Sekitar delapan putaran yang sudah kami lalui. Itu setara dengan jarak 6 km. Nafas guru olahraga kami sudah tampak terengah-engah, meski memang benar dia berada di posisi pertama.
"Bapak nyerah aja," teriak salah satu siswa yang sudah duduk bersama yang lainnya di tengah lapangan, "kita nggak mau Bapak kena serangan jantung," lanjutnya.
"Yang. Kamu. Omongin. Barusan. Masuk. Akal," ucapnya lemah, tersendat-sendat, "Bapak. Udah. Nggak. Muda. Lagi."
Dia segera melambatkan larinya dan bergerak keluar dari lapangan untuk beristirahat. Saat aku dan seorang siswa melewatinya, dia melongo tidak percaya. Mungkin dia merasa bodoh karena sudah tertipu atau dia mungkin memang tidak tahu jika masih ada yang kuat berlari di belakangnya.
Fokus semua orang kembali tertuju pada kami berdua. Aku sedikit melirik mereka. Beberapa tampak asyik bersorak dan beberapa tampak tengah berbicara sambil berbisik seraya menunjuk ke arahku, dan sisanya hanya berteriak tanpa tujuan demi memeriahkan suasana. Tampaknya kumpulan orang yang sedang menunjukku itu penasaran tentang siapa aku dan bagaimana bisa aku melakukannya.
Setelah 10 putaran, aku mulai merasa lelah. Pria di depanku juga kelihatan sama. Tapi sepertinya tekad untuk menang kami tidak tergoyahkan. Aku mulai fokus kembali untuk menstabilkan pernafasanku. Aku masih sanggup berlari. Masih kuat mengelilingi tiga putaran dan saat itu pria yang bersaing denganku tampak menyerah. Aku menang.
Ini memang bukan lomba yang besar, hanya keisengan semata untuk melatih para siswa di sekolah. Tapi bagiku yang bahkan dulunya tidak kuat berlari untuk mengelilingi rumah, hal ini menjadi pencapaian yang luar biasa meski tidak ada yang ikut merayakan kemenangan ini.
Saat euforia kemenangan yang menghampiriku mulai mereda, aku sudah kembali pada kenyataan. Tidak ada yang bersuara dan ketika aku beralih 25 pasang mata yang lainnya menatapku takjub dengan mulut terbuka sempurna.
"Jam olahraga sudah selesai. Silakan kembali ke kelas," instruksi guru olahraga kami.
Butuh beberapa saat sampai akhirnya mereka sadar dan mulai berbalik meninggalkan lapangan menuju ruang ganti untuk membersihkan diri. Aku mulai mengikuti mereka dari belakang sebelum pak guru tiba-tiba temanku.
"Aretta, saya saya nggak tahu kalau ternyata kamu punya stamina yang luar biasa saat berlari. Saya benar-benar kaget lihat kamu yang bahkan bisa mengalahkan Rendi si atlet di sekolah ini," katanya.
"Terima kasih pak," dan setelahnya kami terlibat obrolan panjang, "apa saya sudah boleh permisi untuk ganti baju?" tanyaku padanya. Aku sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan sekolah yang biasa saja. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian.
Setelah pak guru mengatakan iya, aku segera melipir pergi.
Saat aku memasuki ruang ganti, semua orang tiba-tiba terdiam. Aku tidak tahu arti dari diamnya mereka. Entah itu hal baik atau buruk, tetapi itu benar-benar membuatku merasa tidak nyaman. Aku segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku sebelum ruangan ini digunakan oleh kelas lainnya. Dari dalam sini aku bisa mendengar suara-suara gaduh di luar dan juga suara bel yang berbunyi dibarengi dengan para siswi yang mulai meninggalkan ruangan.
Aku segera mempercepat mandiku dan bergegas berganti pakaian. Aku ingin beristirahat dan setelahnya kembali mengikuti kelas.
Selesai dengan semua kegiatanku di dalam sini, aku segera melangkah keluar. Baru saja kakiku menapaki lantai di luar ruangan tiba-tiba sebuah suara memanggilku
Aku langsung mengabaikannya karena tidak mungkin ada yang akan memulai obrolan denganku. Aku mengira panggilan itu untuk orang lain dan dengan cepat aku kembali melangkah.
