Satu bulan berlalu....
Fania berusaha bangkit dari keterpurukannya akibat kejadian nahas malam itu. Dia berusaha menyibukkan diri dengan menerima banyak pekerjaan yang ditawarkan sang atasan. Tidak jarang pula, dia harus pulang larut ketika ada acara pernikahan yang dilaksanakan pada malam hari.
Mengenai kekhawatirannya, Fania masih harap-harap cemas. Semoga yang ditakutkan tidaklah terjadi, mengingat periode bulanannya belum juga tiba hingga akhir bulan. Wanita itu tetap optimis, jika mereka hanya melakukan satu malam, sedangkan banyak pasangan lain yang sudah melakukannya berkali-kali tidak kunjung terwujud.
''Fan, kamu sakit ya? Wajahmu pucat begitu," tanya Rena—rekannya ketika mereka selesai melakukan rapat untuk acara beberapa hari lagi.
''Gak tau, nih. Badanku lemes banget, mungkin kebanyakan lembur," jawab Fania lesu sembari memegang tengkuk belakangnya dengan menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri.
Sesekali, gadis itu tampak menguap matanya pun terasa sangat berat untuk terbuka. Dia benar-benar ingin memejamkan mata saat itu juga.
''Melihat wajah pucatmu, aku jadi keinget kakak iparku pas hamil muda. Bawaannya pengen molor mulu kagak peduli itu pagi, siang, atau malam," celetuk Emma wanita yang berada tepat di sampingnya.
''Eh, Emma, ngaco lu! Ya kali si Fania hamidun, kawin aja belum." Rena kembali menimpali.
''Ya, siapa tau aja udah nyicil duluan sama si Riko," sahut Emma tanpa dosa.
''Kagak mungkinlah ... Dia ‘kan lagi merantau ke luar kota. Gak mungkin juga ‘kan Fania selingkuh. Loe tau sendiri gimana bucinnya ini anak ke dia."
Fania tidak fokus lagi dengan celotehan para rekannya. Wajahnya seketika menegang yang ada dalam pikirannya hanya ketakutan yang semakin membelenggu alam bawah sadarnya.
Dia segera menyangkal keras dugaan itu. Dia tetap optimis jika rasa lesu yang dirasakan selama beberapa hari terakhir bukan karena itu, melainkan karena pekerjaan.
''Ya, ‘kan, Fan?" Senggolan keras pada bahunya seakan menarik paksa kesadaran gadis itu.
''Eh, i-iya ... Ga-gak mungkinlah gue se-selingkuh," jawab Fania berusaha menutupi kegugupannya.
''Gu-gue ke- keluar dulu, ya ... Ada janji sama klien.'' Fania beralasan, sungguh dia merasa tidak nyaman dengan pembahasan itu.
Tanpa menunggu jawaban teman-temannya, dia segera beranjak meninggalkan tempat itu, bahkan mengabaikan tatapan aneh yang mengarah kepadanya.
...---------------...
Semakin dirasa rasa lemasnya semakin menjadi, sehingga membuat Fania mau tidak mau harus meminta izin kepada atasannya untuk pulang lebih awal. Nona Siska si pemilik WO pun mengizinkan. Mengingat beberapa hari terakhir, Fania memang bekerja ekstra.
"Assalamualaikum, Bu ... Fania pulang," ucap Fania lemah ketika memasuki rumah.
Terdengar suara berisik dari arah dapur. Sepertinya Asih masih memasak dan tidak menyadari kepulangannya. Fania memilih mendudukkan tubuhnya pada sofa ruang tamu, tangannya sibuk memijit pelipis yang dirasa semakin berputar.
''Ibu masak apa sih kok baunya kayak gini," gumam Fania sambil menahan mual ketika mencium bau ikan asin.
Karena tidak tahan baunya, Fania terburu-buru menuju kamar mandi untuk memuntahkan semua isi perutnya.
''Fan, kamu kenapa, Nak?" Asih yang terkejut melihat kedatangan putrinya segera menghampiri tanpa lupa mematikan api kompor.
Gadis itu tak menghiraukan ucapan ibunya. Dia masih sibuk mengeluarkan semua isi perutnya hingga mulutnya terasa pahit. Asih dengan telaten memijat tengkuk putrinya.
''Ibu masak apa, sih? Baunya nyengat banget sampe ke ruang tamu," protes Fania.
Asih mengerutkan kening, tidak biasanya Fania protes dengan masakannya. Apalagi ini sambal ikan asin kesukaannya.
"Ibu masak kesukaanmu, Fan. Makan dulu ya ... Mungkin kamu masuk angin. Setelah makan, nanti ibu kerokin."
''Aku gak selera, Bu. Mulutku terasa pahit, aku pengen yang asem-asem aja, mangga muda atau kedondong, kalau gak ada belimbing wuluh juga gak apa-apa," sahut Fania masih dengan nada lemahnya.
''Ini masih pagi, Fania. Gak baik makan asem-asem begitu, nanti yang ada maag-mu kambuh." Asih berusaha menasehati putrinya.
Pasalnya Fania juga mempunyai riwayat penyakit maag kronis akibat kebiasaan buruknya yang sering telat makan.
''Bu, aku lagi pengen banget, carikan ya...," pinta Fania dengan wajah memelas.
Asih semakin merasa aneh dengan putrinya. Tidak biasanya Fania manja seperti itu. Fania bukan tipikal anak yang manja, bahkan saat sakit sekalipun. Akan tetapi kenapa kali ini bukan seperti Fania, banyak pertanyaan berkelebat dalam benak wanita paruh baya itu.
Hingga beberapa saat kemudian, matanya terbelalak ketika menyadari sesuatu.
''Kamu sudah tanggal merah bulan ini, Fan?" tanya Asih dengan nada mendesak.
Fania menggeleng lemah. ''Belum, Bu. Badanku sakit semua karena telat PMS. Biasanya juga rutin, Bu."
''Jangan-jangan...."
''Ibu gak usah mikir aneh-aneh. Gak mungkin, Bu. Aku cuma masuk angin karena kebanyakan lembur. Udah ah, mending ibu beliin yang aku minta." Fania menyela cepat perkataan ibunya karena tidak ingin membahas hal itu lagi.
Meskipun begitu, Asih segera menuruti keinginan putrinya. Dia juga berniat membeli sesuatu untuk memastikan jika dugaannya tidaklah salah.
...----------------...
Fania dengan lahap memakan mangga muda yang baru saja dibelikan sang ibu. Bukan hanya Asih, melainkan kedua adiknya merasa heran dengan tingkah sang kakak padahal tadi mereka sempat merasa betapa asamnya buah ranum tersebut.
''Kakak mirip orang kelaparan," celetuk Ferry adik sulungnya yang berusia 17 tahun.
''Ini enak, Fer. Sumpah!" sahut Fania antusias, bahkan tangannya kembali mengambil mangga kedua, kemudian memakannya tanpa dikupas terlebih dahulu.
''Kak Fania seperti orang gak pernah makan mangga," bisik Fena—saudara kembar Ferry.
Gadis itu bahkan bergidik ngeri melihat cara makan sang kakak.
''Diamlah, Fen. Jangan sampai Kak Fania dengar, bisa-bisa kamu gak dikasih uang jajan." Ferry menimpali dengan nada yang sama.
Seketika gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat. Dia memilih melanjutkan kembali makan siangnya yang tertunda.
Dugaan Asih semakin kuat melihat tingkah putri sulungnya. Mual dan muntah yang dialami Fania bukan hanya masuk angin biasa, melainkan karena hal lain.
''Ferry, Fena ... Kalian masuk kamar! Ada yang ingin ibu bicarakan dengan kakakmu." Suara tegas Asih menginterupsi.
Tanpa menunggu perintah dua kali, sepasang kakak beradik tersebut segera menuruti perintah ibunya, meskipun mereka belum menyelesaikan makan siangnya.
''Fania, cepat pakai ini!" Asih menyodorkan empat buah alat tes dengan berbagai merek berbeda.
Fania yang merasa heran segera meraih salah satunya, kemudian membacanya dengan teliti.
''Untuk apa, Bu?"
''Tidak usah banyak tanya, cepat gunakan, Fania!" titah Asih dengan nada mendesak.
''Tapi, Bu. Aku hanya masuk angin. Tidak mungkin aku—"
Ucapan Fania terhenti ketika Asih mengangkat satu tangannya. Wanita itu justru menunjuk ke arah kamar mandi untuk meminta Fania segera melaksanakan apa yang dia minta.
Gadis itu menghela nafas pelan, melihat sikap ibunya yang tidak bisa dibantah. Dengan terpaksa dia menuruti keinginannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments