti biasa ia menyimpan pedang kayu ke dalam pakaiannya sendiri.
Angin yang hangat membuatnya sedikit segar. Melewati perairan sungai yang bersih, Akio lekas meminumnya dengan hati-hati. Tak lama ia lekas pergi dari sana sebelum orang-orang datang.
Melewati beberapa wilayah, Akio menelusuri setiap sudut yang jarang dilewati. Ia menggunakan gang-gang sempit untuknya dilewati agar lebih aman dan keberadaannya tidak akan diketahui oleh orang-orang.
Tetapi, ketika ia mulai memasuki wilayah klan Uchigoro, Akio merasakan keberadaan seseorang yang mengikutinya.
“Aku yang salah tapi aku malah pergi. Aku benar-benar tidak sopan,” gerutu seorang pria di balik dinding, yang tengah bersembunyi dan memperhatikan sosok Akio dari belakang.
Akio sudah sadar dari semenit yang lalu, dan sudah berusaha menempuh jalan sulit lalu selalu bergerak lebih cepat darinya namun tetap saja pria itu menemukannya.
Namun tak lagi setelah berbelok ke kanan, akhirnya penguntit itu kehilangan jejak Akio.
“Eh? Di sini 'kan jalan buntu. Tapi perasaan dia ada di sini.” Pria itu adalah Akashi si tangan merah.
Wujudnya benar-benar tak berubah dari semalam, dan sekarang posisi antara Akashi dan Akio tertukar dengan Akio yang memperhatikan Akashi di atap rumah.
Akio juga sempat memperhatikan perbuatannya, seperti mencuri buah-buahan, menangkap ikan dengan tangan, terkadang pula Akashi tertidur tiba-tiba di tengah jalan. Namun saat seseorang akan datang Akashi selalu mengetahuinya lantas pergi.
Bersamaan dengan kepergiannya, senja sudah tiba secepat ini. Akio pun segera pulang ke puncak gunung, tempat di mana ia dibuang oleh semua orang.
***
Sesampainya di depan rumah, Akio dikejutkan oleh keberadaan Akashi yang sudah berada di dalam sambil tersenyum lebar.
“Entah siapa kau sebenarnya! Aku datang untuk meminta maaf padamu, dan juga aku harus berterima kasih karena kau telah menyelamatkanku!”
Akio terdiam mematung.
“Aku benar-benar minta maaf!” teriak Akashi dengan posisi berdiri yang seakan-akan ia bersiap tuk bertarung.
Setelahnya Akio berbalik badan, berniat pergi dan tak jadi pulang ke rumah. Namun, kakek tengu muncul tepat di depan mata setelah dirinya membalikkan badan.
“Kau mau ke mana setelah berkeliaran lagi?!” amuknya.
Dan lagi-lagi Akio sama sekali tidak menjawab pertanyaan si kakek, bahkan barusan ia mengacuhkan Akashi.
“Aku tanya kau mau ke mana?!” amuknya, seraya membanting tubuh Akio hingga menubruk tubuh Akashi, keduanya pun terjatuh.
“Dan juga, usir Yokai ini!” Kembali si kakek berteriak keras, memerintah Akio agar segera mengusir Akashi dari dalam rumahnya.
“Eh, kakek sinting itu lagi? Argh, s*alan. Aku benar-benar tidak beruntung,” ucap Akashi memaki.
“Diamlah, bocah yokai! Kenapa pula kamu menunjukkan dirimu lagi di sini? Pulang sana! Atau kau benar-benar ingin aku bunuh secara perlahan?!”
Kejadian yang sama kembali terulang malam ini juga. Padahal sebelumnya sungguh tenang, terutama sebelum bertemu dengan pria bernama Akashi ini.
Segera Akio bangkit, berdiri di antara kakek dan Akashi. Untuk sesaat ocehan mereka berdua berhenti, dan pedang yang sudah ditarik itu pun tertahan.
Lalu Akio berucap, “Dia manusia. Aku tidak bisa membunuhnya.” Katanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments