Kalula menahan nafasnya. Ia membiarkan dirinya nyaman di dalam pelukan Edward. Tapi ketika matanya makin terpejam dan terpejam menikmati perasaan yang berlarut ini, tiba-tiba terbayang di kepalanya.
Bagaimana kalau nun jauh di Tokyo sana, Edo melakukan hal yang sama sepertinya. Misalnya ia memeluk Erina seperti ini...
Arghhh! Tidak!
Dengan gerakan yang spontan, Kalula lalu mendorong tubuh Edward dan berusaha mencairkan suasana dengan tertawa.
"Sorry, Ed. A--aku cuma... . Mmm, sorry, Edward. Seharusnya kita nggak begini. Maksudku aku nggak begini," ucapnya dengan gugup.
Mereka masih berdiri di sisi jalan itu, di tengah suasana ibukota yang gegap gempita oleh cahaya dan keramaiannya.
Edward hanya tertawa. Ia tahu Kalula merasa bersalah karena memeluknya. Ia pun hanya mengangkat bahu dengan santai.
"It's okay, Kal. Ini juga cuma pelukan biasa. Kita teman, kan? Kamu sedih dan aku menghiburmu. Lalu karena kamu ingin menangis, aku memelukmu untuk menenangkan. Wajar dong?
Ya, jelas berbeda dengan pelukan lain. Misalnya Edo memeluk cewek yang tadi kamu kasih lihat fotonya di handphone-mu?" Edward dengan sengaja masih saja menggoda Kalula soal Edo.
"Edward! Please!" Kalula langsung meninju pelan perut Edward dan tertawa. Mereka berjalan lagi dengan pelan menikmati malam.
Sambil berjalan, Edward terus mencuri-curi pandang ke arah Kalula. Padahal jelas arah tujuan pulangnya tidak ke sini. Apalagi mobilnya ia parkirkan jauh di belakang sana. Sungguh Edward tak peduli. Ia nanti bisa naik taksi untuk mengambil mobilnya.
"Oh ya, kamu tinggal di mana, sih? Kita searah?" tanya Kalula.
Edward tertawa. Ia mengangkat bahu dan tidak menjawab apa-apa. Ia hanya menunjuk ke arah depan agar Kalula tak banyak tanya lagi.
Pokoknya kemanapun Kalula melangkah, ia akan ikut. Edward tahu Kalula hanya kalut dan kesepian. Ia merindukan Edo, makanya ia berjalan tanpa arah begini untuk membunuh rasa sepinya. Dan ia akan dengan senang hati menemaninya jalan.
"Soal Edo, berarti orang tuamu mengenalnya dan setuju dengan hubungan kalian?" tanya Edward tiba-tiba. Pokoknya ia tidak ingin obrolan ini terputus. Ia ingin Kalula nyaman di sampingnya
"Ya begitulah. Dulu mendiang papaku sangat menyukainya. Papa ingin anak laki-laki. Ketika adikku lahir ternyata perempuan juga. Jadi begitu ada Edo masuk ke keluarga kami, ia diterima dengan hangat.
Mamaku juga cukup senang dan sayang padanya. Ya walaupun kadang aku suka mengomelinya. Semenjak Papa meninggal, beban tulang punggung keluarga jatuh ke tanganku.
Adikku mana tahu yang namanya berhemat. Dia masih SMP. Lalu mamaku sama saja. Dan karena Edo begitu baik, dia sering tak bisa menolak ketika Mama meminjam uang padanya.
Katanya utang tapi ujung-ujungnya tidak dibayar juga. Ah, kesal aku soal itu. Padahal aku ingin Edo menabung. Dia punya cita-cita besar. Seharusnya tabungannya sudah banyak. Tapi dia kebanyakan membantu aku secara finansial.
Hal itu membuatku merasa berhutang budi. Jadi kami ini lebih dari sekedar pacar. Walaupun kita masih umur 20-an awal, bahkan aku pun juga belum 20 tahun. Tapi hubungan ini sangat berarti. Jadi aku takut kehilangan Edo," ucap Kalula lalu ia berhenti dan menunjuk sebuah kursi di dekat air mancur pusat kota.
Edward tahu Kalula memberinya kode apa ia ingin duduk atau tidak. Edward langsung mengangguk-angguk. Ia lalu ikut duduk di samping Kalula.
Mendengar Kalula bicara mengungkapkan soal keluarganya, kehidupannya, dan soal kisah asmaranya secara terbuka begini membuat Edward yakin. Cepat atau lambat Kalula bisa jatuh cinta dengannya.
Edward mulai obsesif. Ia ingin Kalula melupakan Edo. Entah bagaimana caranya, ia ingin menghancurkan hubungan mereka.
Hubungan LDR itu seberapa kuat, sih? Lihat saja seberapa tahan mereka bertengkar terus dan salah paham begini. Apalagi dengan jarak antar negara seperti ini, dengan perbedaan waktu yang ada juga.
Kalula menggoyang-goyangkan kakinya di kursi dan menatap gedung-gedung tinggi itu sambil tertawa. Mungkin ia mulai melupakan kegalauannya dan menemukan penghiburan dengan bercerita pada Edward. Apalagi Edward cukup jenaka merespon obrolan ini.
"Kok kayak ada suara petir, ya," ucap Kalula lalu ia mengecek ponselnya untuk melihat jam.
Ah, pukul sebelas malam. Artinya di Tokyo sudah pukul satu pagi. Mungkin Edo yang ia pikirkan sambil bergalau ria ini sedang enak-enakan tidur.
"Kayaknya mau hujan, Kal. Kamu pulang aja, deh. Aku anterin, ya," ucap Edward sambil menatap Kalula yang wajah cerianya berubah menjadi murung lagi.
Kalula masih menatap layar handphone-nya yang kosong tanpa notifikasi.
"Dari tadi kita ngobrol, dari tadi kita makan bakso, lalu sampai jalan ke sini, duduk lama di sini; Edo nggak ngabarin sama sekali. Sama sekali nggak!" Kalula menunduk sedih.
"Kal, besok kamu bisa tanyakan ke dia. Kenapa pulang makan-makan yang kamu lihat di foto itu dia tidak mengabari apapun sampai malam. Bahkan di sana sudah mau pagi. Oke?
Mulai gerimis nih, Kal. Ah, kok tiba-tiba, ya. Itu taksi! Taksi taksi! Ayo naik, aku antar pulang!"
Edward menarik tangan Kalula. Mereka masuk ke dalam taksi dalam keadaan rambut mereka sudah basah. Begitu pintu mobil truk ditutup hujan sudah berubah menjadi makin deras.
Kalula dan Edward sama-sama tertawa di mobil. Menertawakan kekonyolan mereka sendiri.
Edward mengibaskan jaketnya dan Kalula menepuk rambutnya yang basah karena sudah tersapu gerimis itu.
"Aku turun halte aja, Ed. Terus nunggu reda hujannya. Ya nanti aku jalan kaki aja. Aku biasa kok jalan kaki," ucap Kalula begitu melirik ke arah argo taksi.
"Aku yang bayar. Udah. Tenang Emang kenapa, sih? Aku cuma nganter temen baru aku pulang, kok. Aku kan gentlemen. Nggak akan aku biarkan kamu jalan sendirian di jalan yang rawan ini, apalagi sedang hujan. Udah Pak jalan! Sebutin alamat kamu, Kal," ucap Edward dengan santai.
Ya jarak tempat tinggal Kalula memang tak begitu jauh kalau ia berjalan kaki. Tapi kalau naik taksi, artinya harus lewat jalan utama yang memutar.
Begitu hampir sampai tujuan, ternyata hujan sudah reda. Mungkin kawasan ini sudah hujan duluan tadi. Terlihat dari becekan air yang sudah menggenang di mana-mana dan pepohonan yang daunnya basah.
"Aku turun sini. Kayaknya taksinya susah muter, deh. Aku lupa bilang tadi kalau gangnya sempit. Maaf, ya," ucap Kalula merasa bersalah.
Edward bilang tidak apa-apa. Ia justru ikut turun dan mengarahkan sopir taksi untuk memutar arah.
Kalula berdiri di samping Edward. Ia tidak mungkin masuk ke dalam rumah sementara orang yang capek-capek mengantarnya masih bingung mengurus taksi.
Yang Kalula tak sadar, ternyata mamanya sudah menunggunya di depan pintu. Ia berkacak pinggang dan langsung menghampiri Kalula dan menjambak rambutnya hingga Edward yang berdiri di samping Kalula saja terkejut dan dengan spontan ingin mendorong mama Kalula.
"Aw! Sakit, Ma," ucap Kalula sambil merintih, berusaha melepaskan jambakan kejam mamanya itu dari kepalanya.
"Kamu kemana aja? Kenapa baru pulang? Mama nggak bisa nelpon kamu. Nggak ada pulsa, nggak ada kuota. Ada memang orang pulang kerja tengah malam begini? Ini siapa lagi? Kamu pulang sama cowok lain?
Mama capek ditagih uang sewa kontrakan dari sore. Mama bilang nunggu kamu pulang buat bisa bayar malah kamu nggak pulang-pulang. Adik kamu besok ujian dan dia jadi keberisikan gara-gara pemiliknya marah-marah berantem sama Mama.
Tuh listrik di rumah juga hampir mati. Habis tokennya. Eh, ini kamu malah enak-enakan ketawa-ketawa di sini sama cowok. Pakai gaya-gayaan pulang naik taksi. Kayak punya uang banyak aja. Mana, Mama perlu uang!" ucap wanita berambut pendek dan berwajah galak itu.
Kalula benar-benar memerah wajahnya. Selain menahan sakit karena habis dijambak, ia juga menahan malu. Di depan Edward yang belum seberapa akrab dengannya, mamanya malah bersikap begini memalukan.
Kalula ingin menangis. Edward menatapnya dengan prihatin sekaligus iba sekaligus merasakan kesal. Ia heran kenapa ada orang tua di zaman sekarang ini yang berbuat begini.
Kalula yang tidak melawan diperlakukan seperti itu membuat Edward makin gemas.
"Ma, aku baru kerja berapa hari kan, Ma. Belum ada sebulan. Tentu aku belum punya gaji." Kalula terdengar begitu malu.
Taksi yang seharusnya menunggu Edward untuk kembali masuk dan menumpang pulang itu menunggu dengan bingung. Edward memberinya kode untuk menunggu.
Jelas Edward tak mau meninggalkan Kalula diperlakukan begini, walau oleh mamanya sendiri. Nalurinya sebagai lelaki untuk melindungi membuatnya bertahan walau Kalula sudah memberinya kode untuk pulang saja.
"Ya kamu cari hutang ke ke teman kamu, ke boss kamu. Papa kamu sudah nggak ada. Kamu punya hutang budi sama Mama. Mama ya yang urusin kamu dari bayi! Kalau nggak mau jadi apa kamu setelah mamamu meninggal!" Perempuan berkelakuan kasar itu menghardik Kalula.
Kalula diam seribu bahasa. Hujan mendadak turun lagi dengan deras.
"Maksud Mama apa? Aku bukan anak kandung Mama? Mamaku sudah meninggal?" Kalula merasa petir yang menyambar di langit sana ini menyambar kepalanya.
Perempuan paruh baya yang biasa dipanggil Sastri itu mulai panik dengan kata-katanya sendiri. Hari ini ia terlampau stress karena tuntutan uang hingga kelepasan bicara.
"Kal, Mama cuma... . Ya papa kamu dulu melarang Mama bilang ini. Tapi kamu anak Mama, kok. Mama sayang sama kamu, kan? Mama..."
"Nggak! Pantas Mama lebih sayang Karina daripada aku! Mama cuma peras uangku. Mama nggak peduli perasaanku!" Kalula berteriak saat hujan makin deras turun. Air matanya bercampur hujan.
"Kal, kita pergi!" Edward menarik tangannya.
Kalula ikut tanpa banyak tanya. Ia masuk ke dalam taksi.
Sastri yang sosok aslinya sebagai ibu tiri terungkap itu berusaha mengejar taksi yang membawa Kalula dan Edward pergi, namun ia terjatuh di tengah hujan.
Kecepatan taksi itu tak sebanding dengannya.
"Kal! Mama gimana! Mama butuh uangmu!" Dalam hujan deras yang mengguyurnya, isi kepala Sastri masih soal uang, uang, dan uang saja.
Kalula sudah muak...
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments