Tania menghela napas saat menatap saldo tabungannya. Setiap dia mendapat uang, seakan ada lubang penyedot di dalam rekeningnya hingga yang bersisa selalu saja sedikit. Bahkan, saldonya yang seharusnya 2 digit, ini tinggal 3 angka.
"Kenapa?" tanya sahabatnya sembari memberikan minuman dingin padanya. Hal yang cukup menyeramkan memang pada saat seperti ini. Sang adik harus melakukan registrasi kuliah. Itupun jalur reguler. Padahal, dia sudah memohon pada sang adik agar mengambil jalur beasiswa. Namun, sebagai anak bungsu tentu saja sang adik memilih jalur reguler karena tahu akan dibiayai penuh.
"Saldo gua," ujarnya kemudian mengacak rambut. Dia sungguh bingung harus berjuang seperti apa lagi. Melamar ke beberapa perusahaan tak membuahkan hasil. Dia hanya bisa kerja seadanya itu pun dengan gaji yang tak memadai. Mau sampai kapan dia meminjam pada Sonia?
Gadis dengan pakaian khas orang kantoran itu ikut menghela napas. Gadis dengan kecantikan khas wanita jawa itu tentu tahu betul bagaimana perjuangan Tania sejak masih berkuliah. Dia rela bekerja sambil kuliah hanya karena tak ingin membebani orang tuanya dengan uang kuliah. Dia selalu berpikir Tania mungkin punya nasib bagus setelah lulus. Namun, siapa sangka? Perjuangan Tania masih harus berlanjut hingga detik ini.
"Coba bilang baik-baik sama ade lu. Lu gak mungkin biayain dia 100% karena emang uang kuliahnya gak semurah itu. Belum lagi biaya hidup dia nantinya. Lu juga belum dapet kerjaan jadi mungkin ortu lu juga paham."
"Masalahnya yang mereka tau, gua berkecukupan di sini."
"Lu sih pake acara bohong segala."
Hidup di pedesaan memang cukup berbeda dari kehidupan di kota. Mereka masih sangat memperhatikan bahkan jeli terhadap apa pun yang terjadi di sekitar mereka. Dengan merantau, anggapan mereka adalah orang tersebut berkecukupan. Kemudian, Tania juga salah karena berbohong pada orang tuanya sudah mendapat pekerjaan yang cukup bagus dan nyaman. Dia lupa, itu malah akan semakin memberatkannya karena dia anak pertama.
Sonia beranjak kemudian mengulurkan tangannya pada Tania. "Udah, daripada sedih-sedih gitu, mending kita cari makan yuk. Gua traktir."
"Gua ... gantiin bulan depan deh."
Sonia terkekeh mendengar ucapan Tania. Padahal, dia tak pernah meminta ganti dari setiap uang yang dia beri. Baginya, memiliki Tania di sisinya adalah lebih dari cukup. Hanya Tania yang mau berteman dengan tulus tanpa melihat apa yang dia punya. Berbeda dari yang lainnya, mereka selalu melihat segala harta yang Sonia miliki.
Mereka berdua melangkah menuju sebuah resto makanan Jepang yang terletak tak jauh dari kantor Sonia. Awalnya Tania menolak dengan alasan tak mau membuat sahabatnya mengeluarkan uang banyak. Namun, Sonia memaksanya dengan alasan perayaan karena gaji yang selama ini Tania kumpulkan, cukup untuk membayar biaya kuliah sang adik.
"Lu sih ditawarin kerja sama gua gak mau," ujar Sonia yang tentu mengundang kekehan dari Tania. Dia bukannya tak mau. Namun, dia merasa tak enak karena terus menempel dengan Sonia. Apalagi, dia tahu Sonia akan mempekerjakannya dengan berbeda.
Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Tania. Dia mengerutkan dahi saat sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk dan menawari sebuah pekerjaan dengan jumlah gaji yang cukup besar. Namun, tak ada keterangan lain seperti pekerjaannya apa, alamat perusahaannya di mana. Hanya tertulis kualifikasi kandidat yang dirasa sangat mudah.
"Ade lu?" tanya Sonia sembari memilih menu.
"Penipuan," jawab Tania. Dia sudah berulang kali terkena jebakan seperti itu. Bahkan, hingga uang tabungannya habis. Dia tahu betul alur perekrutan seperti itu. Dia akan diminta datang dengan sejumlah uang dan dijanjikan akan bekerja di perusahaan ternama. Ternyata semua itu hanya sebuah siasat dan akhirnya orang itu membawa kabur uang Tania.
"Apa gua pastiin dulu ya?" gumam Tania dalam hatinya. Mungkin saja ini bisa jadi langkah terakhir agar dia bia membiayai kuliah sang adik hingga lulus. Dia heran mengapa sang adik malah gengsi mengambil jalur beasiswa dengan alasan takut dikucilkan.
...***...
Soal jasa itu, Andra pikir sepertinya itu keputusan terbaik. Dia tak keberatan jika harus menyalahi sedikit kode etiknya. Lagipula, tak ada jalan lain. Pasangan itu sudah cukup tua dan berisiko jika harus hamil. Mungkin itu juga alasan mengapa pasiennya tak kunjung hamil.
Andra menghubungi sang sahabat, mengatur pertemuan untuk membahas soal ini. Dia perlu bertemu dengan pemilik agensi itu dan melakukan hal terbaik untuk pasiennya. Masa bodoh dengan hukuman atau konsekuensinya. Dia akan memikirkan itu nanti.
"Dok, ada pasien yang mau melahirkan. Sudah saya pindahkan ke ruang persalinan," ujar seorang perawat yang kemudian membuat Andra meletakan ponselnya.
"Untuk pembukaannya?"
"Sudah hampir lengkap."
"Saya segera ke sana."
...***...
Di depan sebuah gedung dengan cat berwarna putih dan bertuliskan 'Kasih Bunda' di dindingnya, Andra berdiri. Dia berkali-kali menatap ponsel bertuliskan alamat yang dikirimkan oleh sang sahabat kemudian menatap gedung di depannya. Setelah yakin, dia berjalan masuk ke sana untuk menemui langsung sang pemilik agensi.
"Bisa bertemu dengan pak Tanu?"
"Tunggu sebentar, ya," ujar seorang wanita yang duduk di meja resepsionis. Dia berjalan ke sebuah ruangan kemudian kembali setelah beberapa saat. "Boleh langsung ke ruangannya."
"Terima kasih." Andra berjalan menuju ruangan yang bertuliskan 'Pak Tanu' itu. Sebelumnya, dia mengetuk terlebih dahulu kemudian masuk.
Baru masuk saja Andra merasa nyaman dengan ruangannya. Mungkin karena catnya yang putih sehingga ruangan tersebut terlihat sangat rapi. Pemilihan furniturnya juga terlihat sangat pas. Jangan lupakan soal pencahayaan dari jendela besar yang ada di sebelah kiri.
Andra tersenyum kemudian menjabat tangan pria paruh baya itu. "Saya Andra, pak, yang menghubungi bapak tadi pagi."
Andra sengaja mengosongkan jadwalnya hari ini demi menemui pemilik agensi itu. Menurutnya, lebih cepat memang akan semakin baik. Dia dikejar waktu.
"Bapak sudah menikah?"
Pertanyaan itu membuat Andra segera menggeleng dan tertawa canggung.
"Bukan, pak. Kebetulan saya mencari jasa ibu pengganti untuk orang lain."
"Ah ... kirain buat bapak sendiri."
Andra terkekeh. "Bukan, pak. Untuk biayanya ada biaya apa saja kalau boleh tau? Kebetulan saya juga seorang dokter. Apa saya bisa mendampingi ibu penggantinya selama praktek ini berlangsung atau bagaimana?"
"Biasanya ada dokter khusus, kenalan saya dan sudah bekerja sama. Tapi kalau bapak mau, boleh," ujar pak Tanu dengan sangat ramah. "Juga ... untuk kerahasiaan, kami bisa menjaminnya."
Andra tersenyum, merasa bebannya cukup terangkat jika begini. Pasiennya mungkin akan segera mendapatkan anak seperti impian mereka. Dia benar-benar kasihan melihat pasangan pasiennya yang satu ini. Mereka berkali-kali konsultasi namun hasilnya tetap sama.
"Tapi untuk saat ini kami belum ada calon kandidatnya. Apa bapak mau menunggu? Saya akan menghubungi segera jika kandidatnya sudah ada."
"Boleh, pak, mungkin saya bisa kasih kartu nama saya." Andra merogoh sakunya kemudian memberikan sebuah kartu nama. "Saya tunggu kabar baiknya, pak."
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments