Habibah mengusap air matanya yang mengalir namun kemudian mengalir lagi seperti sungai yang tak pernah putus. Duduk sendiri di dalam ruangan miliknya. Harusnya dia yang saat ini menyebut Rudy utama sebagai ayahnya, harusnya dia pula yang saat ini marah, sedih dan meminta Bram segera mengakhiri hubungan tak halal itu, dia yang menangis dan merengek sedih dalam pelukan Bram suaminya.
Pintu ruangan Habibah di buka dari luar, membuat gadis itu terkejut bukan main, segera menghentikan tangisnya hingga perutnya terasa menyusut mendadak.
Frans menutup kembali pintu ruangan Habibah. "Maafkan Ayah." ucapnya mendekati menantunya itu.
"Mengapa kau membiarkan aku menikah dengan Mas Bram jika sudah tahu bahwa ia memiliki wanita yang jelas dicintainya?" tanya Habibah masih dalam sesenggukan.
"Itu permintaan Kakek Tuan Raharja." jawab pria paruh baya itu masih menatap Habibah.
"Lalu mengapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya dengan Kakek, apa kau sengaja membuat aku menderita?" kesal Habibah lagi tak mau menatap ayah mertuanya. Terlebih lagi air matanya malah kembali mengalir tak mau berhenti.
"Tidak. Ayah tidak ingin kau menderita." jawab Frans terdengar sedih. "Itu sebabnya kau harus lebih kuat dari mereka. Rebut hati suamimu, juga Ayahmu. Mereka terlalu bodoh tidak mengetahui kehadiranmu."
Habibah menatap ayah mertuanya, menyeka berulang-ulang air mata di wajahnya.
"Aku tidak yakin akan mampu." jawab Habibah menunduk pasrah, menatap kertas-kertas di atas meja dengan rumit.
"Kau harus bisa, aku bersamamu." ucap Frans lagi, berbalik menuju pintu mungkin menantunya butuh waktu.
"Ayah." panggil Habibah lagi.
Frans berhenti dan menoleh.
"Apakah Ayah pernah mencintai ibuku?" tanya Habibah, berharap jawabannya tidak terlalu menyakitkan.
Frans mendekati Habibah kembali. "Ayahmu dan ibumu juga di jodohkan, tapi saling mencintai pada akhirnya. Hingga malam kehancuran itu tiba. Ibumu mendapati ayahmu mabuk dan tidur bersama wanita lain di kantor ini. Mereka bertengkar hebat. Tapi tak sampai disitu saja, beberapa waktu kemudian wanita itu mendatangi ibumu dan mengungkapkan bahwa dia hamil. Dan saat itu ayahmu tidak tahu jika ibumu juga sedang hamil."
"Bagaimana dengan kakek?" tanya Habibah semakin penasaran.
"Kakek mu mengusir ayahmu yang bersikukuh menikahi wanita itu. Kakek mu mempertahankan ibumu hingga kau lahir dan ibumu meninggal. Kakek mu meminta saudara jauh ibumu mengasuh mu hingga dua tahun, sebelum akhirnya Bibi mu memutuskan untuk membawamu ke pesantren milik suaminya." jelas Frans mengenang masa-masa itu begitu rumit dan menyedihkan.
"Artinya Larisa saudaraku." Habibah semakin terhenyak.
Frans mengernyitkan keningnya.
*
*
*
"Ayah, bisakah hutang budi mu kepada kakek Habibah itu di bayar dengan cara yang lain saja, aku tidak tega melihat Larisa bersedih." ucap Bram di siang itu.
Frans menautkan alisnya, kemudian terkekeh.
"Ayah akan memberimu waktu enam bulan untuk menilai mereka, Habibah dan Larisa. Jika Larisa lebih baik, maka kau boleh meninggalkan Habibah. Tapi jika terbukti Larisa tidak lebih baik daripada Habibah, maka kau harus melupakan gadis itu untuk selamanya."
Bram tersenyum senang, mendengar waktu enam bulan itu baginya sangat singkat, dia ingin segera menyingkirkan Habibah dari hidupnya, dan segera menikahi Larisa.
'Kau dan Rudy menjadi pria bodoh yang sedang dikendalikan oleh wanita-wanita licik itu. Tentu saja aku tidak akan tinggal diam, terlebih lagi ini menyangkut anak menantuku.'
Rudy menatap penuh arti kepada putranya yang kini tersenyum senang.
"Aku setuju." Bram sungguh bersemangat kali ini.
Tunggu dulu." Frans menghentikan putranya yang akan beranjak dari kursinya.
"Ajak Habibah tinggal di rumah kita. Perlakukan dia dengan layak, jangan pernah menyakiti Habibah selama enam bulan itu." Frans mengacungkan telunjuknya di hadapan wajah Bram.
Pria itu berdecak kesal, mengusap wajahnya tak mau menuruti keinginan ayahnya.
"Kau sudah setuju, seorang laki-laki hanya kata-katanya yang bisa di pegang." ucap Frans lagi.
"Tapi tadi Ayah_"
"Jika seorang laki-laki mengingkari kata-katanya, artinya dia pengecut!" Frans tersenyum penuh arti.
"Baiklah." Bram terpaksa setuju, lagi pula hanya enam bulan. Ia kembali tersenyum setelah berada di luar ruangan ayahnya.
*
*
*
Larisa duduk sendiri di atas ranjang miliknya. Setelah bertemu Bram tadi pagi ia malah tak bisa berhenti memikirkan pria itu. Menyandang status suami tanpa memberi tahu dirinya, malah terlihat biasa saja saat malam itu ia baru saja pulang dari London.
"Tunggu!" Larisa mengingat sesuatu.
"Wanita itu!"
Larisa segera turun dari ranjangnya menuju ruang keluarga mencari ayahnya. Ia mengingat wanita yang mendatangi Bram hingga Bram meninggalkan ia malam itu.
"Dia pasti istrinya." gumam Larisa lagi, langkahnya semakin cepat mencari keberadaan sang ayah.
Tampak pria gagah berusia Empat puluhan itu duduk menyandar sedang menonton televisi.
"Papa." panggil Larisa terdengar tak sabar.
Pria itu menoleh. "Ada apa Sayang?" tanya Rudy kepada putrinya Larisa.
"Papa, siapa nama wanita yang memakai kerudung itu? Tadi pagi aku melihatnya saat keluar dari ruangan Papa bersama om Frans." Larisa memeluk lengan Rudy, menunggu jawaban ayahnya dengan tak sabar.
"Oh, dia Habibah." jawab Rudy.
"Baiklah."
Larisa melepaskan lengan ayahnya, meninggalkan ia kembali ke kamar dan kembali berpikir untuk melakukan sesuatu.
Gadis itu berjalan ke sana kemari sambil menggigit kukunya. Dia benar-benar berpikir keras untuk segera menyingkir Habibah.
Sementara di rumah Habibah, kecanggungan akan selalu mewarnai suasana di rumah itu. Sepi dan hampa, bahkan pura-pura tak melihat ketika tak sengaja melihat.
Habibah berjalan menuju rumah keluarga, tetap dengan gaun tidur yang panjang dan menutup kepalanya.
Tangan lentiknya mulai menekan tombol pada remote tersebut. Duduk menyandar dan menikmati acara santai di malam itu.
"Habibah." panggil Bram tiba-tiba, membuat Habibah terkejut dan sontak menoleh pada pria yang berdiri dekat dengan sofa yang didudukinya.
"Ada apa Mas Bram?" jawab Habibah pelan.
"Aku ingin bicara." ucap Bram lagi.
Habibah berpikir sejenak, menatap manik mata hitam pekat milik Bram yang tampak hangat.
Habibah menunduk kemudian, ia sedang mengingat jika tadi pagi Larisa memintanya untuk menceraikan Habibah.
"Bicara saja Mas." suaranya semakin pelan, hatinya sedang bersiap dengan apa yang akan disampaikan suaminya.
"Habibah, sebenarnya aku ingin_, ingin..."
Mata keduanya beradu dalam jarak lumayan dekat kali ini. Mendadak Bram serba salah ketika duduk satu sofa dengan Habibah. Entah mengapa wajah sendu dan bibir merah alami Habibah membuatnya gugup.
"Katakan saja Mas." ucap Habibah lagi.
Bram mengusap wajahnya, dia jadi semakin salah tingkah. 'Sial, mengapa aku jadi gugup begini, sepertinya keberanian ku tertinggal entah dimana.' gumam Bram di dalam hati.
Sedangkan Habibah juga semakin menggenggam erat remote di tangannya. 'Pasti Mas Bram sedang memilih kata-kata yang tepat untuk menceraikan aku'.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Hana Nisa Nisa
suka
2024-03-14
1