" Bunda!." Pintu ruangan terbuka seiring suara yang amat ia kenal.
Revan datang membawa Dinda dalam gendongannya.
Puspita menyambut keduanya dengan senyuman, ia berdiri dan meraih putrinya dari Revan.
" Putri Bunda udah bangun?." Gemas, Puspita menjawil hidung putrinya pelan.
" Dia tidak mau apapun selain bertemu Bundanya." Ujar Revan yang langsung duduk disofa panjang diruang kerja Puspita itu.
" Terima kasih sudah mengantarnya kesini." Ujar Puspita.
" Ayolah Puspita, berhentilah mengatakan itu. Apa 5 tahun ini tidak cukup membuatmu mengerti jika aku sudah bosan mendengarnya?." Ucap Revan membuat keduanya tertawa kecil.
" Bunda, aku mau main." Ujar Dinda yang tau ibunya telah menyiapkan ruang bermain untuknya.
" Baiklah."
Puspita lantas menelpon Riska lewat telpon butik. Tak berapa lama orang kepercayaannya itu datang.
" Ajak Dinda bermain dilantai atas."
" Baik Bu." Riska lantas membawa Dinda pergi.
" Sepertinya butik ini berjalan cukup baik." Ujar Revan.
" Begitulah. Riska benar-benar bisa diandalkan. Jika bukan karena ada beberapa klien penting disini, mungkin aku akan menyerahkan butik ini padanya. Aku sungguh tak berniat kembali."
" Jangan bohongi dirimu sendiri. Aku tau kamu selalu memimpikan kembali ketanah air." Dengan serius Revan bicara.
Puspita tersenyum mendengar ucapan Revan. Satu-satunya sahabatnya itu sungguh mengerti dirinya. Terkadang, ia selalu berandai-andai, jika hatinya lebih memilih Revan dibanding Mahesa, mungkin ia tak harus bersaing dengan Tania yang juga mencintai Mahesa. Bahkan hingga wanita itu tega menfitnahnya.
Tapi semua sudah berlalu, ia tak bisa merubahnya. Meski terkadang rasa sungkan muncul saat mengingat jika Revan menyimpan rasa padanya.
Pria itu bahkan masih melajang diusianya yang menginjak 35 tahun. Tak ragu mengatakan jika dirinya masih menunggu Puspita.
" Aku bahkan tidak bisa membohongimu." Ujarnya.
" Mungkin kamu tidak bisa memahamiku, tapi 5 tahun sudah cukup membuatku memahamimu." Balas Revan.
Puspita terdiam sejenak, jika dahulu Mahesa percaya padanya seperti yang Revan lakukan, mungkin Dinda masih bisa hidup bersama ayahnya.
" Apa kamu mau menikah denganku?."
Pertanyaan yang baru saja Revan lontarkan membuat Puspita tersentak. Meski pria itu sudah sering melakukannya, bahkan pernah menggunakan cincin, ia masih belum bisa membuka hatinya untuk pria lain.
" Aku..."
" Tidak perlu dijawab, aku sudah tau." Ucap Revan cepat.
" Kamu masih mencintai Mahesa." Bukan pertanyaan, Revan baru saja memberikan pernyataan. Puspita tau, dia tidak bisa menyangkalnya. Hatinya memang masih terpaut pada ayah putrinya.
" Jika kamu ingin kembali bersama Mahesa..."
" Tidak-tidak." Puspita menggeleng cepat sembari mengayunkan tangannya.
Revan hanya tersenyum menanggapinya.
" Aku punya bukti kebohongan Tania."
" Itu tidak perlu. Dinda benar-benar tidak perlu tau siapa ayahnya." Tolak Puspita.
" Bukan soal Dinda."
" Lalu?." Puspita bingung.
" Tentang gadis kecil seusia Dinda yang kamu lihat tadi siang."
" Bagaimana kamu tau aku..."
" Bi Ani yang mengatakannya."
Puspita mengangguk mengerti.
" Memangnya kenapa dengan anak itu?."
" Dia bukan putri Mahesa."
" APA!!!." Jawaban Revan membuat Puspita terkejut bukan main.
" Apa maksudmu? Bagaimana bisa kamu mengatakan itu?."
" Aku tidak asal bicara, aku bahkan punya buktinya." Jawab Revan pasti.
" Lalu, jika dia bukan anak Mahesa? Lalu anak siapa?."
Revan mengambil ponselnya, kemudian mencari foto seseorang dan menunjukkannya pada Puspita.
" Dia Ben, pacar Tania. Mereka masih menjalin kasih sampai sekarang. Mereka tak ragu berhubungan s*x. Dan bocah kecil bernama Salsa itu anak mereka."
Puspita menutup mulutnya tak percaya mendengar penjelasan Revan. Ia tak menyangka jika Tania bukan hanya sudah memfitnahnya, wanita itu bahkan sudah mengkhianati Mahesa.
" Sejak kapan?."
" Sudah lama, bahkan sebelum Mahesa menceraikanmu karena dia."
" Lalu, lalu kenapa dia?."
" Mengambil Mahesa darimu?." Tanya Revan melanjutkan. Puspita mengangguk.
" Dia bahkan tega menuduhku dan kamu."
" Aku juga tidak tahu jalan pikiran wanita itu, tapi sepertinya dia hanya mengincar harta Mahesa."
Puspita tak mampu berkata apa-apa, wanita yang menjadi sahabatnya sejak kecil, bisa melakukan hal sejahat ini.
" Tapi, bagaimana bisa kamu yakin jika Salsa bukan anak Mahesa?." Tanya Puspita heran.
Revan terdiam, sejujurnya dia tak ingin mengatakannya. Tapi dia juga tak mau menyembunyikannya dari Puspita.
" Mahesa tidak pernah menikah dengannya."
" A-apa?."
" Jangankan menikah, mereka bahkan tak pernah berhubungan sekalipun." Ucap Revan dengan ragu. Ia jelas tau, konsekuensi dari perkataannya. Puspita bisa saja merubah kebenciannya pada Mahesa dan kembali pada mantan suaminya itu.
" Tania menjebak Mahesa yang sedang mabuk. Mengatakan seolah-olah Mahesa sudah melakukan hal yang tidak senonoh padanya hingga dia hamil. Itu sebabnya Mahesa mengira Salsa adalah putrinya. Aku punya rekaman CCTV-nya, hari itu Tania tidur dikamar lain, dan dari data yang kudapat lewat resepsionis, dia bersama kekasihnya Ben."
" Jadi... Selama ini Mahesa sudah ditipu?." Tanya Puspita tak percaya. Revan mengangguk.
Puspita sungguh tak mampu berkata-kata, terlalu shok dengan semua yang Revan katakan.
" Sejak kapan kamu mengetahui ini?."
" Sudah lama, tapi aku hanya menunggu waktu yang tepat. Jadi bagaimana? Kamu sudah berubah pikiran?."
" Maksudmu?."
" Kamu bisa bersama Mahesa jika dia tau kebenarannya." Jujur, Revan berharap Puspita tidak mau kembali bersama Mahesa. Tapi disisi lain ia tau betul siapa pria yang berada dihati wanita cantik dan lemah lembut itu.
" Tidak. Biarkan saja Mahesa mengetahuinya sendiri. Bahkan jika itu butuh beberapa tahun lagi, kamu tidak perlu melakukannya."
" Tapi kamu ingin...?."
" Jodohku dengannya hanya satu bulan. Aku tak bisa membohongimu, aku mengakui masih memiliki sedikit cinta untuk Mahesa, tapi bukan berarti aku ingin kembali bersamanya. Dinda, sudah lebih dari cukup untukku. Cinta, kasih dan perhatianku sekarang, hanya untuk Dinda, tidak ada yang lain."
