Setelah pulang ke rumah, Febri harus dihadapkan oleh pekerjaan yang menumpuk. Dari mengepel dan menyapu, hingga menyetrika baju. Tidak lupa pula, memasak untuk makan malam mereka.
Mau menangis, akan tetapi tidak bisa. Febri hanya mampu menjalani ini semua dengan ikhlas. Sebab, memang tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga yang baik.
Yusuf yang tahu jika istrinya seharian ini bekerja keras, tidak tega dan berniat ingin membantu. Mengurangi pekerjaan sang istri, akan tetapi niat sebaiknya dihentikan oleh sang ibu.
"Mau ngapain, kamu, Suf?"tanya Ibu Sella. Ketika melihat putranya beradaa didapur.
"Mau masak, Bu," jelas Yusuf dengan celemek yang melekat dibadan bidangnya dan mulai memotong-motong sayuran.
Ibu Sella mengendus kesal dan meminta agar putranya itu meninggalkan pekerjaan tersebut, lalu menyuruh istrinya untuk mengerjakannya.
Namun, Yusuf membujuk ibunya dan memberikan pengertian. Jika, ia ingin memasakan sang ibu makan malam yang spesial.
Jurus jitu Yusuf berhasil, Ibu Sella membiarkan putranya itu memasak dan memilih duduk di ruangan tamu, lalu menonton televisi.
Acara drama koreanya selalu di sore hari, membuat Ibu Sella malas melakukan apapun dan memilih uring-uringan di depan televisi. Lalu, menonton acara favoritnya itu.
Sedangkan Febri harus mengusap keringat yang terus bercucuran, seperti keran bocor. Kemeja putihnya, menjadi basah dan kotor. Baju yang dulu amat dibanggakannya, sebab bisa bekerja di perusahaan besar di tempatnya sekarang tidaklah mudah. Banyak, perjuangan dan kerja keras yang diabaikan untuk berada di posisi sekarang.
Suara sang suami, menghentikan aktivitas mengepelnya. "Dek, kamu mandi dulu. Sudah senja ini! Tidak baik untuk perempuan menunda mandi hingga malam!" perintah Yusuf dan langsung dikerjakan oleh istrinya itu.
"Dek, semoga semua perbuatanmu dibalas Tuhan berlipat ganda," guamam Yusuf berharap seraya memandang punggung istrinya yang telah menjauh.
***
Malam harinya.
Setelah makan malam bersama, Ibu Sella mulai memancing pembicaraan dengan sang putra.
"Suf, istrimu tidak patuh sama Ibu!" adunya dengan nada yang dibuat-buat sedih. Seolah dirinya yang dizalimi. Sedangkan Febri hanya mampu membuang nafas panjang, drama indosiar dimulai.
Yusuf tidak langsung menanggapi apa yang dikatakan oleh ibunya, dia menanyakan hal itu kepada sang istri terlebih dahulu.
"Benar, Dek?"
Dengan raut wajah masam, Febri menjelaskan. Jika, ia lupa pamit sama Ibu Sella. Karena, dia tidak mau mengganggu waktu ngerumpi mertuanya ditempat abang sayur.
Yusuf berusaha untuk selalu bijaksana dalam menghadapi suatu permasalahan, dia kembali menanyakan hal tersebut kepada sang ibu. Menjadi perantara yang menyambung hubungan antara ibunya dan sang istri, sebab Yusuf tahu. Jika, ibunya tidak pernah menganggap sang istri seperti anaknya sendiri.
"Apa benar yang dikatakan oleh, Febri, Bu?"
Ibu Sella merasa kalah saingan dengan menantu–nya dan mencari-cari alasan, agar Febri dimarahi oleh Yusuf.
"Dari pagi, Suf! Sebelum Ibu ke tempat Amang sayur. Istrimu mau nyelonong aja, gak mau bantuin, Ibu."
Febri tidak terima akan apa yang dikatakan oleh mertuanya itu dan langsung protes.
"Aku harus kerja, Bu! Lagian, hanya nyuci piring? Masa Ibu gak bisa ngelakuinnya sendiri?" jelas Febri kesal akan drama yang dimainkan oleh mertua–nya itu.
"Dek, jangan tinggikan suaramu di depan Ibu," pinta Yusuf lemah–lembut. Namun, diartikan lain oleh Febri. Dia merasa jika suaminya lebih memilih sang ibu daripada dirinya.
Febri berlalu begitu saja, meninggalkan sumai dan ibu mertuanya. Dia memilih mengurung diri dikamar, sedangkan Yusuf berusaha memberikan pengertian kepada ibunya. Agar mengerti akan keadaan Febri yang memiliki pekerjaan diluar.
Tidak serta-merta, menjadikan istrinya. Harus menyelesaikan pekerjaan rumah, sedangkan Febri juga memiliki pekerjaan yang lain.
"Jadi, kamu belain Febri? Daripada ibu, gitu? Yang selama ini membesarkanmu dengan susah–payah. Hingga, kamu bisa lulus sekolah dan bekerja? Jadi, ini balasan yang Ibu dapat untuk semua pengorbanan yang telah Ibu lakukan?"
Pertanyaan-pertanyaan menohok tersebut, membuat Yusuf tidak mampu berkata apa-apa lagi dan memilih untuk menyusul istrinya ke kamar. Meninggalkan omelan panjang kali–lebar sang ibu. Daripada dia melawan yang akan berujung jadi Maling Kundang? Lebih baik, ia menghindar.
Yusuf mendorong pelan daun pintu dan masuk kedalam, serta mengunci pintu kamar mereka. Takut-takut, jika ibunya tidak puas marah-marah sendiri dan menghampiri mereka.
Didekatinya sang istri yang tengah berbaring dengan menyelimuti seluruh badannya, dipanggilnya lembut wanita itu. "Dek … kamu masih marah?"
Isak tangis yang susah payah Febri tahan akhirnya pecah juga, dia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan langsung memeluk sang suami. Tangisnya pecah didalam dekapan hangat suaminya, tempat paling nyaman yang ia miliki setelah sang ayah.
"Dek, maafkan Ibuku, ya? Dia memang suka berbicara kasar, tapi hatinya baik ko'," jelas Yusuf seraya mengusap rambut panjang sang istri dan menghirup aroma sampo yang masih melekat di setiap helai rambut.
Bagaikan aroma terapi yang menenangkan jiwa, menjadi candu untuk Yusuf.
"Mas, kenapa Ibu seperti itu? Aku dah berusaha keras untuk menjadi istri yang baik untukmu. Tapi, seolah semua itu tidak ada artinya bagi Ibu," jelas Febri menumpahkan perasaan sakitnya. Dia merasa usahanya selama ini sia-sia, sebab sang ibu mertua selalu saja mencari-cari kesalahannya.
Disaat seperti ini, membuat Febri rindu akan almarhum ibundanya. Ibu Mariana sangat lemah–lembut dan penuh kasih sayang dalam mendidiknya. Bahkan, tidak pernah memaksakan kehendaknya pada Febri.
"Sebab … Ibu Yana, Ibu kandungmu. Sedangkan ini, ibuku, Dek. Walaupun sama-sama ibu? Mereka orang yang berbeda," jelas Yusuf yang mengira jika istrinya menangis. Karena, merindukan almarhum ibunya.
Febri mengusap air mata yang membasahi pipinya dan menatap lekat wajah sang suami dan menanyakan hal yang menohok.
"Aku tahu, Mas. Jika, dia ibumu! Bukan, ibuku. Tapi, boleh tidak? Jika, aku meminta dia menjadi seperti ibuku? Mas, tahu sendiri! Jika, Ibu pernah mengakui aku anaknya! Dia selalu mengatakan, jika aku hanya menantu!" jelas Febri merasa kecewa dengan sikap Ibu Sella kepadanya.
Yusuf mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan, dia menanyakan apa yang diinginkan oleh istrinya ketika nanti dirinya gajian.
"Mas, mau kasih beliin kamu hadiah? Jadi, kamu mau apa?" tanya Yusuf dengan antusias. Namun, berbeda dengan Febri. Dia hanya tersenyum kecut mendengar apa yang diucapkan oleh suaminya. Memang benar, besok mereka akan gajian.
Akan tetapi, gaji suaminya dibawa gaji miliknya. Ditambah, harus dibagi tiga. Antara dirinya, sang mertua dan suaminya. Gaji pokok seorang office boy hanya dua juta per–bulan, dibagi tiga. Hanya menyisakan enam ratus sekian.
Febri hanya mampu gigit jari, untung rumah yang mereka tempati milik orang tuanya. Sedangkan, rumah dinas untuknya ditinggali oleh sang ayah. Jika, tidak? Febri tidak mampu membayangkan apa yang terjadi dalam rumah tangganya yang baru berusia sejagung.
"Dek, jadi kamu mau apa?"
Pertanyaan sang suami membuatnya, terkejut dan salah tingkah, "Hah … mau yang itu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Lina Zascia Amandia
Likenya yang mampir duluan.
2023-03-04
0