Koto Buku

Pelajaran Bahasa Inggris yang menjadi penutup *** hari ini cukup membuat kepala Vanya pening. Kepalanya seperti ingin meledak mendengar gurunya yang full menjelaskan menggunakan Bahasa Inggris. Untuk meredakan pusing, Vanya memutuskan mengiyakan ajakan Eva untuk berkumpul bersama di warmindo dekat sekolah. Segelas es teh dan sepiring indomie telur di sana sepertinya akan meningkatkan mood-nya.

Bersama Eva, Ino, dan David, Vanya berjalan menuju warmino dekat sekolah. Mereka tidak menggunakan motor karena malas harus membayar parkir lagi jika diparkirkan di sana. Oleh karena itu, dengan merelakan menghabiskan tenaga yang lebih, mereka berjalan kaki saja. Lagipula, cuaca hari ini tidak panas malah cenderung mendung.

"Udah bilang cowok lo belum, Van?" celetuk Ino di tengah perjalanan mereka.

"Oh iya tuh, nggak asih ah kalau tiba-tiba disuruh balik," tambah David.

"Udah, santai aja. Tapi belum dibales sama Dipta. Biarin dah, yang penting gue udah bilang," jawab Vanya santai.

"Tadi kelasnya juga belum bubaran, sih, Van, kelihatannya," timpal Eva.

"Kalau udah bubaran ya pasti si Dipta nyamperin Vanya lah. Ketos lo yang satu itu bucinnya nggak ada obat. Bucin sama modelan kayak begini lagi," ucap Ino dengan melirik Vanya.

Vanya melotot. "Kayak 'begini' gimana maksud lo?!" semprotnya.

Vanya dan Ino memang sering cek-cok. Ino yang jahil dan senang mengerecoki orang lain. Sedangkan Vanya memiliki kesabaran setipis tisu.

"Ya itu si Dipta brandingnya nggak kaleng-kaleng. Image baiknya udah diakui banyak orang. Jadi ketos lagi. Lo pakai pelet apa dah kok bisa Dipta mau sama lo?" cerocos Ino.

Vanya mendecih sinis. "Nggak usah pelet-peletan, pesona Lavanya emang kuat banget tau. Tuh si Dipta aja kepincut," jawabnya percaya diri sambil tersenyum jemawa.

"Ye, itu mah si Dipta aja yang seleranya jelek," timpal David.

Eva mengangguk. "Bener, sih, Pid, aturan mah sama gue aja ye kan?" ucapnya. Pelafalan huruf 'V' pada nama David, sering dilafalkan sebagai huruf 'P' oleh teman-temannya.

Vanya memukul bahu Eva. "Lo jangan ada bibit-bibit pelakor deh. Pacar gue ya itu," protesnya.

"Ceilah, cemburu lo," ejek Ino.

"Ino lo mending diem dah. Gue pusing abis Bahasa Inggris tadi, jangan sampai rambut lo gue botakin, ya!" ancam Vanya.

Setelahnya, Ino masih tidak diam. Cowok itu masih gencar mengusili teman-temannya yang lain sehingga perjalanan ke warmindo itu dipenuhi umpatan untuk Ino dan juga gelak tawa.

Akhirnya mereka sampai juga di warmindo dan memesan makanan. Tidak lama kemudian pesanan datang dan mereka mulai menyantap mie instan itu.

"Eh lo udah denger kabarnya belum?" celetuk Eva di sela kegiatan makan.

"Yang kayak gini biasanya mancing ghibah," sahut David.

"Bener. Padahal gak boleh ya ghibah. Btw, denger kabar apa, Va?" timpal Vanya yang mendapat sorakan dari teman-temannya.

"Nanti malem ada balapan lagi tau. Tapi nggak yang ada taruhan. Cuma seru-seruan aja sekalian welcoming anak baru yang join Aderfia," jelas Eva. Aderfia adalah klub motor yang diikuti mereka termasuk Vanya. Hanya saja, Vanya sudah tidak begitu aktif sejak hampir 1,5 tahun terakhir.

"Lah jadi join dia?" ujar Ino.

"Siapa, sih?" Vanya tidak mengerti.

"Lo makanya buka grup dong!" sinis Ino.

"Ya sorry. Siapa, sih, yang mau join lagi?" Vanya masih penasaran meski tatapannya masih sibuk dengan mie instan di piringnya.

"Anak sekolah kita juga. Ipa 5, namanya—"

Penjelasan Eva terhenti begitu seorang pemuda bergabung ke meja mereka seraya menyapa, "Halo! Gue join bentar ya."

***

"Ini harus banget, ya, ke sini?" Vanya menghela napas tak bersemangat begitu sampai di toko buku yang terbilang cukup besar dan berada di dalam mall ini.

Cowok itu mengangguk. "Harus. Aku mau cari buku buat UTBK."

Vanya membelalak. "Kamu masih kelas sebelas."

Masih dengan matanya yang fokus menelisik satu per satu buku ujian, cowok itu tetap merespon Vanya. "Sebentar lagi kita UAS terus naik kelas dua belas. Cepet banget jalannya waktu tuh, nggak kerasa aja."

"Pradipta, jangan ingetin aku soal itu ya kepalaku nyut-nyutan rasanya," jawab Vanya dengan nada lemas.

Dipta tertawa. "Biar kamu belajar. Ini kamu mau beli juga nggak? Aku beliin," tawar Vanya.

Vanya menggeleng. "Aku mau masuk swasta langsung."

Dipta terkekeh saja dan tidak melanjutkan percakapan dengan topik itu. Setelah selesai mencari buku dan membayar, mereka membeli makanan dan minuman. Kemudian, keduanya duduk di foodcurt.

Tadi Dipta menyusul Vanya ke warmindo. Bergabung ke meja Vanya dan teman-temannya, menunggu kekasihnya selesai makan, lalu mengajaknya ke mall. Ia tidak membonceng Vanya karena gadis itu membawa motornya. Vanya bersikeras tidak mau mengembalikan motornya dahulu. Jadilah mereka memutuskan untuk iring-iringan.

"Kamu bentar lagi purna, ya, Dip?" celetuk Vanya.

Gerakan Dipta yang tengah membolak-balikkan buku yang baru saja ia beli mendadak terhenti. "Iya, ya? Nggak kerasa."

"Seneng nggak kamu?" tanya Vanya.

Dipta mengangkat kedua bahunya. "Nggak tau deh. Nano-nano rasanya."

"Seneng aja, Dip. Habis ini waktu kamu buat kita bakal lebih banyak. Selama ini kamu lumayan sibuk banget sama prokermu itu," ucap Vanya.

"Lumayan sibuk juga sih denger aduan-aduan orang-orang soal kelakuan kamu di sekolah. Yang telat lah, nggak ngerjain PR lah, nyontek di google terus suara google-nya kedengaran lah, ribut sama kelas lain lah." Dipta menyebutkan semua keluhan yang sering disampaikan anak-anak sekolahnya.

"Buset, banyak juga. Padahal kamu bukan guru BK, ya. Tapi gapapa lah, Dip, kalau kamu purna kan kamu nggak bakal dilaporin ini-itu lagi soal kelakuan aku. Lagian, kenapa orang-orang ekspetasi tinggi banget ke aku sebagai pacar kamu. Sering tuh aku denger, mereka bilang aku jauh dari ekspektasi mereka. Mereka kira aku sebelas dua belas sama kamu, ternyata berbanding 180 derajat. Ya siapa suruh mereka ekspetasinya tinggi banget ke aku," cerocos Vanya panjang lebar.

Dipta tertawa. "Nggak usah didengerin deh omongan orang nggak ada habisnya. Lagian seru kok pacaran sama kamu, walau kadang ngeselin sih kamu. Apalagi kalo diem-diem balap motor lagi padahal pamitnya kerja kelompok," ucapnya dengan sindiran di akhir.

Vanya nyengir. "Sekarang kan udah nggak lagi, Dip. Nggak tau deh kalau nanti."

"Jangan aneh-aneh lo ya," peringat Dipta.

"Dihh, sok galak, mana pake lo-gue lagi," cibir Vanya.

"Tapi serius, kamu nggak usah balap-balapan lagi ya apalagi sampai malem-malem gitu," ucap Dipta.

"Ya pasti malem dong, Dip. Kalau siang mah rame, cepet ketangkepnya," jawab Vanya.

Melihat Dipta yang melotot, Vanya tertawa. Pacarnya itu terlihat lucu sekali jika sedang kesal. Ia ajukan jari telunjuk kanannya untuk menusuk-nusuk pipi Dipta.

"Iya-iya, enggak balap-balapan lagi. Jangan gitu ah ekspresinya, gemes tau," ujar Vanya.

Dipta hanya mengembuskan napas pelan. Sudah terbiasa dengan kelakuan Vanya. Dipta tau bahwa Vanya memang bergabung klub motor dan ikut balapan. Mengingat gadis itu sudah sempat celaka, Dipta jelas melarang Vanya ikut balapan lagi.

Dipta tidak mau kekasihnya celaka. Dipta tidak mau kehilangan Vanya. Mau sejelek pandangan orang tentang Vanya, Dipta akan menutup mata dan telinga. Segala kekurangan Vanya dapat Dipta terima.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!