“Halo, assalamu’alaikum. Maaf aku lupa mengabarimu kalau aku sekarang ini sudah pindah ke Jakarta dan tinggal bersama Om Bagas!” sapanya saat orang yang dihubungi itu mengangkat panggilan teleponnya.
Pemuda itu adalah Pras – cowok yang selalu mengejarnya dan berakhir menjadi teman baiknya dalam segala hal. Suka dan duka dijalaninya bersama bahkan sering kali mereka menghabiskan waktu bersama di rumah Nadia hanya sekedar untuk belajar walau kelas mereka berbeda.
[Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, kenapa kamu pergi nggak pamit dulu dan memberikan jawaban pasti padaku, Nad? Apa sebegitu terburu-burunya kamu pergi ninggalin aku?] nada kesal terdengar resah saat Pras menyahuti dan menjawab salamnya.
Nadia memang pernah berjanji pada Pras untuk menjawab pertanyaan tentang perasaannya sebelum gadis itu mendapatkan musibah dengan meninggalnya wanita yang telah melahirkannya itu.
[Jadi …?] lanjut Pras masih mengharap jawaban itu tetap didengarnya walau saat ini mereka telah dipisahkan oleh jarak, waktu dan pulau.
Pras hanya belum merasa sanggup untuk berpisah secepat ini karena mereka sudah mirip bagai amplop dan perangko hampir setiap hari selalu bersama, entah apa yang akan terjadi padanya nanti.
“Jadi … kamu nggak usah mengharapkan aku lagi. Semua sudah tak mungkin untuk kita bersama walaupun aku memberikan jawaban pasti. Aku mungkin tak akan pernah kembali lagi ke desa,” jawab Nadia membuat desah napas terdengar kasar di ujung telepon sana.
Pras menggelengkan kepala walau Nadia tidak melihatnya. Pemuda yang masih duduk di kelas 12 SMA itu sebagai kakak kelas Nadia, merasakan dadanya sangat sesak sebab Nadia merupakan gadis pertama yang membuatnya berdebar. Pemuda yang selalu ada untuknya dengan status sebagai sahabat baik. Pemuda itu merasa tidak bisa menerima dengan keputusan yang disampaikan Nadia barusan. Hatinya terlalu perih untuk merasakan cinta yang tak kesampaian.
[Kalau kamu memang udah gak bisa balik ke kampung kita maka aku yang akan berusaha untuk menyusulmu ke Jakarta. Beberapa bulan lagi aku tamat SMA dan kupastikan harus bisa diterima di salah satu universitas di dekat tempat tinggal pamanmu. Apa jika aku menyusul ke sana kamu akan menerima cintaku?] Pras memberikan janjinya demi bisa bertemu lagi dengan Nadia.
Pemuda itu juga meminta kepastian jika kedatangannya tidak sia-sia menemui gadis itu. Namun, apakah semua itu semudah yang ada di dalam pikirannya? Sepertinya itu hanya sebuah komitmen dan janji yang belum tentu bisa ditepatinya, sebab kehidupan Pras juga tidak jauh berbeda dengan perekonomian yang dialami Nadia. Keluarga mereka sama-sama memiliki ekonomi sederhana.
“Ka-kamu serius? Kamu nggak cuma lagi menghibur aku aja, kan?” Nadia sampai menggigit bibir bawahnya, merasa haru karena orang yang paling peduli padanya selama ini akan datang menyusulnya ke Jakarta.
“Jika kamu beneran datang ke sini … aku janji akan menerima cintamu, asal jangan hanya memberikan janji tanpa ada bukti,” balas Nadia memberikan secercah harapan buat pemuda itu.
[Insya Allah aku akan mencoba masuk ke sana lewat jalur beasiswa agar biayanya tidak terlalu besar, maaf aku tadi sempat mendahului untuk berjanji padamu … padahal belum tahu apakah Allah nanti menyetujuinya atau malah menolak harapanku] Pras meralat janji yang tadi sempat diucapkannya karena terburu-buru akibat rasa yang ada di hati.
Pemuda itu mendesah pasrah dengan suara lirih. Nadia yang diharapkannya bisa menemani dalam meraih masa depan bersama untuk menggapai cita-cita tapi sekarang malah pergi meninggalkannya ke kota metropolitan yang sangat jauh dari tempat tinggalnya saat ini. Apa mungkin dirinya beneran akan bisa menyusul gadis pujaan hatinya itu? Entahlah, Pras sendiri merasa ragu dengan janji yang baru diucapkannya, membuat Nadia langsung merasa sedikit kecewa.
“Aku akan ikut berdo’a agar Allah memberikan rezeki terbaik untukmu dan keluarga dan in syaa Allah aku akan menunggumu sampai batas yang kusampaikan tadi,” timpal dengan nada hampa. Sesaat kemudian telinga mendengar pintu kamar yang diketuk.
Tok! Tok! Tok!
Ceklek!
“Kamu nggak jadi istirahat, Sayang?” tanya Bagas yang masih bisa ikut didengar oleh Pras. Dia sedikit risih mendengar ada suara lelaki memanggil gadis yang disukainya itu dengan sebutan ‘Sayang’.
“Belum, Om. Ada apa om masuk nyari Nadia? Apa Om butuh sesuatu?” Gadis itu meletakkan ponsel dengan posisi terbalik agar sang paman tidak mengetahui kalau dirinya masih tersambung panggilan dengan pemuda di kampungnya.
“Om hanya mau ngasih tau kalau di ruang tamu ada bos dan beberapa teman om dari kantor yang mau kenalan denganmu. Apa kamu mau menemuinya atau mau istirahat di kamar aja?” tanya Bagas tidak ingin memaksakan kehendak pada keponakannya.
“Apa teman Om yang datang itu ada perempuannya?” tanya Nadia memastikan.
“Nggak, Sayang. Kebetulan semua teman yang datang adalah laki-laki. Kamu risih ya?” Bagas mengusap kepala Nadia dengan lembut, lelaki itu memang harus membiasakan diri memperlakukan Nadia seperti anaknya sendiri.
Sejenak Nadia terlihat berpikir tapi akhirnya dia memutuskan tidak ikut ke ruang tamu karena merasa tak punya kepentingan bertemu dengan bos dan juga teman pamannya. Dia takut yang ada pamannya malah merasa malu dengan kehadirannya yang berasal dari pelosok desa.
“Kalau boleh tau, Om Bagas jadi apa di perusahaan itu?” Nadia mengambil bantal lalu meletakkan di atas pangkuannya, menatap netra sang paman untuk menunggu jawaban.
“Om ini hanya kacung alias asisten pribadi dari seorang CEO bernama Perusahaan Singgalang. Yakin kamu nggak mau nemuin teman om? Bos nya ganteng lho,” goda Bagas yang hanya membuat Nadia mencebik tak peduli.
“Aku ini masih remaja, Om … Nadia belum mikirin gantengnya seorang pria. Om mau aku cepat nikah ya?” tanya Nadia menelisik tatapan sang paman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆🏘⃝AⁿᵘBoy🔰🍒⃞⃟🦅ᴳᴿ🐅
mampir kakak'
2023-03-27
0
Syafiq Zain 🇯🇴
Lumayan menarik juga
2023-03-20
0
𝕾𝖓𝖞
Bewww.. jgn lgsng di tolak,liat dulu gmna nnti bos.y..Ntar nangis krn nyesel knp ga kenalan🤭🤭🤣
2023-03-15
0