" Kamu yakin?."
Puspita mengangguk, membuat secercah harapan dihati Revan hingga pria itu tersenyum simpul.
Pintu terbuka, Dinda datang bersama Riska.
" Dinda mau makan es krim Bunda, sama Uncle." Ujar Dinda pada ibunya setelah Riska keluar dan pintu kembali tertutup.
Uncle, panggilan bocah kecil itu pada Revan, pria yang telah menemani ibu dan anak itu selama 5 tahun terakhir. Bocah itu bahkan hampir saja memanggil Revan dengan sebutan Daddy, jika Puspita tidak melarangnya.
" Tapi semua teman Dinda panggil ayahnya Daddy, Bunda. Masa Dinda malah manggilnya Uncle." Rajuk Dinda kala itu, saat mereka bertiga tengah berada disalah satu kedai es krim di Singapura.
" Dinda panggil Om Revan Uncle aja ya... Kalau Dinda sudah besar pasti tau alasannya." Bujuk Puspita entah yang keberapa kalinya, hingga akhirnya Dinda menurut.
" Oke, kalau Om Revan 'Uncle', berarti Bunda 'Mom' ya."
" Panggil Bunda saja." Puspita tak ingin terpengaruh budaya luar. Bagaimanapun ia masih ingat betul darimana ia berasal.
" Tapi..."
" Tolong ya sayang..."
" Ya udah deh, kalau itu buat Bunda happy."
Dan akhirnya, ia dipanggil Bunda, dan Revan dipanggil Uncle. Bukan satu dua orang yang tampak bingung saat Dinda memanggil mereka. Tentu saja karena mereka semua pasti mengira Puspita dan Revan adalah pasangan suami istri.
Tapi keduanya tak ambil pusing, karena kenyataan tak selalu seperti apa yang terlihat. Yang terpenting, adalah mereka bisa menjalaninya.
" Sayang, kamu baru makan es krim tadikan." Puspita melihat jam tangannya, sudah waktu makan siang.
" Kita makan siang aja ya, Dinda mau makan apa?."
" Gak mau, Dinda maunya es krim." Rengek Dinda berlari kepangkuan Uncle-nya.
" Uncle! Bilang dong sama Bunda." Bujuk Dinda merengek.
" Dinda yang cantik dan baik hati, makan es krim itu gak boleh sering-sering, kalau perutnya sakit gimana. Bagaimana kalau kita makan cake aja?." Bujuk Revan menyebut salah satu makanan kesukaan Dinda.
" Cake?." Ulang Dinda meletakan jari telunjuk dibawah dagu. Membuat dua orang dewasa itu semakin gemas.
" Rasa cokelat_" Revan tak melanjutkan kalimatnya.
" Sama jus stoberi." Ujar Dinda cepat memotong perkataan Revan.
" Oke. Gimana Bunda?." Revan menatapnya lugu.
Puspita terkejut saat Revan memanggilnya Bunda. Namun ia segera sadar jika mereka sedang bersama putrinya.
" Oke. Bunda tau tempat yang bagus untuk itu. Tapi Revan, apa kamu tidak ada pasien hari ini?." Tanya Puspita memastikan. Pasalnya dokter itu biasanya padat pasien.
" Aku udah minta tukar shift sama rekanku, tidak ada masalah. Aku akan datang nanti malam."
" Oh. Baiklah, ayo kita berangkat."
" Kamu sendiri?."
" Dinda adalah yang utama." Tepat setelah mengatakannya ketukan pintu terdengar.
" Masuk."
" Ini Bu..." Riska tampak berniat memberikan sebuah file, namun langsung dipotong oleh Puspita.
" Tepat waktu. Riska, tolong kamu tangani ini sebentar. Hubungi saya jika ada kendala." Puspita menyerahkan beberapa design yang dipilihnya, serta jenis kain yang akam digunakan untuk membuat pesanan.
" Baik Bu."
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments