Bab 5

" Gimana?." Tanya Revan yang baru memberikan sesuap kue cokelat kesukaan Dinda.

Gadis kecil dengan mulut penuh itu hanya menunjukkan kedua jempolnya, pertanda jika dia menyukai kuenya.

Puspita menatap Revan dan putrinya dengan haru. Selama 5 tahun terakhir, satu-satunya alasan ia tersenyum hanyalah  Dinda. Terlebih saat kepergian ibunya untuk selama-lamanya disaat baru beberapa bulan Dinda lahir.

" Em, kuenya enak banget. Kita sering-sering kesini ya Bun..." Pinta Dinda setelah selesai mengunyah kuenya.

" Uncle pasti akan sering bawa Dinda kesini." Ujar Revan.

" Jangan memberikan janji padanya, atau Dinda akan menagihnya saat kamu sibuk bekerja."

" Bahkan aku akan datang meski ada pasien."

Puspita hanya geleng-geleng kepala mendengarnya. Revan benar-benar sudah menyayangi Dinda seperti putrinya sendiri.

" Jangan begitu. Prioritas seorang dokter adalah pasiennya."

" Maka prioritas Uncle adalah Dinda." Jawabnya menjawil hidung bocah perempuan itu.

" Uncle, jusnya." Pinta Dinda pada Revan menunjuk gelas jus diatas meja. Revanpun mengambil dan meminumkannya.

" Terima kasih." Ujar Puspita.

Revan menatap Puspita dengan pandangan kesal. Menunjukkan dia tak ingin mendengar kata itu lagi.

" Jika kamu sungguh-sungguh ingin berterima kasih, maka menikahlah denganku." Ucapan Revan membuat Puspita diam. Selalu begitu, Revan selalu membuat Puspita salah tingkah dengan pernyataan cintanya.

" Aku..."

" Bahkan jika aku harus menunggu sampai Dinda menikah, aku akan menunggumu."

" Jangan begitu. Kamu pria yang baik dan tampan, banyak wanita diluar sana yang ingin menikah denganmu. Jangan sia-siakan waktumu hanya untuk menunggu seorang janda sepertiku." Ujar Puspita merasa Revan terlalu berlebihan. Dia tak ingin masa muda pria itu terbuang karena menunggunya.

" Jika aku baik dan tampan, harusnya kamu maukan menikah denganku?." Balas Revan santai.

" Revan... Ibumu pasti sudah menginginkan cucu. Jangan membuatnya kecewa."

" Dan dia akan dapat menantu plus cucu jika yang menikah denganku adalah kamu."

" Ayolah Revan, jangan seperti ini..."

" Ayolah Puspita, jangan seperti ini."

" Revan! Kenapa kamu malah mengikuti ucapanku." Puspita mulai kesal dengan tingkah Revan yang terlalu santai.

" Tidak. Aku mengatakan apa yang ingin kukatakan. Jangan terus seperti ini... Jangan terus terjebak dalam masa lalu." Ucap Revan membuat Puspita terdiam.

" Kamu tidak boleh terus menoleh kebelakang jika ingin maju, dan ingin bahagia. Kesuksesanmu sekarang bukanlah poin utama. Karena kesuksesanmu yang sebenarnya adalah saat kamu tak lagi berada dalam lingkaran masa kelammu."

" Jika kamu benar-benar melupakan Mahesa. Maka aku bisa membantumu mencapainya. Aku akan merelakanmu untuknya jika kamu bisa bahagia bersamanya, itu jauh lebih baik daripada melihatmu terus seperti ini."

Tanpa sadar embun menetes dari mata Puspita. Apa yang Revan katakan terlalu tepat untuknya.

" Bun..." Panggil Dinda yang sedari tadi sibuk dengan kuenya.

" Iya? Dinda ingin sesuatu?." Puspita mengerjap, guna menetralkan embun yang memenuhi pelupuk mata.

Dinda menggeleng, bocah itu justru menatap Revan, kemudian menuntun Revan berdiri dan berhadapan dengan ibunya yang masih duduk. Kedua orang dewasa itu saling menatap heran.

" Ada apa sayang?." Tanya Puspita.

" Uncle sayangkan sama Dinda?." Tanya bocah itu yang langsung diangguki oleh Revan.

" Jelas sayang dong. Memangnya kenapa?." Tanya pria itu heran.

" Bunda." Dinda beralih pada ibunya.

" Dinda pengin panggil Uncle, Ayah..."

Deg!!!

Revan dan Puspita kembali saling tatap dengan rasa terkejut.

" Kenapa Dinda tiba-tiba mengatakan itu sayang?."

" Kalau panggil Daddy gak boleh, ya Dinda penginnya panggil ayah." Gadis itu merengut, membuat Puspita merasa serba salah.

Puspita meraih putrinya, namun Dinda justru bersembunyi dibelakang Revan.

" Sayang." Ada sesuatu yang terasa nyeri didalam sana. Sekuat mungkin Puspita menahan air matanya.

Ia kembali teringat kejadian 5 tahun lalu. Dimana Dinda bahkan tak diakui ayah kandungnya sendiri. Lalu bagaimana bisa dia mengakui Revan adalah ayah putrinya?.

Melihat kesedihan dimata Puspita, Revan dengan cepat menggendong Dinda.

" Uncle itu panggilan keren lho sayang. Gak semua orang dipanggil Uncle." Ujarnya lembut.

" Iya. Karena mereka panggilnya ayah." Dinda mulai menangis.

" Sayang." Puspita berusaha membelai rambut putrinya, namun langsung ditepis bocah berusia empat setengah tahun itu.

" Dinda pengin punya Ayah Bun, Ayah..." Bocah itu membenamkan wajah didada Revan.

" Bukannya kamu sudah setuju panggil Uncle?." Tanya Puspita hati-hati.

" Dinda iri sama mereka Bunda."

" Mereka siapa sayang?."

" Semua anak yang Dinda lihat ditaman. Mereka pasti panggilnya Ayah, atau Papa. Tapi Dinda malah panggilnya Uncle. Pokoknya Dinda mau panggil Uncle, Ayah."

" DINDA!!!." Bentak Puspita tanpa sadar. Membuat mereka menjadi perhatian pengunjung lain, terlebih Dinda langsung menangis kencang.

" Sayang... Maafin Bunda." Puspita berusaha meraih putrinya. Dan lagi-lagi ditepis oleh Dinda.

" Bunda jahat. Dinda gak mau sama Bunda." Dinda mengeratkan pelukannya pada Revan.

" Aku akan bawa Dinda jalan-jalan dulu. Kamu juga harus menenangkan dirimu. Bagaimanapun Dinda tidak tahu apa-apa." Revan lantas pergi membawa Dinda yang masih menangis.

Ditempatnya, Puspita hanya mampu menangis tergugu. Ia tak percaya, dia sudah tega membentak putri kecil yang selalu dimanjanya.

" Maafkan Bunda sayang... Maaf..." Lirihnya terduduk bertumpu lutut. Rasanya terlalu lemas untuk sekedar berdiri.

Selama ini, seberat apapun masalah yang ia hadapi, ia tak akan membuat Dinda ikut merasakannya. Dan hari ini, hanya karena anaknya menginginkan seorang ayah, dia sudah melukai hati yang polos itu. Padahal gadis kecil itu hanya menginginkan hal yang wajar.

" Maafkan Bunda..."

🍁🍁🍁

" Ma, tolong bujuk Mas Mahesa buat nikahin aku. Kita sudah seatap selama 4 tahun tanpa ikatan pernikahan. Aku malu Ma..." Ucap Tania pada Calon mertuanya dengan manja. Ia tahu Santi, ibu Mahesa itu sangat menyayanginya.

" Kamukan tau sudah berulang kali Mama bujuk dia buat nikahin kamu, tapi dia tetep kekeuh dengan pendiriannya. Mama gak bia berbuat apa-apa."

" Tapi gimana nasib Salsa Ma, dia udah 4 tahun dan 2 tahun lagi dia akan masuk TK. Apa jadinya kalau dia bahkan gak terdaftar dikartu keluarga manapun. Kasian Salsa, Ma..." Ujarnya memelas.

" Kamu benar juga."

Tania tersenyum senang melihat Santi yang terpengaruh. Bagaimanapun ia harus bisa membuat wanita tua itu memaksa Mahesa.

Jika tidak, maka pacarnya akan memutuskannya. Ben, dia benar-benar terpesona pada pria itu. Bahkan saat Ben meminta dirinya menjebak Mahesa untuk mendapatkan kekayaannya, ia rela menurut.

" Hubungan kita akan tetap berlanjut kalau kamu bisa jadi istri Mahesa." Ucap Ben kala itu.

Tania sempat menolak, namun karena cinta butanya, ia akhirnya menurut. Meski sampai sekarang, Mahesa belum menikahinya. Setidaknya ia dan Ben sudah menikmati kekayaannya.

" Jadi gimana Ma?."

" Oke. Mama akan desak anak itu supaya menikahimu. Kamu tenang saja. Bagaimanapun Salsa adalah keturunan keluarga Adinata, dia harus mendapatkan statusnya." Ujar Santi.

" Iya Ma, jangan sampai wanita matre itu rebut Mas Mahesa dari aku."

" Wanita matre?."

" Iya. Si Puspita itu. Tadi siang aku dan Mas Mahesa ketemu sama Dia." Ujar Tania kesal mengingatnya.

" Kenapa wanita itu muncul lagi?." Tanya Santi dengan emosi mendengar nama orang yang dibencinya.

" Gak tau. Anaknya diselametin Mas Mahesa pas mau ketabrak mobil. Palingan dia liat  Mas Mahesa terus dorong anaknya sendiri, bener-bener wanita jahat." Tania terus memanas-manasi. Dia senang membuat Puspita terlihat buruk bagi keluarga Mahesa.

" Dasar wanita licik." Ujar Santi. Dia tak pernah tau, jika pembohong sebenarnya adalah wanita disampingnya.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!