Diana sudah berada di kamarnya, tapi dia belum juga bisa tidur. Gadis itu masih memikirkan kejadian tadi di ruang tengah keluarga om Indra, jam memang baru menunjukkan pukul 22:15, menurutnya ini masih terlalu awal untuk tidur, apalagi tadi dia juga sudah tidur di taman belakang setelah makan malam. Kalau saja bi Murni tidak membangunkannya begitu cepat, mungkin saja mimpinya juga akan terus berlanjut.
Di waktu yang sama di tempat yang berbeda, keluarga Anita sedang duduk mengobrol bersama di ruang keluarga.
"Aku sudah berjanji dengan Naumi, Mas. Sudah sepuluh tahun lebih kita tidak menemukan Diana, sebenarnya anak itu di mana?"
Anita menatap hampa ke sebuah gambar yang terpajang di dinding, gambar itu adalah potret terakhirnya bersama Diana sebelum anak itu hilang.
"Kamu yang sabar ya, aku yakin kita bisa menemukannya, dan aku janji aku bakal bawa dia kembali," ucap Doni, ia berusaha meyakinkan istrinya.
"Kamu tidak menyembunyikan sesuatu dari aku kan?" tanya Anita mulai menatap curiga ke arah suaminya.
"Apa yang bisa aku sembunyikan dari kamu Anita, kamu mulai tidak percaya sama aku?" Doni bertanya balik.
"Bukan tidak percaya, bisa aja kan kalau selama ini sebenarnya kamu sudah tahu Diana di mana, tapi kamu berusaha menyembunyikannya dari aku," tuduh Anita, dia sendiri sebenarnya sangat heran dengan sikap suaminya akhir-akhir ini, apalagi suaminya itu sering kali berbicara dengan orang yang bahkan dia sebagai istrinya tidak boleh mendengar pembicaraan mereka, bukankah ini aneh?
"Assalammualaikum, Ma, Pa," ucap Dea memberi salam, sambil mencium tangan kedua orang tuanya.
"Mama sama Papa lagi ngobrolin apa? Serius banget," ucap Dea bertanya, sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa tepat di samping sang mama.
"Mama sama Papa sedang membicarakan soal Diana, sayang," jawab bu Anita.
"Papa sudah berusaha mencari dia, tapi belum menemukan titik terangnya," jelas lelaki itu.
Dea masih terdiam seperti sedang memikirkan apa yang akan dikatakannya
"Mama sama Papa tahu tidak, kalau selama sepuluh tahun terakhir ini aku tidak pernah hidup dengan nyaman dan damai seperti teman yang lainnya, bertahun-tahun aku hidup dalam bayang-bayang Diana kecil, bahkan dalam mimpi pun dia ada. Aku tidak pernah mengatakan hal ini pada kalian berdua, karena aku tidak mau membuat Mama sama Papa khawatir," ungkap Dea dengan mata berkaca-kaca.
Sekuat tenaga dia berusaha agar tidak menangis, tapi tidak bisa. Dea membenamkan kepalanya dalam pelukan hangat sang mama, Diana sangat berarti baginya, dia bahkan sudah menganggap Diana seperti adiknya sendiri. Karena Diana memang lebih muda empat bulan darinya.
"Kamu jangan nangis lagi ya, mulai sekarang kita akan fokus untuk mencari Diana, dia pasti berada tidak jauh dari kota ini, kita bisa menemukannya," ucap Anita, ia mencoba memberi semangat untuk Dea, agar gadis itu yakin kalau dia bisa bertemu secepatnya dengan sahabatnya itu.
Doni hanya terdiam menatap istri dan anaknya, dia sendiri terharu melihat betapa mereka sangat menyayangi Diana. Entah bagaimana nasib anak itu di luar sana, itulah yang ada dipikirannya saat ini.
"Pa, kenapa kita tidak meminta bantuan dari pihak kepolisian?" tanya Dea sambil mengelap wajahnya yang masih basah oleh air mata.
"Papa punya alasan sendiri, kenapa papa tidak mau campur tangan pihak kepolisian dalam masalah ini," jawab Doni singkat, jawaban yang selalu membuat Dea dan mamanya merasa jengkel setiap kali mendengarnya.
"Mas, kamu punya alasan apa? Kami bahkan tidak tahu, kenapa kamu tidak memberitahukan alasan apa yang kamu miliki, kami juga ingin mendengarkannya, iya kan Dea?"
"Iya, Mama benar. Coba Papa jelasin alasan apa yang Papa miliki, sehingga sampai sekarang Papa bahkan tidak mau lapor polisi." Dea ikut menyudutkan papanya, kalau sudah begini Doni pasti akan langsung pergi. Benar saja, lelaki itu langsung bangun dan pergi meninggalkan mereka berdua dengan wajah kesal. Dea dan mamanya hanya bisa bengong menatap kepergian papanya itu.
"Lihat papamu Dea, umurnya saja yang tua, tapi kelakuannya masih sama seperti saat muda dulu. Setiap ada sesuatu yang tidak ingin dijawabnya, dia pasti pergi begitu saja," ujar mamanya setengah mengomel melihat kelakuan suaminya itu.
Dea tersenyum dan berkata. "Gitu-gitu, juga suami Mama kan?"
Gadis itu tersenyum menggoda ke arah mamanya dan kemudian dia juga pergi masuk ke kamarnya untuk tidur.
---
---
"Diana, aku pasti akan menemukan kamu, aku janji," lirih Dea, dia menatap penuh rindu foto Diana kecil, itu gambar yang mereka ambil saat berada di bukit seribu harapan. Bukit kecil yang ada di belakang rumah Diana dulu, rumah yang seharusnya ditempati Diana, tapi sekarang rumah itu kosong.
Dea sekali-kali juga datang ke sana untuk sejenak mengenang masa kecil mereka.
"Jika nanti kita bisa bertemu lagi, aku janji aku bakal membuat kamu lebih bahagia, seperti apa yang pernah aku katakan dulu." Dea mulai memejamkan matanya, dia membiarkan air matanya mengalir begitu saja, dia berharap malam ini Diana bisa muncul lagi dalam mimpinya. Meski cuma sekedar mimpi, tapi setidaknya ini sudah dapat membuat rindunya sedikit berkurang.
....
"Eum... Dari baunya aja sudah seenak ini, apa lagi rasanya, pasti sangat lezat," puji Ariska, saat dirinya sudah berada di ruang makan.
"Jelas enak dong, siapa dulu yang masak, Bibi..." sahut bi Murni tersenyum senang.
"Masakan Bibi emang sangat enak, persis kayak masakan di restoran," tambah bu Sofi ikut memuji.
"Kenapa Bibi tidak buka warung makan saja, kan lumayan," saran pak Indra ikut menimpali.
"Nggak minat, Tuan," jawab bi Murni sebelum akhirnya pergi.
"Lho, Diana nggak ikut makan di sini?" tanya lelaki itu saat melihat Diana kembali menuju dapur, setelah meletakkan piring berisi ayam goreng di atas meja makan.
"Nggak dulu, Om. Diana masih belum lapar," jawabnya berbohong, dia tidak berani, sebab nanti setelah om Indra pergi, tante Sofia pasti akan memberinya hukuman karena makan tanpa seizin dirinya. Bahkan, bisa jadi om Indra sebenarnya juga tahu kelakuan buruk sang istri, cuma dia diam saja seolah tidak mengetahui apa-apa.
----
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments