"Halo Milanie?" kata Zaidan.
Seketika kata-kata Zaidan mengingatkan Aku di rumah itu. Trauma atas sikap Ibunya membayang-bayang di kepalaku. Membuatku merasa sesak dan sakit. Sehingga tanpa komando atau sebab apapun. Aku menangis saat itu juga.
"Hiks, hiks, hiks" suara tangis.
"Milanie ada apa?" kata Zaidan.
"Mas, bisakah Kamu mengerti atas maksudku? Aku ingin Kita selesai. Tapi kenapa Kamu masih saja seperti itu?" kataku.
"Milanie dengar. Untuk menyelesaikan masalah bukan harus pisah. Bisakah Kita perbaiki pelan-pelan? Aku tahu sikapku selama ini salah padamu. Sekarang Aku berjanji, Aku akan berubah lebih baik" kata Zaidan.
"Mengertilah, hatiku sudah sangat sakit. Aku sudah tidak ingin Kita lanjut" kataku.
"Pulanglah kemari! Ayo Kita mulai dari awal Milanie" kata Zaidan.
"Bukankah ini adalah rumahmu?" kata Zaidan.
"Meski rumah itu atas namaku. Tapi rumah itu bukanlah milikku Mas. Pada kenyataannya semua dibangun dengan hasil kerja kerasmu" kataku.
"Jika memang di pandangan orang yang sangat dihormati adalah orang yang menghasilkan uang. Maka lebih baik Aku bekerja saja. Dan mencukupi diriku sendiri. Dari pada direndahkan seperti sampah" kataku.
"Aku tidak pernah merendahkanmu Milanie. Kamu sudah mengorbankan hidupmu demi keluarga. Peranmu sangat penting di keluarga Kita Milanie" kata Zaidan.
"Semua orang memiliki peran masing-masing. Di keluarga, Aku sebagai pencari nafkah dan Kamu sebagai tiang pondasi keluarga" kata Zaidan.
"Bagaimana dengan Ibumu? Dia sangat menyayangimu. Karena sayangnya padamu. Membuatku ingin mengembalikanmu padanya" kataku.
"Tidak dipungkiri jika semua Ibu selalu menyayangi anaknya" kata Zaidan.
"Memang. Tapi jika demikian, ini sangat mempersulit posisiku Zaidan" kataku.
"Kalau begitu, ayo kita bertemu di kafe dekat air mancur ikan menganga" kata Zaidan.
"Untuk apa kesana?" kataku.
"Mari kita bertemu dan saling berbincang tentang hubungan Kita" kata Zaidan.
Karena Graha saat ini berada di rumah Zaidan. Aku terpaksa menyetujui pertemuan ini.
Walau sebenarnya dalam hati kecilku. Aku sudah tidak ingin berhubungan dengan Mereka lagi.
...****************...
Malam itu, Aku memenuhi ajakan Zaidan untuk bertemu di kafe dekat air mancur yang menganga.
Entah memang sengaja atau tidak. Zaidan membawaku ke tempat bersejarah saat Aku masih menjadi Karyawatinya dulu.
Mengenakan pakaian kaos Navy dan celana trining tebal berwarna abu-abu. Kali ini penampilanku sederhana. Seperti kebiasaanku sehari-hari.
Zaidan datang masih mengenakan jaz berwarna hitam.
Tampaknya setelah pulang bekerja Dia langsung bergegas kemari.
Kami duduk saling berhadapan.
Sudah sejak tadi mata Zaidan terpaku kepadaku.
"Apa yang ingin Kamu bicarakan" kataku memecahkan suasana yang hening.
"Pertama, bisakah Kamu menyingkirkan egomu sedikit?" kata Zaidan.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Jangan bilang kata pisah karena egomu. Sekarang pikirkan Graha. Dia pasti membutuhkan seorang Ayah" kata Zaidan.
"Kenapa Kamu berfikir tentang egoku? Lalu bagaimana dengan egomu dan Ibumu? Tidakkah perlu dipertanyakan?" kataku.
"Seorang istri, tidak akan meminta pisah pada Suaminya. Jika Dia dihargai, dicintai dan diperhatikan. Tapi jika seorang istri dianggap sebagai budak pada suami dan keluarga suaminya. Tentu saja Dia berhak meminta cerai. Karena Dia, memiliki hak atas dirinya" kataku.
"Sekarang begini, Apa yang Kamu mau akan Aku turuti. Kamu bilang kamu memiliki hak kan atas dirimu" kata Zaidan.
"Sudah Aku bilang kita lebih baik pisah. Itu mauku" kataku.
"Huzzzztt, tolong jangan katakan itu Milanie. Aku akan menurutimu selain permintaanmu yang itu" kata Zaidan.
"Aku sadar diri kok mas. Banyak perempuan yang lebih cantik, sexy dan pintar di luar. Dengan statusmu adalah seorang CEO. Tentu saja itu hal yang mudah untukmu mendapatkan salah satu dari Mereka. Tapi, bagiku rumah tangga itu bukan hanya tentang uang. Uang adalah kebutuhan jasmaniku. Lalu bagaimana dengan kebutuhan rohaniku?" kataku.
"Setelah menikah, wanita akan menjadi tahanan. Membuat lingkup hidup sosialnya menjadi ciut. Hanya ada Ibu, Ayah, anak dan suaminya. Dari semua keluarga. Seorang istri pada siapa lagi Dia bergantung jika bukan pada Suaminya?" kataku.
"Tentu saja Aku butuh perhatian, kasih sayang dan uluran tanganmu" kataku.
"Baik Aku mengerti. Kamu ingin Aku harus bisa mengimbangi antara kebutuhan jasmani dan rohanimu. Aku akan usahakan" kata Zaidan.
"Bagaimana?" kata Zaidan.
"Dan Aku tidak akan meminta cerai jika Ibumu bisa menerimaku seperti halnya Dia menerima anak kandungnya" kataku.
"Tapi semua itu hanyalah lelucon belaka" tambahku.
"Lalu apa yang Kamu inginkan?" kata Zaidan.
"Apa tanggung jawab seorang suami atas istrinya?" tanyaku.
"Tanggung jawab, rohani atas cinta dan kasih sayang. Serta jasmani seperti makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan menggauli istri secara Makruf" kata Zaidan.
"Aku tidak menuntutmu untuk melakukan semuanya. Karena Aku tahu itu berat, Aku akan membantumu salah satu tanggung jawabmu. Tapi, Aku tidak bisa mas menjadi 1 atap dengan Ibumu" kataku.
"Kalau begitu, mari Kita cari rumah untuk tempat tinggalmu dan Graha" kata Zaidan.
"Sepertinya itu yang terbaik. Meski rumah itu atas namaku. Pada kenyataannya semua adalah dari hasilmu mas. Tentu Ibumu merasa lebih berhak dariku. Karena Kamu adalah anaknya" kataku.
Seketika Aku menatap Zaidan dalam-dalam.
Tangan Zaidan meraih tanganku yang sedang terlipat di atas meja.
Zaidan memegang tanganku dengan sangat lembut.
Mata Zaidan menatapku dengan begitu sayu.
"Beri Aku kesempatan lagi. Aku berjanji akan berubah" kata Zaidan.
Air mataku seketika menetes. Rasa batinnya memancarkan sebuah ketulusan.
Dalam lubuk hatiku yang dari dalam.
Bukankah suatu anugrah mempunyai suami seperti Zaidan?
Tapi, pada kenyataannya semua manusia tidak ada yang sempurna.
Dan tidak akan luput dari sebuah kesalahan.
Kali ini, lagi-lagi Zaidan berhasil meluluhkan hatiku yang tadinya sudah mengeras seperti batu.
Dan akhirnya Aku memberikan kesempatan yang kedua padanya.
Demi menciptakan keluarga yang utuh. Harus memang ada salah satu yang mengalah.
Jika kedua pasangan lebih teguh dengan ego masing-masing.
Pasti akan ada perpisahan.
Kunci keluarga adalah keterbukaan dan saling pengertian satu sama lain.
Saat itu, Zaidan mengajakku pulang ke rumah.
Karena tahu Aku alergi bau mobil. Zaidan segera mengambilkan permen karet di sakunya. Lalu menempelkan permen itu ke hidungku.
Saat Zaidan menempelkannya pada hidungku. Wajah Kami sangat dekat. Membuat detak jantungku berdebar tak karuan.
Ditambah lagi perilaku Zaidan yang lembut. Membuatku tidak ingin menatap matanya. Karena takut akan lebih salah tingkah.
Zaidan meraih daguku dan mendongakkan kepalaku pelan.
"Kamu, sangat cantik Milanie" kata Zaidan.
Segera Aku memundurkan wajahku. Dan menghindar.
"Dasar! maniak hati wanita yang fasih" batinku.
"Sudahlah, jangan banyak omong kosong. Cepat kita naik. Aku sudah rindu sama Graha" kataku.
Aku berjalan menuju mobil dan naik di kursi duduk sebelah kiri kursi sopir.
Tanpa ingin Zaidan tahu. Bahwa perilakunya yang demikian berhasil membuat ledakkan di jantungku.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
ig: pocipan_pocipan
wow, trauma jg ya kak
btw aku salut ni sama Kaka author penulisannya bisa dalam bahasa yang keren banget menurut aku .
2024-04-17
1
Anita Jenius
Cici baca sampai sini dulu ya. semangat lanjutkan ceritanya ya kak.
2024-04-15
1
Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)
amiiin
2023-11-21
1