Terlihat Lena menangis seperti anak kecil, di luar stadion. Lena tak tahu bahwa semua gerakannya terus diawasi David yang duduk manis dengan dipayungi dan dikipasi kipas elektrik oleh satu pengawal dan Axel.
“Tuan, Nona Shinta baru tiba di sebuah restoran bersama Tara.” Axel berdiri di belakang David, di sisi kanan, dengan tangan mengotak-ngatik tablet. Kepala Axel ikut berteduh di dalam payung besar untuk bisa melihat tulisan di layar. “Ah ini ada yang menarik. Sepertinya, Nona Lena juga diselingkuhi. Mungkin ini yang membuat dia menangis.”
David meraih tablet dari tangan Axel, lalu tertawa terbahak-bahak. Ternyata dia tidak sendirian. “Si4lan, pengkhianat ada dimana-mana. Apa Lena cocok untuk menjadi pendampingku, Axel?”
“Wow gila, sangat tidak cocok. Kakek Leora, nanti pasti menentang. Milyader perusahaan coklat terbesar di Italia dan mendunia. Justru cucunya berjodoh dengan pengusaha rumahan,” batin Axel lalu berdeham.
“Apa, Tuan, saya tidak mengerti arti kata ‘cocok’ yang anda maxud dalam hal pendamping untuk apa? Pacar, simpanan, nyonya atau yang mana?” Axel menggaruk punggung tangannya saat David melihat video pacar Lena yang melamar perempuan lain di dalam stadion.
“Menurutmu cocok yang mana dia?”
Axel melirik tuanya yang terus senyum-senyum sendiri, pasti tuannya sedang membayangkan salah satunya. “Nona Lena naif-menganggap semua orang baik, kekanak-kanakan dan menyedihkan. Masa Nona tidak tahu pacarnya pergi ke Qatar? Oh bahkan untuk sebagai simpanan sangat tidak cocok, Tuan.”
David dan Axel melihat Lena yang berdiri dengan menendang-nendang dinding, perilaku itu membuat David sulit menahan tawa karena dia jadi ingat pada dirinya yang juga naif semalam. Bukankah Lena seperti cerminan dirinya? Ya, cocok bagi David, dia tahu betul rasanya seperti apa itu diselingkuhi.
“Kamu salah Axel. Justru karena dia terlalu naif, aku menyukainya. Ikuti terus pacar Lena, aku mau setiap lokasi yang didatanginya,” titah David langsung dengan nada rendah serius dan Axel merinding saat mengambil tablet miliknya.
Jam tangan digital berwarna hitam, yang adalah sauvenir Volunteer, kini menunjuk pukul 11 siang. Lena menggosok mata yang basah, lalu mengamati para penggemar yang tertawa dan bersemangat di merchandise sebuah klub, tidak seperti dirinya. Lebih baik dia mendinginkan diri di dalam stadium, siapa tahu hatinya ikut dingin.
“Halo, cantik, tunggu!”
Lena memutar tumit 180 derajat. “Eh!” Topi yang sempat hilang tiba-tiba terpasang di kepala. Perempuan berjaket ungu itu mulai mengendus bau citruz yang familiar. “Ah Anda yang kemarin. Ternyata topi saya ada bersama Anda.”
“Ada apa dengan suara mu?” David menjumpai suara kecil yang seperti terjepit. Dia merentang kaki panjangnya saling menjauh hingga tinggi mereka kini sejajar.
Lena menahan tawa saat meneliti mata deep blue di depannya. “Apa aku terlalu pendek, Tuan? Biar aku mendongak saja, nanti kaki Anda lelah.”
“Ya! Kamu sangat pendek tetapi kamu cantik. Eh, jangan terlalu formal, dong?”
“Okey.” Lena masih tekikik, dan pipinya mulai menghangat. Siapapun perempuan pasti senang di bilang cantik, kan. Terlebih si jakung terus menatapnya seolah sedang mengamati fitur wajahnya. “Tuan?”
“Bagaimana dengan kabarmu hari ini? Kau bisa tidur nyenyak semalam?”
“Ya! Tentu aku dalam keadaan sangat baik dan aku semalam tidur nyenyak!” Lena berusaha tetap tersenyum walau di dalam hatinya sangat berantakan. “Lalu, bagaimana denganmu, apa kau mulai terbiasa dengan cuaca di sini?
“Bagiku tentu semua berjalan lancar, tetapi cuaca disini sangat ‘panas’ walau ada ac tetap saja aku tidak bisa tidur.” David menjadi teringat tontonan menjijikan semalam. Dia ingin mengganggu gadis ini untuk mencari hiburan.
“Hari ini aku kesusahan sekaligus beruntung bisa menemukanmu. Pasti kamu mencari-cari topimu untuk melindungi model rambutmu yang unik.” David menyipitkan mata karena tawa renyah dari bibir seksi didepannya. “Kenapa mata kamu merah, apa perlu aku membawa kamu ke dokter?”
Lena memutar mata ke samping, berpikir kenapa pria didepannya bisa sangat cerewet. Juga terlalu dekat. “Rambutku ada yang mengenai mata, jadi sangat gatal. Terimakasih untuk topiku. Ehm!”
“Huh!” David menarik Lena menjauh dari stadium karena wanita itu bohong. Jelas rambut dikelabang mana bisa menyentuh area mata.
“Tuan, dua jam lagi adalah jadwal shiftku.” Lena menggigit bibir bawah, begitu takut. Terlebih arahnya ke area parkiran. Aroma kuat Citrus terbawa angin dan menerpa hidungnya, Lena sangat menyukai aroma pria itu. Dia jadi lupa akan kemarahannya pada sang kakak yang membuat burung kesayangannya mati, dia sampai ingin menangis lagi teringat burung Falk Australia yang dinamai ‘Uik’.
“Itu masih sangat lama, Cantik. Apa kamu mau menjadi patung dengan duduk berjam-jam sambil menangis seperti orang yang menyedihkan?” David memejamkan mata sebentar, karena dia keceplosan. Untung, gadis itu masih tak bersuara. Kasian Lena pasti sedih karena pacarnya selingkuh.
Pintu mobil mewah Bugatti terbuka ke atas. Lena masih berdiri hingga tangan kekar itu mendorong pinggang mungilnya. B0k0ng mungil itu mendarat di jok yang sangat empuk, tetapi ketinggiannya sangat rendah, itu hampir menyentuh aspal. Kenapa untuk duduk aja susah? Dia memandangi banyak tombol di tengah. “UH!’ pekik Lena terkesima saat si bule masuk ke dalam mobil dan melirik Lena tajam, seolah tidak suka, atau hanya perasaanya saja.
Sepanjang perjalanan, Lena bolak-balik memandangi pria itu yang mengemudi dengan sorot mata sangat dingin. Tidak ada suara justru pria itu terlihat begitu seram, beda sekali dengan tadi yang sangat ramah. Lagu Celine Dion yang terus mendengung di dalam kabin, bau citrus dan dinginya AC membuat Lena terkantuk-kantuk.
Suasana begitu hening di kabin, semburan hangat di wajah Lena dan semakin jelas menerpa hidungnya. Lena semakin mengendus aroma hangat dan aroma enak dalam mata terpejam. Semburan itu semakin intens, dan area hangat kini menyelimuti semua area depan dada sampai mengurangi menggigilnya. Lena memerjapkan mata dan mata deep blue dipenuhi kilauan minyak hanya beberapa senti di depannya, bahkan hidung itu pas bersentuhan hingga dia menghirup seluruh udara panas yang keluar dari hidung mancung David. ”Ahhhh!!!”
“Hai, cantik, tenanglah.” David berdecak karena telingannya berdenging akibat teriakan di wajahnya. Dia mengendus-ngendus aroma khas kenanga yang memabukkan. David sedikit lagi berhasil mencium bibir pink itu, sialnya perempuan itu keburu bangun. Si jakung lalu menekan tombol saftey belt sebagai alasan dan menyeringai dengan masam. “Cantik, kita sudah sampai.”
Lena masih terkesiap pada si jakung yang tadi melepas safety belt dengan cara yang menguji spot jantung. Sampai perilaku pria itu yang kini menunggu dipintu mobil dengan gagah, setelah membukakan pintu. Jelas si tampan ini memiliki daya pikat yang sangat mencolok. Lena seperti mau gila karena nafas aroma mint itu masih membekas di pipinya. Perempuan yang tingginya sedada David itu, mulai mengekor di belakang dengan sedikit berlari menyesusaikan langkah David.
Dengan ragu-ragu Lena berhenti tepat di garis pintu restoran. “Tuan, aku tidak akan makan soalnya masih kenyang.” Lena tersenyum tipis, jika dia makan di sini terus nanti uangnya bisa langsung ludes. Dia takkan melakukannya.
“Hei, aku akan mentraktir makan siangmu. Dengar, lagian menolak adalah hal yang sangat tidak sopan. Mau kan, gratis, loh?” David sampai menunggu beberapa saat dan gemas karena wajah mungil itu terlihat berpikir, padahal bisa tinggal terima saja. “Kita sudah sampai sini, kau yakin tidak mau?”
“Lumayan si, dari management kan dapatnya hanya sarapan. Untuk makan siang dan malam pakai uang sendiri, harus berhemat. Kenapa perutku jadi laper banged uh! Bau daging domba sampai kesini. Enak banged keliatannya,” batin Lena sambil melirik ke dalam dengan mata berseri-seri.
Pria itu menarik Lena dengan tidak sabar sampai ke ruangan kedua bernuansa gold dan mewah. Seorang pelayan pria berjubah salem, lalu menjulurkan buku menu. Lena kebingungan pada tiap harga yang paling murah setengah jutaan. Dia menelan saliva pelan karena mendadak langsung kenyang. Didorongnya buku menu hingga menyentuh tangan berjam tangan mahal, Lena menggelengkan kepala.
“Kamu mau makan apa? Pilih sesukamu, jangan melihat harganya dan kamu harus makan yang banyak biar kamu memiliki banyak tenaga untuk mondar-mandir nanti.” David tertawa ringan, lalu mengedipkan satu mata membuat Lena langsung tertunduk dan jelas menghindari tatapan genit David.
Pria berjas silver itu memandang Lena yang baru melepas topi. Betapa imut dua rambut kelabang itu setelah semakin diamati-amati memang jelas dagu itu begitu menggoda. Nah, kan, dia sempat melupakan rasa sakitnya pada Shinta. Apa Lena mau jadi pacar sementaraku? Sampai aku melupakan Shinta sepenuhnya?
Pelayan itu pergi setelah David harus memilihkan menu untuk Lena. Pandangannya lalu diedarkan ke sekeliling pada turis manacanegara. Meja ini sepertinya Landscape paling bagus, siapapun bisa melihat jelas ke sini. Pria itu mengetuk-ngetuk telunjuk ke meja, menunggu Lena sampai tidak bermain ponsel. “Siapa namamu? Perkenalkan aku David Leora, 30 tahun, panggil saja aku David.”
“David, kemarin aku sudah memperkenalkan diriku, namaku Lena Paramita. 26 tahun asal Indonesia dan panggil saja Lena. Darimana asalmu?” Lena menggaruk pelipisnya karena tatapan David yang lebih gelap hingga bulu kuduknya meremang dan mau tak mau menaruh ponsel di meja.
“Apa kamu tahu darimana asal Valentino Rosi?” David berpindah duduk ke samping Lena.
“Ya saya tahu. Oh! Jadi kamu dari Italia?” Ketakutan Lena mulai luntur pada anggukan dan tatapan percaya diri David di sampingnya. “Ehm MotoGP Kebetulan aku pernah jadi Marshal MotoGp di Mandalika.”
“Bagus!” David tertawa bangga, ya, tidak salah dia memilih wanita itu. “Kau suka MotoGP? Mengapa kau tidak bertemu denganku di Mandalika saat itu. Astaga, Lena! Padahal aku di sana selama seminggu!”
“Woow!” pekik Lena berseri-seri, hangat langsung menyebar di pipinya. “Dan sekarang kita baru bertemu di sini.” Lena menunduk untuk menghindari tatapan tajam David, tetapi dia melihat postur tegak pria itu dari samping dan membuatnya kian terlena.
“David, aku bertemu langsung dengan pembalap Marques di sana.” Lena bekaca-kaca pada ingatan sangat emosional itu dan melanjutkan ceritanya dengan menatap dada kekar itu.
“Maksudku saat balapan pas warm up, di tikungan 7 aku bejaga dipinggir lintasan. Marques mengelami kecelakaan dan aku melihatnya langsung di depan mataku! Dia terbalik. Lalu aku dan temanku membantunya untuk menepi, betapa kasiannya dia-“
David tak tahu mengapa jempolnya menyentuh tepat di bawah kelopak mata Lena yang basah oleh air mata. Dia kini membeku karena mata hazel yang terbelalak membuat jantung David makin tidak karuan. Baru dia menarik jari kurang dari sesenti, tetapi tarikannya tertahan.
“Tuan, saya berhasil memanas-manasi Nona Shinta dan dia menuju ke arah Anda. Arah pukul 9,” suara Axel yang terdengar dari earpiece yang dipakai David. Sekarang David ingin tertawa apa reaksi Shinta?
“Apa, ini, jika aku menangis di depan Niko, apa Niko akan seperti ini? Atau tipe orang luar memang sangat lembut?” batin Lena semakin tak karuan karena jempol hangat di pipinya yang mulai mengusap dengan perlahan ke arah telinga.
“David!”
Mata Lena membelalak karena suara bentakan dari sisi kiri yang cukup jauh, tetapi pipinya tertahan tangan David. “Ada yang memanggil namamu?” Jantung Lena terpompa pada kecepatan maksimal.
“Jangan menoleh, Lena, percayalah padaku, tetap seperti ini.”
“Tapi kenapa?” bisik Lena dengan wajah semakin pucat pasi.
“Bantu aku Lena, kau hanya perlu diam dan menurutiku. Dan kamu akan aman.”
Lena terhipnotis netra biru lautan dalam saat jempol pria itu kini berhenti di bibir bawahnya yang bergetar. Ini sangat asing bagi Lena, pacarnya saja tak pernah seperti ini. Sekarang seolah ada lapisan kasat mata mengurungnya. Dia tidak bisa mengalihkan dirinya pada David yang semakin dekat sampai memblokir bibirnya dengan bibir lembut pria itu.
“Daviid!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments