Ketakutan menjadi Kenyataan

''Tidak mungkin, ini tidak mungkin. Ibu! Ibu!" Fania berteriak histeris di dalam bilik kamar mandi, matanya menatap nanar keempat benda kecil yang berada dalam genggamannya.

''Ada apa, Fan? Buka pintunya! Jangan buat ibu khawatir," teriak Asih seraya menggedor keras pintu kamar mandi.

Fania menuruti perintah sang ibu. Dia segera menghambur ke pelukan wanita paruh baya itu diiringi tangisan pilu.

''Bu, ini pasti salah, ‘kan? Keterangan di kemasan salah, ‘kan? Gak mungkin, Bu. Gak mungkin." Gadis itu mencecar ibunya seraya menunjukkan hasil tesnya.

Asih hanya bisa menatap nanar putrinya. Hati ibu mana yang tidak hancur melihat putrinya mengandung benih pria yang tidak dikenal. Pikirannya berkecamuk tak tentu arah, kepada siapa dia harus meminta pertanggungjawaban atas nasib putrinya.

''Kamu yang sabar ya, Fan." Hanya itu yang mampu terucap di bibir wanita baya itu.

Ferry dan Fena yang mendengar keributan itu pun segera menghampiri. Mereka khawatir jika ibu dan kakaknya bertengkar. Namun, dugaan mereka salah justru dua wanita berbeda usia itu tengah berpelukan dengan tangis histeris dari sang kakak.

''Ada apa, Bu?"

''Kakak kenapa?"

Ferry dan Fena bertanya dalam waktu hampir bersamaan.

''Tidak apa-apa, tadi kakak gak sengaja lihat kecoa pas buang air kecil. Kalian tau sendiri ‘kan kakak dari dulu takut kecoa," jawab Asih beralibi karena menurutnya ini bukan waktu yang tepat untuk memberitahu kedua anak kembarnya.

''Hmmh, kirain ada apa, Kak. Ngagetin orang aja." Fena merotasi kedua bola matanya. "Yuk, Fer, balik ke kamar. Aku mau lanjutin tidur."

Ferry mengangguk mengiyakan, kemudian mengekor di belakang adik kembarnya.

''Kita periksa sekarang," ujar Asih setelah kedua anaknya berlalu.

Fania langsung mendongak dengan wajah sembabnya. Tanpa ragu menolak keras ajakan sang ibu.

''Enggak, aku gak mau! Aku gak peduli sama dia. Aku benci dia. Dia makhluk yang gak aku harapkan kehadirannya," timpal Fania dengan tatapan lurus ke depan.

''Fan, dia gak salah. Ingat, Nak. Dia merupakan titipan Tuhan yang ada di rahimmu. Suka tidak suka kamu harus menerima keberadaannya." Asih berusaha sabar menasehati putri sulungnya.

Dia sangat memahami perasaan putrinya. Bukan perkara mudah bagi seorang wanita harus menanggung kehamilan ini seorang diri, terlebih kehadirannya di waktu yang tidak tepat tanpa ada suami yang mendampingi.

''Aku akan melenyapkannya, Bu."

PLAK!

Tamparan keras mendarat begitu saja ke pipi putih wanita itu. Fania hanya diam menahan rasa panas yang menjalar ke area pipinya. Sebab menurutnya, ini adalah keputusan tepat sebelum janin di dalam perutnya tumbuh membesar, sehingga membuat malu keluarganya.

''Sejak kapan ibu mengajarimu menjadi seorang pembunuh? Seandainya ibu membunuhmu, bagaimana perasaanmu?" tanya Asih dengan suara tertahan menahan geram.

Dia tidak menyangka putrinya mempunyai pikiran sedangkal itu.

''Keputusanku sudah tepat, Bu. Aku tidak ingin membuat kalian malu karena janin sialan ini." Fania memberanikan diri menatap nyalang ibunya.

''Kamu—'' Asih yang merasa geram hendak melayangkan tamparan lagi ke pipi putrinya.

Namun sayang, tangannya hanya menggantung di udara. Dia justru mengepalkan telapak tangannya berusaha keras untuk meredam emosi yang menguasai jiwanya. Karena dia sadar, emosi bukan solusi yang tepat untuk saat ini.

''Fania, ibu paham bagaimana perasaanmu. Tapi ibu mohon ... Jangan lakukan itu, selain dosa besar, itu juga membahayakan nyawamu, Fan."

''Ibu tidak pernah malu justru ibu merasa bersyukur karena sebentar lagi ibu akan menjadi seorang nenek. Kita hadapi sama-sama, urusan nanti dipikir nanti. Sekarang, kita hadapi apa yang terjadi," sambungnya untuk meredam kemarahan sang putri.

''Ibu akan selalu ada untukmu.''

Fania terisak mendengar penuturan ibunya. Tanpa banyak bicara, dia kembali memeluk sang ibu. Dia menumpahkan semua tangisnya dalam pelukan wanita paruh baya itu. Asih dengan sigap mengusap lembut punggung putrinya yang bergetar.

''Kita periksa sekarang, ya ... Hanya untuk memastikan berapa usianya." Asih berucap lagi dengan mata berkaca-kaca.

Fania mengangguk menyetujui.

...----------------...

Fania dan ibunya sudah berada di sebuah klinik. Sejak awal kedatangannya, Fania celingak-celinguk kesana kemari untuk memastikan jika tidak orang yang mengenali mereka. Dan semua tingkah lakunya tak luput dari perhatian sang ibu.

''Duduklah, Fan! Ibu pusing melihatmu mondar-mandir seperti itu." Asih menegur putrinya.

''Aku cuma takut ada yang mengenali kita, Bu," jawab Fania dengan raut penuh kekhawatiran.

''Ibu Fania Larissa." Suara seorang suster berhasil mengalihkan perhatian ibu dan anak itu.

''Saya," jawab Fania spontan.

Dia segera beranjak menghampiri suster tersebut.

''Silahkan masuk. Giliran Anda untuk periksa," ucap suster tersebut penuh keramahan.

''Ba-baik."

Asih yang mendengar hal itupun ikut menyusul putrinya memasuki ruangan yang bertuliskan 'POLI KANDUNGAN'. Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang tanpa sengaja melihat keduanya memasuki ruangan tersebut.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!