"Ayah meminta agar kita tinggal di rumahnya." ucap Bram pada akhirnya, nafasnya menjadi sangat lega setelah mengatakan hal itu dengan kata-kata yang pas.
Habibah menatap Bram dengan mulut sedikit terbuka, ia tak menduga jika hal penting itu adalah ajakan untuk tinggal di rumah mertuanya.
"Bukan aku yang menginginkannya." sambung Bram lagi merasa tak nyaman dengan tatapan Habibah.
"Aku tahu." Habibah menjadi salah tingkah menyadari sikapnya baru saja.
Sejenak kemudian keduanya terdiam, suasana canggung tercipta begitu saja. Terlebih lagi Bram yang semakin bingung harus berkata apa selanjutnya.
"Kapan?" tanya Habibah tak menoleh Bram yang duduk berjarak sampingnya.
Bram yang menoleh kali ini, menatap sekali lagi wajah gadis yang menyamping dan menunduk itu. "Malam ini.
"Malam ini? Apakah tidak besok saja?" tanya Habibah mengangkat wajahnya menoleh sekilas.
"Ayah meminta malam ini." membuang pandangannya.
Habibah beranjak dari duduknya, kembali masuk ke kamar tanpa menjawab ucapan Bram.
Hingga hampir tiga puluh menit, beberapa kali Bram melihat pintu kamar Habibah belum juga keluar. "Apa yang dia lakukan?" gumam Bram merasa penasaran.
Tak lama setelahnya Habibah keluar membawa koper besar di belakangnya.
Bram menatapnya dengan heran. "Kau sudah siap?" tanya Bram merasa tak yakin. Sekali lagi matanya menangkap bingkai wajah sempurna Habibah.
"Kau bilang malam ini, apa ada yang salah?" tanya Habibah berdiri di depan kamarnya dengan sedikit make up tipis, agar tak terlalu kusut saat datang ke rumah mertua.
Lagi pula ini adalah kedatangan pertama, juga akan menjadi pertemuan pertamanya dengan ibu mertua yang kemarin berada di Singapura.
"Baiklah." Bram beranjak dari duduknya, meraih kunci mobil dan berjalan lebih dulu tanpa membantu Habibah membawa koper miliknya. Tentu saja gadis bertubuh mungil itu terseok-seok membawa koper yang berisi penuh dengan pakaian.
Bram membuka bagasi mobilnya, lalu mengangkat koper Habibah ke dalamnya.
"Masuklah." perintah Bram kepada istrinya.
Habibah segera masuk dan mereka melaju menuju rumah Bram, yang berjarak lumayan jauh.
Satu jam kemudian. Mereka tiba di sebuah rumah dua lantai yang lumayan mewah, ada taman dan halaman yang luas, sepertinya adalah tempat olah raga, tampak dari net badminton terbentang di bagian samping halaman.
Bram keluar lebih dulu mengeluarkan koper Habibah dan membawanya masuk. Habibah tak bersuara meskipun heran melihat Bram membawa kopernya. 'Mungkin karena sedang di rumahnya, dan ada ayahnya.' begitu Habibah berpikir.
Mereka melangkah masuk ke dalam rumah itu.
"Assalamualaikum." Suara Habibah terdengar lembut membuat dua orang yang duduk di ruangan itu menoleh mencari sumber suara.
"Wa'alaikum salam putriku Habibah sudah datang." Frans berdiri bersama istrinya yang tampak butuh bantuan untuk beranjak dan berjalan.
Habibah meraih tangan ibu mertuanya lebih dulu. " Ibu, maafkan Habibah yang terlambat bertemu denganmu." ucapnya lagi terdengar merayu.
Wanita tua itu tersenyum senang, memandangi wajah cantik Habibah yang menurutnya alami dan menenangkan. "Ibulah yang harusnya minta maaf, tidak menyaksikan bagaimana kalian menikah." ucapannya sedikit bergetar, matanya tampak sayu, namun tak juga beralih dari wajah menantunya.
"Ibu sakit?" tanya Habibah pelan, Habibah benar-benar tidak tahu perihal itu.
Ibu melirik Bram putranya, tampak pria itu menggaruk-garuk kepalanya yang jelas tidak gatal. "Bram tidak bercerita padamu?"
Habibah menoleh suaminya, lalu menggeleng.
"Ya, ibu sakit sejak lama." jawabnya tersenyum.
"Bram bawa barang Habibah ke kamar kalian, sepertinya ibumu masih ingin mengobrol dengan istrimu." Frans memerintahkan putranya, membawa koper Habibah ke lantai atas.
Frans juga meninggalkan menantu dan istrinya mengobrol, naik ke lantai dua menyusul Bram, dia perlu bicara.
"Ayah!"
Frans sengaja mengejutkan putranya. Laki-laki paruh baya itu masuk ke dalam kamar Bram dan Habibah.
"Ingat! Perlakukan dia dengan baik, dan bukan hanya aku yang akan kecewa jika sampai kau menyakitinya." Frans sedikit menakut-nakuti.
Bram berdecak kesal, menoleh ayahnya.
"Kau lihat sendiri jika ibumu menyukainya. Mengecewakan istrimu sama artinya kau sedang mengecewakan ibumu."
"Aku tahu." kesal Bram enggan berdebat, dia hanya berpikir jika enam bulan itu segera berlalu.
Frans mengangguk-angguk kemudian berlalu pergi meninggalkan kamar itu.
Satu jam kemudian, Habibah naik ke lantai dua dengan bingung. Dia tidak tahu dimana kamarnya, tapi sepertinya lantai dua tersebut tak ada orang selain Bram.
Habibah menarik nafas berat, membayangkan bagaimana Bram sungguh tidak menyukainya. Langkahnya gontai menuju pintu kamar yang sedikit terbuka, tampak cahaya terang di sana. Mau tak mau ia melangkah masuk.
Hal yang pertama ia lihat adalah koper miliknya, artinya benar jika itu adalah kamar mereka. Ah tidak, dia meralat pemikirannya, itu hanya kamar Habibah karena Bram tak ada di sana.
*
*
*
Pagi itu Habibah sengaja bangun lebih awal. Seperti kata orang, tinggal di rumah mertua harus pandai membawa diri, sekalipun ibu mertuanya baik dan menyayangi Habibah, tetap saja ia harus turun walau hanya sekedar menemani asisten rumah tangganya memasak. Dia terlalu banyak berpikir.
Habibah bangun dan beranjak dari tidurnya yang sejak awal miring dan bangun tetap di posisi yang sama. Mungkin karena sudah terbiasa seperti itu.
Habibah menoleh ke belakang berniat akan membuka gorden jendela terlebih dahulu. Namun matanya di kejutkan dengan sosok yang masih meringkuk, tidur tepat di sampingnya memeluk guling.
"Mas Bram." ucapnya masih tak percaya.
Tentu suara Habibah itu mengganggu, Bram menggeliat dan membuka matanya.
"Ada apa?" tanya Bram dengan mata yang masih sulit terbuka.
"Mas tidur di sini?" tanya Habibah masih meyakinkan diri sendiri.
"Tentu saja, ini kamarku." ucapnya lalu duduk melipat kakinya.
"Bukankah ini kamarku?" tanya Habibah sedikit menggerutu.
"Ya, kamarmu juga kamarku." kesal Bram malas.
"Harusnya kau tidur di tempat lain?" ucap Habibah lagi.
Bram menatap Habibah dengan sedikit marah, ia memajukan tubuhnya, mendekatkan wajahnya dengan Habibah.
"Kau dengar, mulai sekarang kita tidur bersama. Jangan banyak bicara apalagi banyak tingkah, atau aku akan_" ucapan Bram terhenti.
"Akan apa?" Habibah menantangnya tanpa memundurkan wajahnya atau berpaling dari wajah suaminya yang menyebalkan.
"Akan marah, karena aku tidak mencintaimu." ucapnya beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.
"Baru saja punya peluang untuk dekat, dia sudah mengingatkan aku lagi perihal cinta yang bertepuk sebelah tangan." Habibah bergumam dengan nafasnya yang berat.
Pagi yang cerah itu mendadak berubah menjadi mendung dengan ucapan tidak cinta dari Bram. Sudah tentu Bram hanya mencintai Larisa saja.
Suasana mendung itu ikut terbawa hingga di kantor, bekerja dengan semangat yang hanya setengah, makan siang pun rasanya hambar di lidah.
"Apa kau sedang sakit?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments