Edward Megantara, anak konglomerat yang baru-baru ini terpukul karena papanya meninggal. Mamanya mulai mencemaskannya dan menyuruhnya segera pulang dari Adelaide begitu ia lulus kuliah.
Mamanya mencemaskan kelangsungan bisnis keluarga mereka. Edward adalah anak satu-satunya dan ia susah diatur.
Edward berjiwa bebas. Ia ingin lepas tangan dari bisnis ini. Ia ingin sekolah film seperti mimpinya, tapi mamanya terus memaksanya untuk sekolah bisnis. Akhirnya toh ia lulus juga.
Tapi ia sudah mulai lelah diatur-atur terus. Papanya yang biasa membelanya juga sudah tiada. Ia ingin kabur dari tanggung jawab ini tapi mamanya membuatnya tertahan di sini.
"Kamu kerja di sini?" tanya Edward yang sejak tadi matanya tidak lepas-lepas memandang Kalula yang berlesung pipit dan berkulit putih itu.
Kalula menggeleng. Ia memakai blus warna putih dan rok selutut berwarna hitam. Disibakkannya anak rambutnya yang jatuh ke belakang telinganya.
Sungguh gerakan itu seperti slow motion yang memikat Edward. Ia makin terpana.
"Aku ada wawancara. Kayaknya telat. Semoga masih ada kesempatan. Aku tadi kesiangan bangun. Aku pergi dulu, ya," ucap Kalula yang langsung berlari masuk ke dalam ruangan.
Edward langsung bergerak gesit memanggil manager cafe. Pria berkemeja biru itu menghadap padanya dengan bingung.
"Ada apa, Pak Edward?" tanya Dika sang manager cafe itu. Ia bingung kenapa Edward yang tadinya hendak pulang setelah mengecek salah satu cabang cafe ini memanggilnya lagi. Apa ia punya kesalahan? Dika menatap boss barunya itu dengan takut-takut.
"Cewek yang tadi, Dik. Katanya dia telat wawancara. Memang kita butuh karyawan baru, ya?" tanya Edward.
"Oh, iya, Pak. Pelayan yang kemarin resign, jadi butuh pengganti baru. Ada apa ya, Pak?" tanya Dika dengan bingung.
"Nggak papa. Kamu lolosin dia, ya. Terus biarin besok saya masuk kerja juga di sini. Jangan panggil saya Pak. Panggil saya Edward. Bilang sama yang lain juga yang sudah terlanjur tahu siapa saya.
Jangan sampai mereka tahu saya pemilik tempat ini. Saya pengen pura-pura jadi karyawan. Jangan tanya kenapa dan jangan banyak tanya. Jangan bilang sama mama saya juga. Oke? Ya sudah sana pergi," ucap Edward.
Dika menatap bingung. Bukannya pergi tapi ia hanya berdiam diri di tempat dengan panik.
Sungguh ia tidak mengerti dengan perintah boss barunya ini. Edward yang baru pertama kali datang ke sini untuk sekedar mengecek cabang cafe tiba-tiba mau ikutan kerja di sini?
"Kenapa lagi? Kamu bingung? Udahlah. Pokoknya nanti saya kasih bonus tambahan kalau kalian tutup mulut. Tadi siapa yang sudah terlanjur tahu kalau saya anaknya bu Amel? Cuma kamu kan sama cowok tadi? Pokoknya besok saya kerja di sini.
Sekarang ada posisi barista kosong, kan? Ada atau nggak ada saya akan tetap datang besok. Biarin saya di situ. Ngerti? Sudah sana!" Edward lalu mendorong Dika menjauh.
Dika masih kebingungan tapi Edward memberi kode ke arah Kalula yang sedang duduk menunggu di dalam ruangan dengan pintu kaca transparan itu.
"Terima." Edward memberi kode tanpa suara.
Dika hanya mengangguk dengan pasrah. Entahlah apa rencana Edward itu. Ia tak paham. Yang jelas dia tidak mau melanggar perintah boss-nya.
***
Siang itu Kalula meninggalkan area cafe dengan senyum terkembang. Ya, ia diterima bekerja di sana.
Dika sang manager cafe yang tadi mewawancarainya langsung menerimanya tanpa banyak tanya.
"Hei, gimana wawancaranya?" tanya Edward yang tiba-tiba sudah muncul menyapanya.
"Aku diterima. Oh ya, kamu ngapain masih di sini?" tanya Kalula.
Suasana hatinya sedang bagus. Ia yang biasanya tidak akan ramah pada orang yang tak dikenal itu mendadak menjadi ramah.
"Oh, aku tadi juga barusan wawancara. Mulai besok aku kerja di situ jadi barista." Edward membual. Padahal mobil sport-nya terparkir di depan cafe itu.
Mobil mewah itu sekarang ia lewati seolah bukan ia pemilik mobilnya. Ia terus bicara mengikuti Kalula.
"Oh ya, salam kenal. Aku Kalula," ucap Kalula yang langsung menghentikan langkahnya dan mengulurkan tangannya ke arah Edward.
"Aku Edward," ucapnya sambil menyambut uluran tangan itu. Sejak tadi wajahnya tidak berhenti tersenyum.
Kalula sungguh-sungguh membuatnya merasa bersemangat. Ia yang awalnya menolak permintaan mamanya untuk mengelola tempat-tempat usaha mereka jadi berubah pikiran.
Ya, baiklah. Daripada kabur-kaburan lagi dan membuat mamanya sakit-sakitan, lebih baik ia turuti saja mamanya.
Gampang, kan? Tinggal beberapa hari sekali mendatangi cafe mereka dan juga cabang-cabangnya. Juga beberapa tempat usaha lain di dalam kota juga. Yang di luar kota itu urusan mamanya.
Mamanya bilang ini sebagai latihan saja. Siapa tahu Edward nyaman dan setuju untuk mewarisi juga mengambil alih semua bisnis keluarganya itu.
"Aku senang dapat teman baru, lolos wawancara kerja juga. Gimana kalau aku traktir makan? Ini sudah masuk jam makan siang belum, sih?" ucap Edward lalu dengan spontan ia melihat jam tangannya.
Ya, jam tangan mahal yang tidak mungkin dimiliki barista cafe lalu ia sembunyikan di balik punggung. Ia menatap Kalula dengan nyengir.
Untung Kalula tidak menyadari gelagat itu. Ia hanya mengangguk saja. Entah kenapa ia menyetujui ajakan Edward
"Ke sana, yuk." Tunjuk Kalula sambil berjalan menuju ke arah gerobak bakso di pinggir trotoar yang rindang itu.
"Oke." Edward menyahut dengan agak ragu tapi wajahnya tetap tersenyum.
Ia dibesarkan di sangkar emas. Ke mana-mana diantar jemput sopir dengan mobil mewah. Mana ia pernah makan di pinggir jalan begitu. Tapi demi Kalula ia mengangguk saja.
Entah kenapa setiap Kalula sedang asyik bicara, seolah-olah ada energi darinya yang menyalur untuknya. Tak lepas-lepas ia menatapnya. Ia kagum dan makin ingin mengenal sosok itu. Kalula yang selalu terlihat ceria.
Dan esoknya di cafe itu, Edward terus menerus mencuri-curi pandang ke arahnya sambil mencari-cari kesempatan untuk sekedar mengobrol atau menghabiskan waktu bersama saat jam istirahat.
Dika menatap boss-nya dengan cemas. Ia bingung kenapa pria itu mau saja disuruh-suruh para karyawan yang lain yang tidak tahu siapa jati dirinya sebenarnya. Tapi Edward selalu mengancam Dika dengan pelototan matanya.
"Udah, jangan bilang-bilang. Suruh-suruh aku saja tidak apa-apa. Jangan terlalu sungkan dan kaku begitu. Nanti yang lain malah akan curiga. Sekarang aku karyawan dan kamu atasannya. Oke?" Edward menyikut perut Dika yang mengikutinya dengan cemas ke toilet.
Hari-hari terus berjalan hingga tak terasa sudah seminggu. Edward merasa waktunya kurang untuk bisa dekat dengan Kalula. Ia pun mencari segala cara untuk lebih dekat dengan gadis itu.
Kalula tidak menyadarinya dan menganggap Edward hanya teman bekerja biasa saja. Ia fokus saja jangan pekerjaannya dan sesekali mencuri waktu untuk menghubungi Edo yang jauh di Tokyo sana.
Walaupun Jakarta dan Tokyo hanya punya selisih waktu 2 jam, tapi perbedaan waktu itu cukup mengganggu juga. Apalagi Edo juga sibuk dengan lingkungan barunya, kesibukannya di kampus, dan banyak hal lagi yang harus dia urus sebagai mahasiswa baru.
Kalula merasa terabaikan. Pikirannya jadi kemana-mana karena takut Edo makin dekat dengan Erina.
Ia trauma karena pernah diselingkuhi Edo. Dan rasa ketakutan itu membuat pikirannya beracun.
Sore itu setelah berganti pakaian dan bersiap hendak pulang, Kalula menatap handphone-nya dia melihat akun sosial media Erina yang ia ikuti karena mereka saling mengenal saat seleksi dulu.
Kalula melihat kebersamaan 5 kandidat yang lulus beasiswa itu sedang makan bersama di sebuah resto. Rasa iri mengguncang hatinya. Seharusnya ia di sana, di antara mereka.
Mereka mengunggah foto juga beberapa video bersama. Dan dari video itu Kalula melihat Erina dan Edo duduk bersebelahan. Hatinya langsung panas.
Erina juga secara khusus memposting foto selfie mereka berdua yang sedang menikmati makanan. Sungguh ini hanya pertemanan biasa saja. Toh Erina juga berfoto dengan yang lain juga. Tapi hati Kalula terlanjur panas.
Ia mematikan handphone-nya dan berjalan pulang dengan murung. Edward mengikutinya dan terus berusaha sok akrab mengajaknya bicara.
Dengan semua sandiwara Edward, akhirnya Kalula yang kesepian dan sedang dilanda cemburu itu setuju untuk menghabiskan makan malam bersama di warung bakso tempat mereka dulu makan saat pertama kali bertemu.
Padahal sebenarnya tempat itu adalah tempat makan favorit Edo dan Kalula.
"Pacarku jarang mengabari. Katanya sibuk. Tapi aku melihat foto ini. Menurut kamu mereka berteman saja atau ada hubungan lebih? Apa aku terlalu berlebihan ya karena aku cemburu?" Akhirnya Kalula yang sudah mulai terpancing itu curhat dengan Edward.
Edward langsung menatap kecewa.
Oh, ternyata Kalula sudah punya pacar.
Diliriknya layar handphone Kalula. Kalula menunjukkan foto Edo dengan Erina.
"Kayaknya temenan. Tapi kok deketan gini, sih. Kamu yakin mereka nggak ada apa-apa?" Edward justru mengompori dan menghasut Kalula yang sedang galau.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Secangkir Kopi
si Edward, ketok e ape nulung, tapi ape menthung🤣
2023-04-16
1