Tangan kecil itu justru menjambak rambut Tasya dengan kencang. "Kamu mau tahu kesalahan kamu, hah!"
Tasya merengkuh tangan Karen yang menjambak rambutnya dengan keras. Ia menggunakan tangan kanannya untuk membalikkan keadaan hingga membuat Karen terbanting ke lantai.
"Argh!" pekiknya kesal.
Ia bahkan sampai mengusap beberapa kali punggungnya yang terasa panas dan memar.
"Dasar gadis gila! Beraninya kau! Tunggu Papaku datang dan mengusirmu!"
Bagaimana pun Tasya tidak pernah diperlakukan dengan kasar di dalam Keluarga Matteo. Namun, Karen seorang gadis yang sepantaran dengan usianya justru bersikap terlampau kasar.
"Kamu kira, kamu bisa lolos setelah menguping pembicaraan Mama dan Papa!" gertak Karen.
"Ma-maksudnya?"
"Melihatmu berdiri cukup lama di depan ruang kerja Papa membuatku curiga. Jangan-jangan kamu simpanan Om-om, ya! Mau rebut Papa dari kami, jangan mimpi!"
"Kalau ngomong pakai otak, dong! Jangan taruh dengkul!" hardik Tasya.
"Kamu kira hanya mulut dan sikap kamu yang bisa bersikap kasar!"
Dalam sekejap Tasya mengigit tangan Karen.
"Argh! Sialan Lo!" umpat Karen kesal sambil mengibaskan tangannya yang terasa panas karena terkena gigitan Tasya.
Entah mendapat kekuatan dari mana, Tasya berhasil membuat Karen semakin marah. Bekas gigitan yang masih panas di lengan Karen membuat ia harus melepaskan Taysa malam itu.
Kali ini Karen merasa kalah. Akan tetapi tidak akan ada lain kali.
"Ingatlah, sebentar lagi kamu akan diusir!"
Di sisi lain seorang gadis yang baru saja selesai mengerjakan pekerjaannya, kembali memainkan ponsel. Tubuh yang polos tanpa busana itu belum juga dibersihkan dan masih berlapiskan selimut hangat. Seorang lelaki dewasa masih tertidur pulas di sampingnya.
"Kenapa justru memikirkan Tasya?" gerutu Raya.
Salah satu tangannya mematik api untuk menyalakan rokok miliknya. Tangan lainnya menggeser layar ponsel hingga terlihat banyak pesan dari Tasya. Dahinya mengernyit lalu karena penasaran ia pun membuka pesan tersebut.
"Gue mohon, kamu harus membantuku mendapatkan pekerjaan. Please gue butuh uang!" ~Tasya
Raya masih sibuk membaca satu persatu pesan dari Tasya, tiba-tiba saja muncul iklan dari sebuah web yang memberitahukan tentang kematian sepasang suami istri dari Keluarga Matteo.
Tangan Raya menggulir satu persatu berita itu dan membacanya dengan teliti.
"Rupanya Papa Mama Tasya sudah meninggal dalam kecelakaan itu?"
"Innalilahi, pantesan Tasya sampai mendesak gue!"
"Mana harta kekayaan Matteo jatuh ke tangan Albert. Haruskah menolong Tasya saat ini?"
Pikiran Raya berkecamuk. Ada sebuah rasa yang mengharuskan ia bisa membantu Tasya, tetapi ia takut pandangan Tasya akan berubah sama seperti teman lainnya yang sudah mengetahui pekerjaan Raya yang sesungguhnya.
"Persetan kamu mau anggap dosa, yang jelas sebentar lagi kamu bisa menilai bagaimana pekerjaan ini."
Jari jemari Raya dengan cepat mengetikkan pesan untuk Tasya.
"Oke, gue bantu kamu. Besok datang ke alamat ini dan pakai pakaian yang sudah dipersiapkan di loker A21."~Raya
Meskipun ragu, tetapi Raya tidak ingin membuat Tasya semakin kesulitan. Sebisa mungkin ia akan membantu Tasya sama seperti keluarga Matteo yang pernah membantu keluarganya.
Keesokan harinya.
Mendapati luka lebam di tubuh putrinya, Nyonya Albert marah besar.
"Bagaimana bisa, anak miskin itu melukai putri kita!"
"Mana mungkin Tasya melakukan hal ini?"
"Kalau Papa nggak percaya, buka saja CTTV di kamar Tasya dan lihat bagaimana ia bersikap anarkis."
Tuan Albert yang sangat menyayangi putrinya segera memeriksa rekaman CCTV, betapa terkejutnya ia ketika melihat sendiri bagaimana Tasya melukai Karen. Tangan tuanya terlihat mengepal. Otot-otot di tangannya terlihat.
"Panggil Tasya kemari!"
"Dengan senang hati!"
Tasya yang baru saja selesai mandi begitu terkejut ketika menyadari ada dua pelayan yang memaksanya pergi ke ruang kerja Albert.
"Paman, Tante ... Karen," sapanya ramah.
Tuan Albert tampak melemparkan sebuah map ke arah Tasya yang dengan segera ia pungut.
"Kau ingin kuliah? Sebaiknya kamu cari sendiri biaya untuk kehidupanmu!"
"Tapi, Paman. Ayah sudah mewariskan hartanya untukku!"
"Cih, enak saja. Di dalam surat warisan tertulis dengan jelas jika harta tersebut akan jatuh ke tanganmu setelah kamu berusia dua puluh tahun, paham!"
Tasya tampak mengepalkan tangannya. Dengan terisak ia menyeret koper keluar dari rumah pamannya. Sementara itu Dave baru saja bertengkar dengan istrinya. Tuntutan dari sang istri membuatnya muak.
"Jadi istri bukannya memanjakan suami, justru semakin suka marah-marah. Dia kira sudah hebat! Kalau bukan karena perjodohan dari kakek mana mungkin kita menikah!"
Dave tampak memukul stir kemudinya. Sementara itu Tasya tidak terlalu memperhatikan jalan. Justru ia menyeberang jalan ketika mobil Dave lewat.
Suara klakson tidak dihiraukan oleh Tasya hingga akhirnya moncong mobil Dave justru membuat Tasya terjatuh berguling di aspal. Tanpa Dave sadari ia lalai dalam berkendara dan justru menabrak Tasya.
Kening Tasya berdarah, ia pun pingsan di tempat. Dave dengan segera membuka pintu mobil dan mengecek keadaan Tasya.
"Astaga, dia pingsan atau sudah mati!"
Tanpa ragu Dave mendekati Tasya dan menyibak rambut poninya.
"Cantik," gumam Dave.
Sejenak ia terpikat akan kecantikan alami dari Tasya. Bibir ranum berwarna merah muda itu tampak sekali menggoda. Belum lagi kulit putih bersih miliknya membuat Dave menelan salivanya dengan susah payah.
"Astaga, apa yang kupikirkan!"
Tidak perlu menunggu waktu lama lagi, Dave segera mengangkat tubuh mungil milik Tasya dan membawanya ke Rumah Sakit. Di tengah perjalanan, lagi-lagi istrinya menelpon.
Dave sempat mengintip sebentar lalu segera kembali fokus pada kemudi.
"Cantik, kamu luka-luka kamu diobati dulu, ya."
Hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit, mobil Dave sudah masuk ke area Rumah Sakit dan sesudah itu ia akan langsung menuju tempat suster jaga.
"Percayalah pada tenaga medis kami, akan kami lakukan yang terbaik."
"Terima kasih."
Tubuh Tasya langsung diperiksa dan setelah berhasil ia segera dipindahkan ke dalam ruang rawat. Sementara itu, Dave segera pergi ke kantor karena ada rapat penting.
Hanya beberapa saat, Tasya sudah bangun dari tidurnya. Rasa pusing masih menderanya.
"Argh!"
"Pelan-pelan, Nona. Luka Nona masih belum kering."
"Saya kenapa, Sus?"
"Nona baru saja tertabrak dan saat ini luka-luka Nona sudah dijahit. Tenang saja, dua hari lagi sudah boleh pulang, Kok."
"Ha-ah!"
"Satu lagi, Non. Luka Nona tidak akan berbekas kalau pakai salep ini."
Dengan tersenyum dan tanpa rasa curiga, suster itu langsung memberikan salep itu pada Tasya, lalu permisi pergi. Taysa tampak memegang kepalanya.
"Untung tidak diinfus!"
Setelah dirasa aman, Tasya segera menyelinap keluar dari Rumah Sakit. Tanpa lupa ia membawa serta koper miliknya. Diliriknya jam tangan miliknya.
"Untung masih sempat!"
Saat melihat taksi, Tasya segera melambaikan tangan dan masuk ke dalam.
"Antar ke alamat ini, ya Pak."
"Baik, Non."
Raya tampak mondar-mandir di depan mini bar.
"Lo kenapa, Ray? Lagi dapet?"
"Enggak, cuma lagi nunggu teman."
Dalam sekejap, Tasya sudah sampai di tempat yang dimaksud. Keningnya berkerut saat melihat nama yang tertera di hadapannya.
Ditepisnya pikiran buruk yang berkecamuk di dalam kepala Tasya. Dihirupnya udara dalam-dalam lalu ia bergegas masuk.
"Ya Tuhan, lindungi hamba, Aamiin."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Bara
sukurin tuh
2023-02-26
5