David menyeringai sekali tepuk dua lalat tertangkap. Dia mendapatkan bibir Lena dan juga murka Shinta. "Ah."
Kelopak mata David itu memerjap dan bibirnya menambah jarak dengan Lena. Tangan kekar itu menahan tas Shinta, yang tadi hampir mengenai kepala Lena.
Dalam gerakan cepat si jakung menarik Lena untuk berdiri. Tas Hermes ditangannya di banting dengan penuh kebencian yang sudah mendarah daging. Kemudian dia memeluk pinggang Lena begitu lembut dan menatap tajam Shinta. "Wah, ada Shinta rupanya?"
"David apa yang kamu lakukan dengan dia?" Shinta memandang jijik bergantian pada David, dan volunteer, setelah memandang tas kesayangannya yang teronggok di lantai karena bantingan David.
"Dia pacarku, Shinta." David tersenyum masam. "Sejak hari ini dan seterusnya."
"Oh David, kamu sangat gila. Pacar? Bagaimana jika pacarku sampai mendengar ini dan salah paham!" batin Lena.
Shinta tertawa. "Kau serius? Dengan dia? kita mau menikah loh, David. Beraninya kau mengkhianatiku."
"Karena itu, aku mengakhiri hubunganku denganmu."
"TIDAK BISA."
"Mengapa tidak bisa, Shinta?"
"Aku yakin kamu akan meninggalkan dia segera setelah Liga ini selesai." Shinta geleng-geleng kepala dan pergi begitu saja.
David melonggarkan pelukan dan bibirnya terus berkedut atas kepergian Shinta. Lena langsung melepaskan diri. Makanan baru diantar pramusaji, tetapi Lena yang akan duduk kemudian ditarik David.
"David, itu makanannya sayang," lirih Lena. Alisnya menyatu dan bibir itu mengkerut. Gagal makan enak. Kapan lagi bisa makan domba mahal.
Lena menoleh ke makanan enak itu. Dia mendengus karena David tetap membayar, tetapi perutnya tetap lapar, dan makanan itu tak dibungkus. Gadis yang kelaparan itu berulangkali mengulangi pertanyaan dengan kesal, bahkan sampai di dalam mobil.
"Kau tidak lihat aku sedang sedih?dan kau memikirkan makanan?"
"Loh, bukankah kau bawa aku kesini untuk makan? Kalau kamu sedih, kamu harus isi perutmu, baru setelah itu kau lanjutkan sedihmu itu. Kau juga perlu tenaga. Aku lelah sudah menunggu, masih hampir dipukul pula. Setidaknya nasi itu tadi dibawa pulang. Ngak usah pake lauknya. Nasi saja. Jadi, nggak kan rugi-rugi banged-"
Pria itu justru memajukan kepala di depan wajah Lena yang mau menangis hingga membuat mulut yang mengerucut itu diam. Gerutuan perempuan itu benar-benar membuat David menggeram, sialnya terus mendengung di dalam pikiran. Dia membuka pintu mobil dengan tatapan memercikan racun. "Tunggu, Nona Lena Paramita, aku bungkus!"
Lena langsung tertunduk setelah David pergi. Dia meringis sambil menggetok kening sendiri berulangkali, tetapi lalu tersenyum dengan perasaan malu. Kenapa tatapan deep blue itu galak, tetapi menggemaskan.
Di dalam restoran, David memesan lagi menu seperti tadi. Kasir minta David menunggu karena makanan yang sudah dibayar tadi sedang dibungkus. Dari pada menunggu, David bergegas ke toilet dan bertemu Axel. Di sana lagi-lagi menemukan Shinta, kali ini ada Axel yang sedang merekam mereka.
"Kau lihat, kan, Tara? Dia selalu mengikuti kemana pun aku pergi. Sekarang dia mulai berani memamerkan gadis di depanku." Shinta terhimpit Tara di tembok walau tak saling bersentuhan.
"Aku tahu gadis itu bukan seleranya David, tapi kamu perlu menawarkan uang pada gadis itu agar menjauh, sayang? Jadi posisimu aman dan tak terkalahkan. Lalu, kau akan tetap menjadi menantu satu-satunya kesayangan Leora," balas Tara.
David menggertakan gigi dan berbalik lagi, membatalkan diri ke toilet. Dia tak habis pikir perempuan seperti itu benar-benar bisa membuatnya kecewa. Sialnya dia masih berharap pada Shinta.
Tiga kantong makanan diraih David dari kasir. Bergegas Alex mengambil alih kantong. Padahal tuannya biasanya si paling anti membungkus makanan.
"Bawa kami ke hotel."
Axel berjalan terburu-buru dan segera membukakan pintu belakang sedan hitam BMW. Dia menaruh makanan di bagasi belakang, dan tangannya terkepal karena suara tak bertenaga tuannya.
Anak buah Axel telah membawa Lena dari mobil Super car yang tidak jauh. Lena kini duduk di belakang bersama David, tetapi jauh-jauh. Super Car itu diambil alih anak buahnya. Axel melajukan kendaraan BMW hitam dalam kecepatan tinggi, karena tidak mau ditembak tuannya yang siap m3mbunuh siapa saja sekarang.
Lena melirik ke David yang duduk dengan tatapan kosong ke tablet. Perempuan itu ingin berbicara pun tak berani. Lena juga menjumpai tangan David yang terkepal sampai jari-jari memutih di pangkuan.
Sesampai di depan pintu kamar hotel, Lena berhenti. Dia bersikeras untuk menunggu Axel datang, baru Lena mau masuk. Alhasil David ikutan berdiri di lorong dan moodnya semakin buruk.
Begitu Axel datang dengan tubuh gemetar karena tatapan maut tuannya.Lena pun mau masuk ke dalam kamar. Mata hazel berseri-seri karena dapur mini dan kolam renang pribadi. Dia ingin menyiapkan makanan tadi, tetapi Axel memintanya tetap duduk.
David seperti ingin menelan hidup-hidup siapapun orang di depannya. Rencana liburan yang digadang-gadang indah, gagal total. Namun, tidak bisa kembali karena Kakeknya akan bertanya-tanya. Paling tidak dia harus pulang dengan Shinta.
David makin menebarkan tatapan maut karena Lena mengundang Axel untuk makan bersama. Dalam sejarah, David baru kali ini makan dan berbagi meja dengan bawahan. Meski Axel sudah menolak, tetapi David mencengkeram roti dan meremukan sampai menjadi remahan membuat Axel pun menurut.
Siapa di sini tuan rumahnya? Sumpah demi apa Axel menjadi tumbuh dendam pribadi pada Lena yang kurang ajar. Dia sampai merasa kikuk karena duduk dengan tuannya, satu sofa hanya gara-gara arahan Lena. Selesai makan siang, David memberi isyarat dan Axel keluar untuk mengambil sesuatu.
"David sudah jam satu, aku bisa telat. Perjalanan ke stadium memakan waktu setengah jam." Lena duduk dengan memandangi David yang berdiri di dekat jendela kaca dengan tirai terbuka.
Axel telah kembali ke dalam kamar. Sebuah map premium berwarna emas dijulurkan ke tangan mungil. Dia menyuruh Lena untuk membaca dan menyetujui.
"David apa ini ... 13 Hari Menjadi Pacar, dan aku harus berhasil mengalihkan pikiranmu dari perempuan bernama Shinta?" Lena menaruh maps itu di atas meja. Dia meraih tasnya, lalu bergegas berdiri. "Aku tidak mau!"
David menyeringai karena Lena yang membuka pintu, langsung dijegal. Dua pengawal di depan pintu membawa Lena masuk lagi. Teriakan minta tolong Lena sungguh sia-sia.
Tentu saja ini lantai khusus Precident suit. Semua lantai di sini areanya, hingga takkan ada yang mendengar suara Lena. Sekalipun mereka mendengar dari cctv depan, mereka takkan ikut campur. Tentu saja, ini hotel miliknya! Siapa yang berani?
"Anda tidak akan bisa keluar sebelum Anda menandatangi ini, Nona." Axel masih berdiri di tempat awal. Sementara Lena kini menjadi fokus tontonan tiga pasang anak buah. Sedangkan David masih memandang jengah ke bawah pada jalanan yang lenggang.
"David, kumohon, kau tidak bisa seperti itu. Aku masih memiliki pacar," pinta Lena dengan sopan.
Perempuan itu menunduk dan suaranya makin mengecil, "kamu sudah lancang mengambil ciuman pertamaku, aku tak memaafkanmu." Lena kemudian mendapati dua pengawal di pintu yang berdiri seperti patung, tetapi cekalan mereka begitu sakit sampai sekarang.
David terkekeh, mata itu masih menikmati pemandangan di luar jendela yang terik. "Oh kamu punya pacar? Lena, aku tak peduli kau punya pacar atau tidak. Aku takkan melepaskan mu."
"Kenapa kau tidak melepaskanku? Apa salahku dan bukan kewajiban untuk harus menurutimu." Wajah Lena membeku karena pria itu kini menatap dengan tajam.
Perempuan itu tak tahu kenapa dua pengawal dan Axel keluar saat David terus mengurangi jarak. Lena langsung mengejar mereka para anak buah. Tangannya menarik gagang pintu yang baru saja tertutup tetapi kini ditahan dari luar. "Tuan Axel, tolong buka!"
Lena merasakan gerakan cepat dari arah belakang, tepat di atas kepalanya, dan tangan kekar itu menghantam pintu. Mengapa itu membuat tubuhnya gemetar dan kepalanya pusing. "David Leora, kamu terlalu dekat," lirihnya, lalu tertunduk. Dia melihat ujung sepatu Pria itu yang menempel pada sneaker hijau Lena.
Dada Lena lalu tersentak hingga tertekan pintu kayu di depannya. Mata hazel membelalak karena usapan lembut di lengan. Dia menyesal karena jaketnya dilepaskan saat waktu makan. Hanya memakai kaus biru laut, sangat tidak menguntungkan dan terjebak pilihannya sendiri. Pikiran buruk langsung merajalela dan membuatnya mulai terisak.
"Tolong David, jangan lakukan itu padaku!"
"Aku sudah bilang takkan melepaskanmu dariku. Kau tidak mengerti?" David menggertakkan gigi. "Jika aku bilang begitu, maka selamanya kau akan di sisiku."
"Leluconmu keterlaluan, Dav! Baru satu hari kau mengenalku."
"Len, waktu bukanlah tolak ukurku mengenal perempuan. Yang lama saja bisa menyelingkuhi. Damit ! Kau ingin pulang ke negara tercintamu, kan, Cantik? Kau masih mau melihat Papa Burhan, Mama Sumarni dan Sean-si Sulung?"
Lena memukulkan kening ke pintu. Bisa-bisanya David tahu seluruh keluarganya. Perempuan itu bernafas sering dan pendek. "Kau memiliki pacar yang cantik, jadi nggak perlu repot-repot mengenalku."
Lena merinding dan kepalanya miring ke kiri karena belai4n di leher kanan. Dia bersumpah takkan mengelabang rambut lagi karena ini. "Jangan asal menyentuh! Aku akan melaporkanmu."
"Ssst .... Kamu sangat menggoda, Lena. Jauh lebih menggoda daripada si tukang selingkuh yang kau sebutkan tadi," serak David disertai seringai masam. "Aku mau menemukan kelebihan mu yang tersembunyi, Lena."
"David! Menjauh!" Lena mendes4h karena bel4ian terlarang. Dia menyipitkan mata saat terdongak dan menangkap tatapan deepblue yang lebih gelap, seolah ada kilauan minyak membara. "Tidak, ku mohon. Aku memiliki pacar."
"Uh'hu Pacar?" David menggeram.
Pria itu menunduk penuh, karena perbedaan tinggi yang jauh membuat dagunya tak bisa menempel di pucuk kepala Lena. "Berapa tinggimu? Kurang dari 160? Mengapa kau kecil sekali, Lena. Kau membuatku kesusahan saja."
"156!" sentak Lena dengan kegeraman.
Jari telunjuk David membel4i bahu Lena dengan pola sensu4l. Menyebabkan merinding menjalar di bawah kulit Lena. Tak tertahankan hingga mata wanita itu sampai terpejam.
Kaki pun saling merapat, jari-jari kaki saling mencengkeram. pinggulnya keram, tersiksa. Terjebak oleh Kungkungan panas beraroma Citrus membuat Lena mabuk. Nafas David kini menyembur di belakang telinga dan suara nafas mereka saling bersahutan.
"Aku tidak mau menandatangani itu! Aku memiliki pacar! dan tidak akan mengkhianatinya," isak Lena yang masih berusaha tetap waras.
BUK. David meninju pintu tepat di samping telinga Lena. "DIAM, kura-kura!"
Gadis itu terasa menyusut di dalam hingga loyo dan merosot ke bawah. Lengan kekar David, melingkar di bawah dada empuk hingga perempuan itu tidak sampai jatuh.
Lena melayang di udara. Kaki Lena menjejak-jejak ke bawah, dua tangannya mencengkeram tangan David. Memukul Menarik. Dia berusaha membebaskan tangan kekar itu dari perutnya. Lena baru tahu, tidak baik berurusan dengan orang terlalu tinggi. Dia kalah tenaga telak dan seperti semut. "Kamu mau apa!"
Tubuh Lena terlempar dan terhempas tengkurab ke kasur empuk bersprei dingin. Dia lalu terlent4ng untuk mencari tahu. Pria jakung itu sudah melepas jas, menarik beberapa kancing kemeja silver. Dengan gagah meloloskan kemeja dari tubuh dengan otot yang kekar tak berlebihan.
"Berhenti, David," lirih Lena gemetar.
Lena memandang dada berotot diselimuti tato hijau-merah, lalu menjadi mengerikan begitu dia sadar situasinya. Ini lebih mengerikan dari bau kecut ketiak milik sang kakak. Tato itu bergambar wajah cewek cantik di sisi dada kanan.
"Cup, sayang, aku takkan melukaimu. Kau tahu itu," serak David dengan nafas memburu.
Embun bening mengalir ke pelipis Lena. Aura mendominasi. Tubuh kekar berkilauan di bawah lampu terang kamar. Tatapan gelap David itu, Lena sangat meyakini bila tubuhnya akan hancur remuk. Pingsan masih lebih baik, bagaimana jika dia mati?
Berjuang dengan sikut dan lutut, Lena berputar. Dia terisak terus merangkak sekuat tenaga, secepatnya ke kepala tempat tidur. Kesuciannya hanya untuk sang kekasih. Kedua pergelangan kaki mungilnya terjepit tangan catok besar.
"Tidak! Jangan! Pergi! Nikoo!" Lena merengek, berenang menggunakan tangan dan meraih selimut. Selimut dicengkeram kuat-kuat, tetapi selimut ikut tertarik terbawa dengannya. Dia menarik sprei dan berpegangan kuat, tetap dia meluncur bebas ke tempat semula dengan sprei terlepas dari spring bed, kusut berantakan.
Berikutnya Lena sudah dibalik menghadap langit dalam kengerian. Usahanya sia-sia. Dia mengingat kekuatan tangan itu sudah seperti beruang!
"Lena, kau mau kemana," geram David tersinggung. Mengapa Lena lebih takut padanya daripada si tukang selingkuh, Niko.
"Niko, tolong. Abang Sean! Ayah! Ibu. " Lena menangis histeris saat tubuh panjang itu merangkak di atasnya. Perempuan itu menggelengkan kepala. Sekelabat nasehat semua orang, muncul dalam potongan ingatannya, agar tidak mempercayai orang asing, walau sebaik apapun. "Ibuuu.... "
Tangan mungil itu meraih tangan besar itu di pahanya. Dia menyesal tak mendengar nasehat Ibu.. "David, aku percaya padamu, kau memiliki nurani. Kau tidak suka diselingkuhi! Pacarku juga tak suka jika di posisi kamu."
Lena mencekal tangan kekar . Dia percaya David tidak akan meneruskan. "Jangan, David, aku akan menandatangani itu dengan syarat."
"Kau janji?" lirih David saat Lena memegangi kuat tangannya..
Kini suara putus asa David dapat ditangkap Lena, dan Lena mengangguk dengan yakin. "Kumohon, Dav, percayalah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments