"Ada apa, mas?" tanyaku tanpa mau lagi basa basi, karena aku jujur tak nyaman melihatnya hadir dalam hidupku lagi. Rasanya ketenangan yang sudah kugapai akan menuai hembusan angin kencang lagi, ah entahlah. Semoga saja itu hanya pikiranku saja.
Terlihat Mas Ali menatap diri ini tanpa kedip, dan bibirnya tersenyum lebar. Rasanya sangat risih melihat ekspresinya yang menurutku sangat memuakkan.
"Apa kabar kamu, Hanum?" balas mas Ali bertanya tanpa menjawab pertanyaan ku. Sungguh mengesalkan.
"Baik." jawabku singkat dan hanya menunggu apa yang membawa langkahnya menginjak di rumah ini lagi.
"Alisia dimana?
Aku rindu sama anak perempuanku." kata pria di hadapanku dengan masih menatapku tak berkedip.
"Sekolah, ini kan masih jam sekolah.
Oh iya, kemana saja kamu selama ini, kenapa baru sekarang kamu bicara rindu pada anakku?
Apa aku gak salah dengar?" sahutku kesal, setelah sekian tahun baru muncul dan dengan entengnya me urut Alisia sebagai anaknya, kewajiban sebagai ayah daja tidak pernah dia berikan, dasar laki laki tidak punya rasa malu, dan itu hanya aku ungkapkan dalam hatiku dengan perasaan kesal luar biasa.
"Aku, aku kan ada diluar kota. Aku juga sibuk dengan pekerjaanku, iya kalau kamu, bisanya kan cuma menunggu bantuan." sahut pria yang kini menatapku dengan cemooh nya.
"Tapi setidaknya aku bisa menghidupi anakku dengan layak, dia tidak kekurangan apapun. Dan semua itu seharusnya dilakukan oleh ayahnya, tapi sayang, ayahnya sudah gila oleh istri barunya, dan lebih memilih menafkahi anak orang lain." sahutku kesal dan berhasil membuatnya tercengang dengan mulut menganga. Dasar laki laki tak punya otak.
"Mereka anak istriku, itu artinya juga anakku. Wajar aku menafkahi mereka." sahutnya tanpa merasa bersalah apa lagi berdosa. Benar benar tak punya hati nurani.
"Tapi dia anak laki laki lain, bukan darah dagingmu, lalu Alisia yang benar benar darah dagingmu tidak berhak kamu nafkahi, begitu mas?" balasku tak terima, enak saja dia kalau bicara, cara berpikirnya sungguh membuatku ingin menamparnya dengan sandal.
"Ya itu karena kamu yang sombong, Soo minta pisah segala. Jadi jangan salahkan aku kalau tidak kasih uang nafkah buat Alisia, kaku bukan istriku lagi. Aku tidak sebodoh itu, Hanum!" sahutnya dengan nada meninggi.
Ya ampun, ini laki laki waras atau otaknya sudah rusak. Tangan ini rasanya sudah gatal ingin memukul mulutnya itu.
"Hei, Ali!
Harusnya kamu itu periksakan otakmu di rumah sakit jiwa. Kewajiban ya tetap kewajiban, istri bisa jadi mantan, dan ya kamu memang tidak wajib kasih nafkah lagi. Tapi tidak ada yang namanya mantan anak. Darah tetap mengalir disana, dan kewajiban kamu tak harus kamu lupakan begitu saja, dasar kamu nya saja yang memang tidak punya nurani." sungutku kesal, tak lagi bisa menahan kemarahan di dada yang siap meledak. Benci sekali melihat wajah laki laki yang kini ada di hadapanku.
"Heleh, itu cuma alasan kamu saja. Bilang saja kamu mau minta di nafkahi. Aku tidak sebodoh yang kamu kira." sahut Ali dengan wajah sinisnya, senyuman miring dia tunjukkan padaku. Dasar laki laki gak waras.
"Sori ya, mas!
Aku tidak butuh uangmu, tanpa kaku hidupku jauh lebih baik, aku bahagia dan tidak kekurangan apapun. Tentunya kamu bisa melihat seperti apa kehidupan ku saat ini, bukan?" balasku pongah, orang sepertinya tak pantas di hormati. Dia pikir aku akan mengemis keperdulian padanya, oh tentu saja tidak. Dua yang akan mengemis padaku suatu saat nanti.
"Baguslah, jadi aku tidak perlu repot repot kasih uang nafkah untuk Alisia, kan?
Bukankah ibunya sudah kaya?" balasnya dengan tenang tanpa tau malu sedikitpun. Dasar laki laki kurang ajar, awas saja kamu, Ali!
"Oh tentu, aku maupun Alisia tak butuh kamu.
Dan seharusnya kamu juga harus tau diri dong, untuk segera pergi dari sini. Karena kami tak butuh kamu!" balasku dingin dengan tatapan tajam penuh kebencian padanya. Terlihat mas Ali langsung melebarkan matanya tak percaya.
"Kamu mau mengusirku, Num?" sahutnya dengan wajah memerah.
"Ya, begitulah!
Pintunya ada disebelah kamu, pergilah! kami gak butuh kamu disini!" balasku angkuh, dengan senyuman sinis ku arahkan padanya. Terlihat kedua tangannya mengepal dengan rahang mengeras, aku tau dia sedang sangat tersinggung karena aku mengusirnya.
"Dasar Perempuan sombong. Paling kamu juga jual diri. Lukisan SMA saja mau dapat kerja apa, paling juga jdi pelayan toko. Lha ini, rumahmu bisa berubah bagus dan sepertinya kamu juga bisa melakukan perawatan sehingga kelihatan semakin cantik, di bayar berapa satu kali pake?
Boleh dong aku jadi pelanggan kamu!" ucapnya tanpa berdosa, seolah aku terima dengan kata kata gilanya itu.
Plak! Plak!
Tangan ini sudah tak lagi bisa menahan untuk menamparnya. Dia harus di beri pelajaran agar tidak semakin merendahkan diriku.
"Jaga mulutmu, Ali!
Aku mendapatkan uang dengan cara halal, menggunakan otak juga tenagaku. Jangan samakan aku seperti istrimu itu, bisanya cuma ngangkang dan merayu suami orang. Harusnya kamu selidiki kelakuan istrimu saat kamu tinggal kerja, biar kamu bisa menjaga mulut comberan kamu itu, dasar manusia minim adab, tak tau cara menghargai jadi jangan minta di hargai!" dengan nyalang ku balas semua ocehan absurd nya. Terlihat Ali sangat murka dengan semua ucapanku tentang istrinya itu.
"Diam kamu, Hanum!
Jangan lancang dan jaga mulutmu itu.
Rani perempuan baik baik, dia istri yang penurut dan sempurna. Buktinya aku bahagia hidup dengannya. Lihatlah, aku semakin sukses dan Rani bukan perempuan penuntut sepertimu." jawab Ali berapi api membela istrinya, aah kasihan, kamu belum tahu seperti apa wajah istrimu yang sebenarnya.
"Oh takut!
Suatu saat kebenaran akan kamu dapati, mas!
Dan saat waktu itu tiba, jangan menyesal dengan ucapanmu saat ini. Hehehee, pergilah aku harus berangkat kerja. Dan Alisia tak butuh kamu, jadi jangan lagi datang ke rumahku?" balasku sengit dengan melipat kedua tangan di atas perut, lalu mengambil tas yang masih tergeletak di meja kerjaku.
"Bu Murni, tolong minta laki laki ini segera pergi, kalau dia tidak mau pergi, panggilkan saja warga dan pak RT untuk mengusirnya. Karena aku tak Sudi dirumahku ada tamu sepertinya." setelah mengatakan semua itu pada pembantuku, aku segera pergi dan menaiki motor matic milikku.
Aku yakin, Bu murni sanggup mengatasi Ali.
Dan soal Alisia aku tak lagi khawatir, karena pulang sekolah aku akan menjemputnya dan mengajaknya untuk ke toko, karena dia harus pergi les privat piano hari ini. Jadi anakku tidak akan bertemu dengan ayahnya hari ini, demi menjaga mental dan hatinya agar tak terluka oleh sikap gila ayahnya yang tak lagi punya hati nurani.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (ongoing)
#Coretan pena Hawa (ongoing)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (ongoing)
#Sekar Arumi (ongoing)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( ongoing )
New karya :
#Karena warisan Anakku mati di tanganku
#Ayahku lebih memilih wanita Lain
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Nor Azlin
bagus hanim kamu begitu keren sekali hajar itu Aslinya biar tau rasa ...mungkin Ali merasakan sudah bahagia dengan isteri barunya namun itu baru awal buat Ali ...kehancuran nya baru aja bermula kerana isteri baru yang nama Rani itu bukan lah isteri yang baik namun Ali terlalu buta kerana cinta mati sama si Rani
2023-03-08
1