"Hei!" panggilnya lagi dengan suara yang naik satu oktaf. Aku berbalik dan menemukan pria yang bernama Rendi tadi melambai kepadaku. Penampilannya tampak berbeda karena dia sudah membersihkan diri. Dia tampak terlihat lebih segar dibanding sebelumnya.
"Kenapa jalan lo cepet banget sih? Pelan-pelan aja, masih ada waktu untuk istirahat." Dia menggunakan kesempatan itu untuk kembali mendekatiku saat aku berhenti. Dia juga langsung berhenti ketika sudah berada di hadapan. Aku menatap dia dengan salah satu Alis yang terangkat. Aku tidak tahu apa yang dia inginkan dan hanya menunggu saja agar dia berbicara sendiri dan langsung memberitahuku.
Jangan-jangan dia merasa terancam dengan keberadaanku yang kini membuat poin larinya berkurang. Apa dia akan menyuruhku untuk menyerah? Jika memang begitu aku pasti akan melakukannya. Aku lebih memilih menjauhkan diriku dari hal-hal yang akan merugikanku di masa depan. Sama seperti yang selalu aku lakukan pada mama dan Gio. Aku hanya menerima semua keluhan dan umpatan dari mereka tanpa ada niatan untuk membalas.
Aku tidak melihat adanya keuntungan jika aku membalas mereka, yang ada malah aku yang akan dibalas lebih parah dari sebelumnya.
Percuma melawan karena yang aku dapatkan adalah tamparan sebagai balasan. Jadi untuk sekarang ketika ada yang menyudutkan ku menggunakan kata-kata aku akan menerimanya begitu saja, asalkan dia tidak menggunakan tangannya untuk membalasku. Hal itu yang selalu aku lakukan di sekolah lama ku.
"Akhirnya lo ngerespon gue. Kenalin gue Rendi Firawan, panggil aja gue Rendi biar sama kayak yang lain," katanya sambil mengulurkan tangan padaku. Aku sedikit terkejut dan tidak langsung menerima uluran tangan itu, hingga akhirnya kuberanikan diri untuk membalas uluran tangannya. Dia menggenggam jemariku.
"Gue Aretta Evelyn. Biasa dipanggil Aretta," jawabku.
Dia tersenyum kecil dan mengangguk paham. Dia mengamatiku cukup lama, mungkin heran karena aku hanya terus diam dan tidak kembali mengajukan pertanyaan, normalnya siswa pindahan pasti memiliki banyak pertanyaan. Baginya pasti aku terlihat sombong dan tampak enggan bersosialisasi. Tapi bukan itu alasan yang sebenarnya. Aku hanya tidak pandai untuk berkomunikasi.
"Lo pendiam banget ternyata," celetuknya. Mungkin dia bingung harus memberi respon seperti apa ketika melihatku hanya diam, "emang pelajaran apa sih habis ini?" tanyanya.
"Geografi kalau nggak salah," jawabku pelan.
"Mending lo ikut gue. Kalau lewat sini lo bakal telat buat masuk kelas. Lo nggak mau terlambat di hari pertama lo sekolah kan?" ucapnya.
Dia belum tahu saja jika kau sudah sengaja melewatkan jam pelajaran pertama. Tapi aku hanya diam tidak berniat untuk memberitahu. Rendi menarik lenganku dan memaksaku untuk mengikutinya. Dia pun kembali membuka obrolan meski respon dariku tidak banyak.
"Dari mana lo belajar lari kayak gitu? Apa itu bakat alami?" Dia bertanya cepat.
Awalnya aku sedikit terkejut atas pertanyaannya yang sangat terus terang. Aku kira dia akan memulai dengan basa-basi sebagai pembuka.
"Ada bakat, ada kerja keras, sama karena gue nggak punya teman," jawabku jujur.
Saat pertama kali aku berlari, Aku tidak pernah menyangka jika pada akhirnya aku bisa bertahan hingga tahap itu. Benar-benar kemajuan yang luar biasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments