Di dalam taksi itu Kalula menangis. Edward menenangkannya. Sopir taksi yang tadi mengantar mereka jadi bingung. Tapi tentu ia hanya diam sambil sesekali melirik ke arah spion tengah.
Baju Kalula basah. Rambutnya juga. Tadi gerimis yang menjelma hujan lebat itu sempat menghantamnya saat ia hendak masuk taksi.
Kalula terisak. Ia pikir setelah basah-basahan di dalam taksi, ia akan pulang disambut minuman hangat oleh mamanya. Ternyata ditagih uang dan diomeli, bahkan sampai wanita itu keceplosan menyebutkan identitas aslinya.
"Aku bukan anak kandung, Ed." Kalula yang lelah menangis menatap ke arah jendela. Dilihatnya hujan rupanya turun lagi dengan deras. Ia berucap lirih.
Entah kenapa taksi ini ikut sial dan terjebak di jalur macet ini. Maklum, hujan di jam-jam tertentu biasanya membuat jalur padat dan macet.
Edward menggenggam tangannya. Kalula membiarkan saja.
"Dia menjambakmu. Aku lihat dengan mata kepalaku. Aku bahkan belum pernah melihat ada orang tua sekejam itu pada anaknya. Sudahlah, pergi dari rumah itu. Pantas saja dia jahat. Dia hanya ingin uangmu, Kal." Edward tampak kesal.
Kalula mulai agak menggigil kedinginan tertawa sumbang.
"Ed, dijambak itu terlalu biasa untukku. Aku pernah dipukul, ditendang, disiram teh panas karena teh buatanku kurang man..."
"Stop! Kal! Please. Aku tak pernah diperlakukan seburuk itu oleh siapapun. Itu jahat, Kal! Kenapa kamu diam saja?" Edward makin ikut panas.
Sopir taksi yang tadinya cuek kini ikut menegang mendengar cerita ini. Ia terlalu lelah menyetir sejak pagi, dan mungkin menguping percakapan penumpang begini menjadi hiburan tersendiri baginya.
"Katanya dia sayang. Katanya biar aku terdidik dan menjadi kuat. Seharusnya aku curiga karena kalau di depan papa, dia baik. Aku pikir itu bentuk sayang." Kalula mengusap air matanya yang menetes-netes lagi.
Edward tampak emosi. Simpati, empati, iba, dan nalurinya untuk melindungi Kalula makin besar dan membara.
"No! Nggak, Kal! Itu abbusive! Itu bukan sayang. Jangan kembali lagi ke rumah itu. Kamu nggak hutang budi. Sebelum ini yang membiayai hidupmu kan mendiang papamu. Bukan perempuan itu.
Kal, please. Ini nggak adil. Kamu susah payah kerja, Kal. Pikirkan dirimu sendiri. Edo tahu soal ini? Soal mamamu yang suka kasar?" Edward menggenggam tangan Kalula makin erat.
Kalula menggeleng lemah. "Nggak tahu. Mama selalu baik di depan Edo. Aku juga merasa nggak pantas sih bilang ini sama dia walau kita sedekat itu. Itu kan masalah keluarga.
Aku pikir dulu mama begitu karena stress dan capek memikirkan kondisi ekonomi kita, memikirkan papa yang sakit-sakitan. Aku sering lihat dia nangis. Aku sedih lihat dia sedih. Kupikir dia butuh pelampiasan. Makannya aku nggak marah atau melawan kalau dia mulai kasar secara verbal maupun fisik."
Edward menarik nafas panjang. Ia mulai gemas. Bisa-bisanya Kalula berpikir setulus itu pada orang yang menjahatinya.
"Kal, seandainya pun dia mama kandung kamu, perbuatannya tetap salah. Jangan menormalisasi ini!" Edward masih mencoba menurunkan suaranya yang terdengar geram.
Kalula diam saja. Ia hanya mencoba melepaskan genggaman tangan Edward karena ia mulai kewalahan mengusap air matanya dengan satu tangan saja.
"Aku pernah lihat buku nikah mereka. Status ayahku perjaka, bukan duda. Entah kenapa begitu. Mungkin salah atau status pernikahan lamanya dengan ibu kandungku tak dicatat.
Aku kaget waktu itu. Tanggal lahirku beberapa bulan lebih cepat dari tanggal pernikahan mereka. Papa bingung menjawab. Tak mungkin dia bilang salah ketik. Dokumen itu terintegrasi ke dokumen lain yang sejenis. Tanggalnya sama. Tak mungkin salah ketik semua.
Wajah papa berubah sedih saat aku menanyakan hal itu. Waktu itu aku SMP. Papa minta maaf. Dia bilang mama hamil di luar nikah. Aku paham. Kupikir papa mungkin malu mengakui ini. Tapi setelah kupikirkan sekarang, papa bohong.
Mama kandungku meninggal saat melahirkan aku. Lalu papa menikahi mama Sastri, lalu beberapa tahun kemudian lahirlah Karina. Jadi kita tidak seibu, hanya seayah. Pantas mama sangat lembut dan tak pernah marah pada Karina. Sedangkan denganku, dia kasar."
Kalula mengakhiri kalimatnya dengan mengusap air matanya lagi dan berusaha tersenyum.
"Nggak peduli sama cerita itu, Kal. Mamamu tetap jahat. Pergi dan jangan pernah kembali dari rumah itu!" Edward mencoba untuk menggengam tangan Kalula lagi.
Kalula menoleh padanya dengan tatapan mata hampa.
"Aku nggak punya tujuan, Ed. Aku nggak punya uang. Aku terlalu emosional tadi. Makannya aku ikut denganmu naik taksi ini. Kalau tidak ada kamu pasti aku akan lari sambil nangis ke gang sebelah. Habis itu aku pulang lagi dan mamaku akan minta maaf, lalu besoknya mungkin kembali kasar lagi."
Kalula tertawa getir.
Edward menggeleng.
"Nggak! Nggak, Kal! Aku nggak akan antar kamu kembali ke rumah itu! Kita pulang ke ke tempatku." Edward berkata dengan tegas.
Kalula entah kenapa diam saja. Ia tak menolak paksaan Edward. Toh membayangkan pulang ke rumah kontrakan mamanya membuatnya muak. Setidaknya saat ini.
Kalau habis bertengkar biasa dan dikasari ia mungkin masih akan pulang. Tapi kali ini berbeda. Kalula mendapatkan jawaban atas semua perlakuan buruk yang ia terima selama ini : ia bukan anak kandung.
"Pak, depan belok kanan. Ke apartemen Cempaka Tower 1." Edward memberi instruksi pada sopir taksi.
***
Kalula sedikit basah kuyup. Tangannya memeluk lengannya untuk mengusir dingin. Ia menatap sekeliling dengan bingung.
Saat tadi Edward menyebut-nyebut soal ia tinggal di apartemen, Kalula pikira hanya apartemen biasa yang sewanya murah.
Bukannya meremehkan. Bagaimanapun Edward kan cuma barista. Berapa sih gajinya? Kok bisa mampu tinggal di apartemen yang begitu mewah begini?
Kelihatan sekali kalau apartemen ini sangat berkelas dan tidak sembarangan orang bisa tinggal di sini, kecuali orang berduit tentu saja.
Edward memencet tombol lift dan mempersilakan Kalula mengikutinya. Ia tampak gelisah. Otaknya ia peras untuk mencari alasan soal apartemen tak masuk akal ini.
Hingga akhirnya ketika para penumpang lift itu turun satu per satu dan hanya tinggal mereka berdua, mulut Kalula yang baru terbuka untuk bertanya ini langsung terkatup.
Edward sudah mendahului menjelaskan semuanya.
"Aku nggak mungkin mampu tinggal di sini kan, Kal? Ya, ini apartemen sepupuku. Sepupu jauh. Dia kuliah di luar negeri, jadi aku disuruh jagain apartemennya. Karena kalau disewakan dia takut penyewanya tak bertanggung jawab dan merusak barang-barang.
Tapi kalau dibuarkan kosong tidak ditempati, katanya ia merasa nanti lama-lama ada penunggunya. Dia percaya hantu. Katanya auranya jadi suram." Edward menjelaskan soal hantu sambil nyengir. Entah apakah alasan ini masuk akal. Ia tak peduli. Ia bingung mau cari alasan apa.
Kalula hanya menyimak sambil mengerutkan alisnya.
"Sedangkan dianya pulang ke sini saat liburan musim panas aja, Kal. Jadi aku beruntung bisa menumpang di tempat mewah begini, kan?" Edward sedikit terbata saat mengarang-arang alasan ini.
Ah, padahal ini apartemen pribadinya. Ia memang tinggal di sini.
Kalula manggut-manggut. Rupanya penjelasan Edward ia rasa masuk akal dan cukup meyakinkan. Ia mengangguk percaya.
Lalu masuklah mereka ke apartemen Edward. Kalula agak takjub juga. Unit ini luas dan mewah.
Edward cepat tanggap. Ia lalu mengarahkan Kalula menuju kamarnya dan mengambilkannya pakaian ganti miliknya. Ia juga menyuruh Kalula duluan berganti pakaian agar tak kedinginan dan sakit.
Kalula menatap kaos putih pinjaman Edward dengan malu. Ia memberanikan diri untuk minta tukar. Ia tak tahu saat ia berbalik dari arah kamar mandi, Edward sedang melepas kaos yang ia pakai sehingga tampaklah otot-otot maskulinnya itu.
Entah kenapa Kalula merasa malu dan tak pantas melihat pemandangan ini. Ia berbalik badan lagi sambil menahan nafasnya.
"Kenapa, Kal? Handuknya ada di dalam. Untuk mengatur air hangat tinggal tekan tombol merah seperti yang kubilang tadi." Edward bertanya.
Kalula merasakan pipinya memerah. Ia ragu tapi ia harus bilang mau tak mau. Bajunya basah sampai dalam-dalam. Ia tak mungkin pakai baju putih. Bisa-bisa tembus pandang semuanya.
"Ed, semua pakaianku basah. Semua. Oke? Semua!" Kalula menahan nafas.
"Ya? Terus?" Edward rupanya belum menangkap arah pembicaraan ini.
"Ya. Semua basah. Aku nggak punya baju ganti makannya kamu pinjami, kan? Nah, pinjami aku baju hitam atau yang warnanya gelap. Tapi yang penting tebal. Oke? Tebal. Kamu ngerti kan maksudku?" Kalula berkata sambil menahan malu dengan posisi membelakangi Edward karena tak mau melihat pria itu tanpa baju.
Edward tersenyum. Ia mengiyakan dan segera mencari pakaian yang dimaksud Kalula dengan segera. Ia tahu ini hari buruk bagi Kalula, tapi melihat gadis itu tersipu di apartemennya membuatnya senang.
"Thanks, Ed." Kalula menerima baju dan lari ke kamar mandi.
Edward tertawa gemas. Lalu tawanya terhenti begitu mendengar suara getaran ponsel. Matanya langsung tertuju ke arah tas selempang Kalula.
Edward tahu ini lancang, tapi ia merasa sangat penasaran. Ia mengecek ponsel Kalula yang sedang mandi.
"My Edo memanggil"
"Cih! My Edo? Lihatlah, Do. Sebentar lagi kubuat namamu terblokir di daftar kontak Kalula. Kalula punyaku sekarang." Edward membatin dengan tengil.
Edward dengan licik memencet tombol power di samping ponsel agar benda pipih itu mati alias non aktif.
Biar! Biar Edo tak menganggu mereka berdua malam ini.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments