Sudah sejak lama Shena menempati apartemennya yang masih ia cicil. Shena mencoba mandiri berpisah dari keluarganya, sebab rumah yang dulu ia tinggali sedari kecil itu sudah semakin banyak penghuninya. Dan Shena tidak suka kebisingan.
Shena yang bekerja sebagai penerjemah novel Korea-Indonesia itu memerlukan ketenangan dan kedamaian setiap waktunya.
Sedangkan di rumah orang tuanya, semakin ramai dengan adanya 2 keluarga. Davina, kakak pertamanya tinggal di sana berikut suami, dan juga kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Ditambah lagi Natteo, kakak laki-lakinya yang juga sudah berumah tangga, dan sekarang istrinya tengah hamil anak ketiga.
Memang Shena rasa ini adalah keputusan yang tepat, hidup sendiri menikmati detik demi detik keheningan setiap waktunya.
"Hem, iyaaa. Aku baik-baik aja. Udah makan juga, kakak jangan khawatir," ucap Shena pada seseorang melalui panggilan telepon.
Shena terus mengangguk-anggukkan kepalanya, menjawab setengah bergumam. Ia memegang ponselnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menuangkan gula pasir ke gelas yang sudah mengepulkan asap. Ia tengah membuat teh manis hangat untuk dirinya sendiri.
"Kulkasku penuh, uang bulananku masih cukup. Jadi, kakak gak perlu takut aku akan terkapar tak berdaya, miris sendirian tinggal tulang-belulang," ceplos Shena asal.
Ya, begitulah Shena si mulut bocor. Sesekali ia akan menjauhkan ponselnya, menghindari dengungan di telinganya mendengar ocehan panjang kali lebar kali tinggi dari kakak perempuannya.
"Iyaaa, aku paham, Kak," kata Shena bermaksud menghindar dari obrolan yang berlanjut tanpa henti.
Shena segera mematikan sambungan telepon, bahkan sebelum kakaknya selesai berbicara. Lalu ia mengatur ponselnya ke mode pesawat, guna mengembalikan kesenyapan yang selalu ia gemari.
Berjalan perlahan menuju kamar tidurnya, Shena berhenti sejenak menyeruput tehnya yang masih panas. Namun sejurus kemudian ia begitu terkejut melihat sepatu dan kaus kaki yang berceceran di lantai ruang tamu apartemennya, juga seorang pria paling menyebalkan yang kini duduk di sofa menjulurkan kakinya ke atas meja.
"Yak! Ige mwoya? Neo michyosseo? Jinjja!!!" pekik Shena dengan accent koreanya yang khas. Gadis itu memejamkan matanya menahan kekesalan akibat ulah sang sahabat. Ya, lagi-lagi Zoe. Pria itu seolah tak ada bosannya menguji kesabaran sahabat karibnya.
Zoe segera memperbaiki duduknya, dengan wajah sok polos dan kebingungan mendengar ocehan sambutan dari Shena.
"Apa sih? Ninja, ninja, aku masih manusia biasa, Shena sayang. Belum jadi ninja tuh," ucap Zoe yang terdengar semakin menyebalkan di telinga Shena.
Shena mendengus, ia meletakkan teh manis hangatnya ke atas meja dengan kasar.
Takkk!
"Maksudkuuu ini apa, ha?? Apa kamu udah gila? Kamu mengacaukan apartemenku, Zoe!" omel Shena sembari mengangkat salah satu sepatu milik Zoe, kemudian melemparnya dengan kasar ke arah pintu di ujung sana.
"Ih! Mahal itu, Na. Main lempar-lempar aja," balas Zoe tak mau kalah.
"Kamu!"
Shena sudah mengambil bantal sofa miliknya bermaksud memukul Zoe dengan benda tersebut, namun terhenti lantaran Zoe seketika mengangkat kantung plastik yang ia bawa sejak tadi.
"Aku bawa martabak telur spesial kesukaan kamu, dari langganan kita yang biasa lho." Terang Zoe seraya menampilkan senyum paling menawannya.
Namun nyatanya Shena tak terpengaruh, ia tetap menghajar sahabatnya itu tanpa ampun.
"Dasar cowok kardus! Menyebalkan!"
"Aakk! Ampun, Na. kasar banget sih. Ini tuh termasuk kekerasan dalam persahabatan tahu enggak." Keluh Zoe pada Shena, namun pada akhirnya ia pasrah menerima amukan dari sahabatnya itu.
...*...
...*...
Kebersamaan, kesetiaan, dan persahabatan. Tiga kata itu terus-menerus memenuhi isi pikiran Shena. Seolah ia sedang berusaha memikirkan bagaimana caranya menyelipkan kata 'cinta' di antara ketiganya. Atau kata mana yang bisa ia hilangkan.
Sedari tadi Shena mencuri pandang pada Zoe yang kini tengah sibuk berkaca di ponselnya seraya bergumam.
"Untung cuma bantal sofa, coba kalau kamu mukulnya pake balok kayu, bisa gawat 'kan wajah tampanku, Na," keluh Zoe yang masih terus memperhatikan wajahnya, memastikan agar salah satu aset kebanggaannya itu aman, tak tergores sedikit pun.
Shena cuek saja, ia tak menanggapi ucapan narsis Zoe di atas meja makan apartemennya. Shena tetap fokus memakan martabak telor spesial kesukaannya sembari menatap ponsel memeriksa jurnal mengenai hal yang berkaitan dengan linguistik bahasa korea.
"Na, kok kamu diem aja sih, masih marah kah sama aku?" tanya Zoe dengan tampang menyebalkannya. "Maaf deh, aku kan gak sengaja," katanya lagi berpura-pura menyesali perbuatannya.
"Menurutmu???" tanya Shena menatap dingin pada sahabatnya. "Kamu udah buat aku nunggu lama di kafe, terus ninggalin aku gitu aja tanpa rasa bersalah sedikitpun. Kamu pikir aku apa? Brengsek tahu enggak."
"Ya elah, Na. Aku pikir kamu udah lupain kejadian tadi. Iya oke aku minta maaf. Kamu marah-marah terus aku takut tau, Na. Sensi terus sama aku," sahut Zoe merasa heran pada tingkah Shena.
"Gak cukup sampai di situ. Kamu juga tiba-tiba datang ke sini dan ngeberantakin ruang tamuku. Kamu juga ngeledekin bahasa koreaku. Kamu ngeremehin kerjaan aku, Zoe?" balas Shena mengeluarkan emosinya.
"Aku bercanda, Shena sayaaang. Ngomel terus ih. Lagian ya, kayaknya dari dulu selera humor kita juga selalu sama ah, sekarang kenapa jadi begini. Kamu kasar terus sama aku."
"Karena dulu aku blo'on," cetus Shena blak-blakan.
"Ih. Jadi sekarang kamu ngatain aku blo'on nih. Ya Tuhan, Na. Tega banget."
Shena mengedikkan bahunya acuh. Rasanya ia tak perlu lagi menjawab sesuatu yang sudah jelas.
"Tapi gini-gini kamu juga suka kan," kata Zoe dengan enteng.
Sontak saja Shena menghentikan kunyahannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap ke arah Zoe dengan pandangan yang tidak bersahabat.
Shena benar-benar tak suka dengan perkataan Zoe barusan. Pria itu selalu saja membahas kata 'suka' seakan dijadikan bahan candaan. Apa perasaan Shena dianggap sereceh itu?
Huhh! Dasar badjigan!
Ponsel milik Zoe bergetar, menandakan adanya pesan masuk melalui aplikasi si hijau. Dan pria itu ... tersenyum lebar.
"Oh. Ini Nessa," ucapnya dengan sumringah.
Shena mengerutkan dahinya. Merasa familliar dengan nama wanita yang keluar dari mulut Zoe.
"Nessa? Nessa editor penerbit di tempat kerjaku?" tanya Shena memastikan.
Zoe menganggukkan kepalanya dengan santai. "Iya, minggu lalu pas aku jemput kamu di depan lobi kantor, dia sok kenal gitu sama aku. Terus minta nomor teleponku. Ya udah aku kasih aja," terang Zoe seraya tetap fokus pada layar ponselnya.
Shena menggeleng tak percaya. Zoe tetaplah Zoe. Sepertinya kambing di bedakin pun Zoe akan suka.
Memang benar, beberapa kali Nessa sering kali mendekati meja kerjanya. Wanita itu menanyakan siapa pria yang hampir tiap hari menjemput Shena. Pikir Shena, Nessa tak segencar itu mendekati pria incarannya. Padahal berulang kali Shena mengatakan bahwa Zoe adalah pria playboy yang selalu bergonti-ganti perempuan.
Namun ya, begitulah wanita. Semakin brengsek pria, maka semakin tertantang untuk mendapatkannya. Entah itu sudah menjadi hukum alam, atau memang sudah buta karena paras Zoe yang rupawan.
"Aku rasa nomor teleponmu lebih murah dari pada harga bawang di pasar, Zoe," cetus Shena asal.
"Apa salahnya sih ramah sama cewek. Mulutmu ya, Na. Minta kukaretin," balas Zoe sebal.
Shena meletakkan ponselnya, menatap serius pada sang sahabat.
"Sekarang aku tanya, mau sampai kapan kamu kayak gini? Seminggu ini aja kamu udah sama Utari, Laura, Shafira, Salsa, Riri, Dini, lalu barusan ... Nessa? Besok siapa lagi korbanmu, ha?"
"Ih! Kok gitu sih mgomongnya."
"Apa?" tantang Shena emosi. "Kamu gak bisa begini terus, Zoe. Perempuan bukan objek yang bisa kamu mainkan sesuka kamu," kata Shena dengan wajah dinginnya.
Shena paham, hati kecil Zoe tidak ingin seperti ini. Bahkan di balik keburukan tingkah laku pria itu, terselip luka yang tak mudah terobati. Zoe seolah tak lagi percaya pada yang namanya ketulusan cinta dari seseorang.
"Aku belum bisa berhenti, Shena. Aku belum bisa mencintai satu perempuan dengan segenap perasaanku. Kamu tahu aku masih trauma," ucap Zoe dengan serius.
Shena menarik sudut bibirnya, seraya mendengus pelan. "Huhh, pecundang! Sudah aku bilang, jangan jadikan traumamu sebagai alasan untuk menyakiti hati wanita mana pun. Itu enggak adil."
"Dan itu ... menyakitiku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
𓆩𓆪🏠⃟ ᴘᷳᴙᷫᴉᷫᴎᴄᴇ𝐀⃝🥀
kdps ya Zoe 🤣
kekerasan dalam persahabatan
2023-08-31
0
𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆🏘⃝AⁿᵘBoy🔰🍒⃞⃟🦅ᴳᴿ🐅
sepertinya Zoe pernah dihianati 👀
atau ditinggal? pasti temen nya na
2023-08-30
0
🍁ˢ⍣⃟ₛ Angela❣️
enak lah masih ada apartemen lha aku ngontrak 😅😅
2023-08-30
0