Beberapa hari setelah kejadian itu, Rani dan Mama Laras sudah mulai bertegur sapa kembali. Namun demikian, Rani masih belum berani membahas Rio lagi. Kali ini, Rani memilih untuk menjalin hubungan diam-diam dulu, sambil menunggu apa yang akan dilakukan Rio, untuk mendapatkan restu dari Mama Laras.
Rani dan Rio hanya berhubungan melalui pesan, sesekali video call saat kondisi rumah sedang sepi. Mereka berdua jarang sekali bertemu. Mengingat Rani dan Rio kadang juga berlawanan sift.
Sampai di suatu malam Minggu, tiba-tiba saja panggilan video call dari Rio masuk. Rani tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ia segera mengangkat panggilan dari Rio itu.
“Halo, Mas.” Sapa Rani dengan wajah berseri.
“Halo, Sayangku. Kamu lagi apa? Dimana?”
“Lagi dikamar aja ini, Mas. Nggak ngapa-ngapain. Mas sendiri lagi apa?”
“Aku lagi pengen ketemu sama kamu nih, kamu bisa nggak kalau keluar?”
“Keluar kemana, Mas?” Tanya Rani heran, tidak biasanya Rio bersikap seperti ini.
“Kemana aja, asal bisa ketemu kamu. Aku lagi pengen berduaan sama kamu. Tapi gimana ya? Kamu bisa nggak, kalau keluar malem-malem? Mumpung malem Minggu ini, biar seperti anak muda umumnya. Aku juga mau pacaran seperti orang umum. Nggak cuma chatingan doang tiap hari.” Rio mengeluarkan jurus jitunya, merayu Rani supaya mau bertemu dengannya.
“Oke, Mas. Bentar ya, aku ijin dulu sama Mama.” Rani akhirnya luluh juga.
“Emang kalau ijin bakalan dibolehin?”
“Ya nggak mungkin. Aku ijinnya nggak pergi sama kamu lah, tapi sama temen-temen kerja di rumah sakit. Jadi pasti dibolehin.”
“Ooh, oke. Bagus deh kalau gitu.” Rio tersenyum penuh kemenangan.
“Oke, Mas. Aku ijin dulu. Nanti aku kabarin kalau emang boleh. Kita ketemuan dimana?”
“Di alun-alun aja? Atau mau di mana? Terserah kamu deh.”
“Oke, nanti aku kabari, Mas. Bentar ya! Aku tutup dulu.”
“Oke, daahh, Sayang.”
Rio mengakhiri panggilan videonya. Sedangkan Rani bergegas keluar dari kamar, berjalan cepat menuju kamar mamanya yang ada di bagian depan rumah itu, berdampingan dengan ruang tamu.
Rani mengetuk pintu kamar mamanya pelan, takut kalau mamanya kaget dan lain sebagainya.
“Ma! Udah tidur belum? Ini Rani, Ma.” Ucap Rani di depan pintu kamar ibunya.
“Belum. Ada apa, Ran?” Jawab Laras, sambil membukakan pintu.
“Ma, aku mau keluar nih. Ada temen kerja ulang tahun, dia mau rayain sama temen-temen satu ruang yang nggak jaga sift sekarang. Aku boleh ikut nggak, Ma? Kasian dia soalnya, udah cuma sedikit, kalau aku nggak ikut juga, nanti kurang lagi personelnya.” Rani berbohong.
“Oohh, yaudah nggak papa. Yang penting pulangnya jangan kemaleman. Kamu harus jaga kesehatan. Jangan terlalu lama kena angin malam!” Laras mudah saja percaya dengan Rani.
“Oke, Ma. Aku janji, nggak pulang kemaleman! Yaudah ya, Ma! Aku siap-siap dulu.”
“Ya, Mama mau tidur dulu, capek banget. Nanti kamu bawa kunci depan aja, kunci dari luar nggak papa. Biar nggak perlu gedor-gedor pintu kalau pulang nanti!” Pesan Laras sebelum Rani berbalik badan kembali ke kamar.
“Mas Fajar gimana, Ma?”
“Fajar nggak pulang. Kaya nggak tau kakakmu aja! Kalau malem Minggu gini kerjaannya main sampai pagi kan. Dia juga udah bawa kunci sendiri.”
“Ohh, oke, Ma. Aku balik ke kamar dulu, Ma.”
“Yaa, nanti hati-hati.”
“Iya, Ma.”
Rani bergegas kembali ke kamar. Dia tersenyum sumringah. Tidak menyangka kalau akan semudah itu mendapat ijin.
Rani segera memberi kabar pada Rio. Ia mengirim pesan singkat pada kekasihnya itu.
[Mas. Aku dapet ijin. Aku lagi siap-siap. Kita ketemu dimana ya? Yang penting jangan di ruang terbuka. Soalnya Mas Fajar nggak ada di rumah. Takut kalau dia sampai lihat kita berdua.]
Tak lama kemudian, Rio sudah membalas pesan dari Rani.
[Oke, kita makan di hotel dekat alun-alun itu aja ya. Aku pesen tempatnya dulu.]
Rani nampak berpikir sejenak. ‘Makan malam di hotel? Apa nggak mahal? Apa Mas Rio nggak sayang sama uangnya?’
Rani hanya mengendikkan kedua pundaknya. ‘Kalau dia yang ngajak, berarti ya emang nggak masalah. Ngapain juga aku pikirin.’ Batinnya lagi. Kemudian segera membalas pesan dari Rio lagi.
[Oke, Mas.]
Rani bergegas bersiap. Membersihkan diri seperlunya, kemudian berdandan seperti biasanya. Tak butuh waktu lama, dia sudah siap. Kemudian mengirim pesan lagi sebelum berangkat.
[Mas, aku berangkat.]
Tanpa menunggu balasan, Rani berangkat sendiri, mengendarai motor kesayangannya. Ia memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang. Menuju hotel yang di maksud oleh Rio.
Sesampainya di parkiran hotel, Rani kembali melihat ponselnya kalau saja sudah ada pesan dari Rio. Dan ternyata benar.
[Langsung ke resto aja di lantai 2 ya! Aku di meja nomer 5.]
Tanpa membalas pesan dari Rio, Rani segera menuju lift yang ada di pojok parkiran. Langsung menuju lantai 2, seperti instruksi dari Rio.
Sesampainya di resto hotel itu, Rani mengedarkan pandangannya, mencari dimana posisi Rio. Setelah menemukannya, Rani berjalan cepat, menuju meja nomer 5, seperti yang dikatakan Rio tadi.
“Udah lama, Mas? Kok udah pesen minum?” Tanya Rani saat sudah sampai di meja.
“Eh. Belum terlalu lama. Baru sekitar 5 menit yang lalu kok. Itu emang minum langsung disediakan kalau ada yang datang.” Jawab Rio, dan langsung menyimpan ponselnya.
Rani mengedarkan pandangan. Memang benar, meja lain juga disediakan air mineral.
“Oohh, kirain udah dari tadi. Kan aku nggak enak, datengnya lama.”
“Nggak, nggak papa kok, Sayang. Aku kangen banget sama kamu. Akhirnya bisa ketemu lagi ya kita.” Rio kembali berkata mesra, membuat Rani menjadi semakin merona.
“Aku juga kangen banget sama kamu, Mas.”
“Kamu mau makan apa? Hari ini aku yang traktir.” Ucap Rio sambil tersenyum manis.
“Beneran, Mas?”
“Iya. Bentar!”
Rio melambaikan tangan ke arah waiters yang berjaga di setiap sudut ruangan, siap sedia menyambut, dan merapikan meja saat ditinggal pelanggannya. Dengan sigap, salah seorang dari mereka menghampiri meja Rio dan Rani.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak, Bu?"
"Kami berdua mau pesen, Mbak. Kamu mau pesen apa, Sayang?" Rio menawari Rani terlebih dahulu.
Rani nampak membolak-balik buku menu, mencari menu makanan yang sesuai dengan seleranya.
"Aku pesen ini aja, Mbak." Rani menunjuk salah satu gambar makanan sepaket dengan minumannya yang tersedia di dalam buku menu.
"Baik,"
"Saya samain aja, Mbak!" Ucap Rio kemudian.
"Baik, Pak. Mohon ditunggu!"
Rani dan Rio mengobrol banyak hal sembari menunggu makanan datang. Meskipun cenderung obrolan receh penuh gombalan dari Rio. Membuat Rani semakin terbuai. Sampai akhirnya, menu makanan yang mereka pesan sudah datang.
"Selamat makan, Mas!" Ucap Rani dengan riang.
"Selamat makan!" Jawab Rio.
Sudah menjadi kebiasaan, sebelum makan, Rani akan minum air putih terlebih dahulu. Supaya tenggorokan tidak kering. Saat itu juga Rani meminum air putih yang tersedia di dekatnya. Membuat Rio memandangnya tanpa berkedip.
"Kok belum dimakan, Mas?" Tanya Rani yang heran, dipandangi Rio sampai segitunya.
"Eh, iya. Yuk, makan!" Ucap Rio gelagapan.
Rani dan Rio menikmati makan malam mereka. Namun belum sampai habis, Rani mulai bertingkah aneh. Wajahnya memerah. Rani mengipas-ngipaskan tangannya di depan wajah. Kadang juga menggerak-gerakkan kerah bajunya.
"Kamu kenapa, Sayang?" Tanya Rio, pura-pura tidak tau.
"Kenapa rasanya jadi gerah banget ya, Mas? Padahal ruangan udah full AC. Tapi tiba-tiba aja jadi panas banget." Keluh Rani sambil terus mengibas-ngibaskan kerah bajunya.
Mendengar keluhan Rani, Rio justru tersenyum miring. Sambil terus menerus menunggu, apa yang akan terjadi selanjutnya pada Rani.
Dan benar saja, beberapa saat setelah itu, Rani mulai meracau tidak jelas, meminta untuk segera dipuaskan. Tingkahnya juga lebih aneh. Dia menggeliat-geliatkan tubuhnya. Rio yang paham kalau obat perangsang yang ia teteskan pada minuman Rani sudah bereaksi, segera saja membawa Rani ke kamar hotel yang juga sudah dia pesan sebelumnya. Rio memang sudah merencanakan ini semua sebelumnya.
Di dalam kamar hotel, akhirnya, Rani dan Rio melakukan hubungan terlarang. Hubungan yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan yang sudah sah menjadi suami istri. Rani yang sedang berada di bawah pengaruh obat perangsang, tidak merasa terbebani sama sekali. Dia sudah tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Sampai akhirnya permainan selesai. Rani pun tertidur lelap, karena kelelahan. Sedangkan Rio, menyelimuti tubuh Rani untuk menutupi tubuhnya yang tidak mengenakan sehelai benangpun, setelah itu, Rio ikut berbaring di samping Rani.
"Kamu akan jadi milikku seutuhnya, Ran." Ucap Rio pelan, sambil mengecup kening Rani yang basah oleh keringat.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments